"Seperti listrik, inspirasi tak pernah berhenti mengalir. Kalau lampu dalam diri kita tidak menyala, itu karena saluran yang terganggu atau memang putus sama sekali. Maka, jika engkau ingin inspirasi itu hidup, siapkan jiwamu untuk menyambutnya." (Mohammad Fauzil Adhim)
Ya, mempersiapkan jiwa. Itulah kata kuncinya agar kita terus menerus memperoleh inspirasi. Tanpa kesiapan jiwa, sebanyak apapun informasi yang kita terima, tidak akan membekas dalam benak kita. Seperti halnya apa yang masuk telinga kiri keluar ke telinga kanan.
Jiwa yang siap ibarat tanah yang luas. Ia dapat menampung berbagai macam hal yang bermanfaat. Batas dan tepinya tidak kita ketahui karena saking luasnya. Bila benar apa yang dikatakan Einstein, kita baru menggunakan 5% saja dari kemampuan otak kita, maka kita akan menyadari betapa besarnya kapasitas otak kita dan betapa luasnya pengetahuan yang ada di alam semesta ini. Lalu, bagaimana dengan orang yang malas menggunakan otaknya?
Bagi jiwa yang selalu siap, situasi dan kondisi apapun bisa sangat menguntungkan bagi dirinya. Penderitaan dan sempitnya penjara bukanlah hambatan untuk menghasilkan sebuah maha karya. Bahkan, situasi dan kondisi itu adalah stimulan untuk menulis buku-buku hebat dan bermakna kuat. Imam Ibnu Taimiyah, misalnya, menulis sebagian besar buku Majmu Fatawa yang tebalnya 30 jilid ketika berada di dalam penjara. Prof. HAMKA menulis sebagian besar Tafsir Al Azhar ketika berada di dalam penjara. Begitupun dengan Sayyid Quthb yang menulis Tafsir Fi Zhilalil Quran, menulisnya ketika berada di dalam penjara.
Syaikh Muhammad Al Ghazali menulis buku Fiqh Sirah ketika berada dalam pengasingan di Madinah akibat diusir oleh pemerintah Mesir yang zalim pada saat itu. Begitupun dengan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi menulis buku Fiqh Zakat ditempat pengasingannya di Qatar.
Dahsyatnya, semua buku yang mereka tulis itu menjadi karya fenomenal dan rujukan berjuta-juta kaum muslimin. Majmu Fatawa adalah buku berisi kumpulan fatwa terbesar yang pernah ada. Tafsir Al Azhar, menurut seorang orientalis, adalah kitab tafsir terbaik yang pernah ditulis ulama asal Indonesia. Kitab ini menjadi rujukan kaum muslimin di Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Thailand. Bahkan di beberapa pusat pendidikan Islam, kitab ini menjadi buku wajib bagi para santrinya.
Tafsir Fi Zhilalil Quran adalah tafsir Al Quran yang paling banyak dibaca aktivis pergerakan Islam saat ini. Sayyid Quthb menulis tafsirnya dengan bahasa yang sangat indah. Kemampuan sastranya mengalir bersama dengan semangat juangnya yang tinggi. Banyak kalangan menyebutkan, belum pernah ada orang menulis tafsir seperti yang dilakukan oleh Sayyid Quthb.
Kitab Fiqh Sirah karya Syaikh Muhammad Al Ghazali begitu khas. Dalam buku itu, beliau memadukan antara sejarah Nabi Muhammad dan pergerakan Islam saat ini. Sehingga karyanya ini menjadi salah satu rujukan utama aktivis Islam dalam disiplin ilmu Sirah Nabawiyah. Buku beliau ditulis di depan makam Rasulullah. Setiap kali mulai menulis, beliau menangis mengenang perjuangan agung Rasulullah Saw. Tulisannya mengalir deras bersamaan dengan derasnya airmata yang keluar. Membentuk kalimat-kalimat indah dan bermakna.
Sedangkan buku Fiqh Zakat karya Syaikh Yusuf Al Qaradhawi dinobatkan oleh pemikir besar Islam, Imam Abul A'la Al Maududi, sebagai buku terbaik di abad ke-20. Dikalangan pemerhati zakat, buku ini menjadi buku rujukan wajib bagi mereka. Lihat saja buku-buku zakat yang ada sekarang pasti menjadikan Fiqh Zakat sebagai salah satu sumber rujukan utamanya.
Penderitaan bagi mereka adalah tambang kearifan dan kebijaksanaan. Dari sana muncul kata-kata yang tulus, makna yang mendalam, dan hakikat sebuah pengorbanan. Karena ia muncul dari jiwa yang merdeka. Jiwa yang tanpa dusta di dalamnya. Penderitaan mereka dalam berjuang adalah bukti pengorbanan yang sesungguhnya.
Kebalikannya bagi si pemilik jiwa yang sempit. Meskipun tinggal di dalam istana yang luas dan mewah, tidak membuatnya merasa nyaman dan tentram. Selalu saja baginya membuat-buat alasan untuk berhenti berkarya. Padahal alasan-alasan itu hanya diciptakan oleh dirinya sendiri. Alasan-alasan itu pada akhirnya memenjarakan dirinya pada penjara yang hakiki. Penjara yang membuatnya tidak bisa berimajinasi dan berpikir merdeka.
Jangan katakan tidak ada inspirasi. Tapi evaluasilah diri ini, sudahkah kita siap menyambut datangnya inspirasi. Jangan sampai gara-gara jiwa tidak siap, inspirasi itu menghilang begitu saja. Bukankah ini sama dengan kesia-siaan? Ketika jiwa kita sudah siap, insya Allah inspirasi yang kita peroleh tidak ada habis-habisnya. Nah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar