Saya kaget ketika pada suatu ketika mendapatkan sebuah buku terjemahan berjudul "Bergonju: Seni Bercinta dalam Islam" karya Imam Jalaluddin As-Suyuti di sebuah pameran buku. Saya bertanya dalam hati, apakah benar yang menulisnya beliau? Saya berkeliling mencari buku yang serupa, saya dapatkan buku "Sutra Ungu" karya Abu Umar Basyir. Saya berkata dalam hati menyimpulkan, bila ada ulama sekarang menulis masalah seks tentu merujuk pada ulama-ulama terdahulu. Saya berkata lagi, tema yang serupa pasti juga pernah dibahas oleh para ulama lainnya dan entah berapa buku yang telah ditulis mengenai hal ini. Hanya karena ketidaktahuan saya membuat saya kaget; ulama sekelas Imam Jalaluddin As-Suyuti menulis buku seks! Walaupun dijual bebas, buku ini bagusnya dibaca bagi mereka yang akan dan sudah menikah. Karena disana ada cara-cara dan posisi dalam berhubungan intim suami-istri *_*
Buku-buku seks seperti ini mengingatkan saya pada buku-buku dengan tema lain yang ditulis oleh para alim ulama. Misalnya buku tentang tema "cinta" seperti buku Raudhatul Muhibbin karya Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dan Thauqul Hamamah karya Imam Ibnu Hazm. Kedua buku ini begitu dalam membahas tema cinta walaupun dengan bahasa yang berbeda. Ada bahasan tentang sifat-sifat orang yang jatuh cinta, bagaimana mengatasi mabuk asmara, kisah-kisah orang yang terlibat percintaan, dan sebagainya. Yang hebat, keduanya ditulis oleh ulama pakar syariah, ahli ilmu hadits dan fikih. Keduanya ibarat psikolog yang mengetahui tentang seluk beluk cinta. Dan mungkin, keduanya memang psikolog cinta yang sesungguhnya. Banyak buku yang mereka tulis menunjukkan keahlian mereka dalam ilmu psikologi. Lagi-lagi karena sedikitnya buku cinta yang ditulis ulama yang saya baca, saya baru mengetahui dua buku ini. Diluar sana mungkin masih banyak buku dengan tema serupa.
Para ulama juga menulis buku yang lain daripada yang lain, misalnya lagi tentang tata cara memperlakukan buku, bagaimana meraut ujung pena agar tulisan lebih baik, dan bagaimana menjadi penyalin buku yang baik. Simak penuturan Imam Musa Almawi dalam bukunya yang berjudul Mu'id fi Adab Al-Mufid wa Al-Mustafid sebagaimana dikutip Franz Rosenthal dalam "Etika Kesarjanaan Muslim", "Buku-buku harus diatur menurut subjeknya, dan buku yang paling penting harus ditempatkan paling atas. Urutan berikut ini harus dipatuhi: pertama adalah Al-Qur'an; lalu kitab hadits shahih, seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim; selanjutnya tafsir Al-Qur'an; berikutnya komentar terhadap kitab hadits; disambung kitab-kitab fikih; lalu kitab ushuluddin dan ushul fiqh; terus buku-buku tata bahasa, puisi, dan ilmu-ilmu lain."
Imam Ibnu Jama'ah juga menulis tema serupa yang ditulis Imam Musa Almawi. Judul bukunya Tadzkirah Al-Sami' wa Al-Mutakallim fi Adab Al-'Alim wa Al-Muta'allim. Beliau berkata, "Jika ada dua buku tentang subjek yang sama, maka buku yang lebih banyak mengandung kajian Al-Qur'an atau hadits hendaklah ditempatkan di atas. Jika dalam hal ini keduanya sama, maka tingkat pentingnya pengarang buku tersebut mesti dipertimbangkan. Jika dalam hal itu kedua pengarang sama, maka pengarang yang lebih tua umurnya dan lebih dicari para ulama ditempatkan lebih atas. Kalaupun dalam hal ini keduanya sama, maka buku yang lebih benar penulisannya harus ditempatkan di atas."
Coba dengarkan lagi beberapa nasehat Imam Almawi, "Buku tidak boleh dijadikan tempat menyimpan lembaran-lembaran keras atau benda-benda lain yang serupa. Buku tidak boleh dijadikan bantal, dijadikan kipas, sandaran punggung atau alas berbaring, atau dipakai untuk membunuh lalat. Untuk menandai halaman yang sedang dibaca, pinggir atau sudut halaman buku tidak boleh dilipat. Orang-orang bodoh sering melakukan hal itu." Kata Imam Ibnu Jama'ah, "Untuk penanda bacaan harus dipakai selembar kertas atau yang serupa itu, tetapi tidak boleh dari potongan kayu atau apapun yang terbuat dari bahan yang keras."
Subhanallah, sampai sedetail itu para ulama kita dalam menguraikan sebuah pengetahuan. Hampir semua ilmu yang berkembang saat itu ada bukunya. Tapi sayang sekali, yang sampai kepada kita baru sedikit daripadanya. Apalagi banyak buku yang ditulis para ulama itu hilang atau dimusnahkan seperti yang pernah dilakukan oleh pasukan Mongol saat menyerbu Baghdad (ibukota kekhalifahan Abbasiyah). Buku-buku yang ada diperpustakaan besar dibuang ke sungai Tigris hingga sungai pun berubah warna menjadi hitam karena tinta. Kejadian ini ibarat pukulan hook dalam tinju, membuat umat Islam sempoyongan dan mundur beberapa langkah. Banyak akhirnya para ulama dan ilmuwan setelah kejadian itu berusaha mencari salinan buku yang dimusnahkan itu. Salah satu caranya adalah dengan berteriak, "Wahai fulan, apakah kalian mempunya buku anu?" saat berada ditanah suci pada musim haji. Karena saat itu berkumpul jutaan kaum muslimin dari berbagai penjuru dunia. Itulah mengapa para ulama berusaha mendapatkan buku yang dimaksud pada saat itu. Bila ada yang punya, maka para ulama itu tidak segan-segan untuk menyalinnya meskipun harus menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk mendapatkannya. Di antara para ulama yang menjadi "jembatan" ilmu-ilmu masa lalu untuk disampaikan oleh umat terkemudian adalah Imam Jalaluddin As-Suyuti. Beliau berhasil merangkum banyak pengetahuan dari buku-buku langka itu. Konon kabarnya jumlah buku yang beliau tulis mencapai 500 jilid.
Buku-buku yang ditulis ulama zaman dahulu mungkin tidak kalah hebat dengan yang ditulis oleh orang-orang zaman sekarang, khususnya cerdik pandai dari dunia Barat. Kelebihannya adalah, buku-buku itu ditulis oleh para ulama yang memiliki jiwa tauhid, paham syariah, dan memiliki akhlak yang baik. Melewati fase kemunduran Islam artinya kita memulai dari apa yang ada atau memulainya dari nol. Dan ini merupakan pekerjaan rumah umat. Karena kita harus yakin bahwa kejayaan itu akan kembali berulang di masa yang akan datang. Apakah kita menjadi bagian di dalamnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar