Beberapa hari yang lalu saya berdiskusi dengan seseorang. Tampaknya dia tidak senang dengan pendapat saya yang menyebutkan bahwa Imam Abul Hasan Al Asy'ari ber-madzhab Hanbali. Katanya, tidak mungkin Imam Al Asy'ari bermadzhab Hanbali karena murid-murid dan pengikutnya bermadzhab Syafi'i.
Saya tahu hal itu karena banyak orang akan berpandangan seperti itu. Hampir mustahil rasanya Imam Asy'ari bermadzhabkan Hanbali karena ajaran Asy'ariyah sendiri sangat "dimusuhi" oleh sebagian pengikut madzhab Hanbali. Saya katakan sebagian karena toh tidak semua pengikut madzhab Hanbali menolak ajaran Asy'ariyah. Walaupun pada kenyataannya yang sebagian ini sangat nyaring suaranya sehingga seolah menutup peluang untuk menyebutkan hakikat bahwa sesungguhnya Imam Asy'ari bermadzhabkan Hanbali.
Apa bukti Imam Asy'ari bermadzhabkan Hanbali? Yaitu perkataan beliau dalam kitab al-Ibanah an Ushuli Diyanah hal. 17: Apabila seseorang bertanya, “Kamu mengingkari perkataan Mu’tazilah, Qadariyyah, Jahmiyyah, Haruriyyah, Rafidhah, dan Murji’ah. Maka terangkan kepada kami pendapatmu dan keyakinanmu yang engkau beribadah kepada Allah dengannya!” Jawablah, “Pendapat dan keyakinan yang kami pegangi adalah berpegang teguh dengan kitab Rabb kita, sunnah Nabi kita Shalallahu ‘alaihi wasallam dan apa yang diriwayatkan dari para sahabat, tabi’in, dan para ahli hadits. Kami berpegang teguh dengannya. Dan berpendapat dengan apa yang dikatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal.”
Untuk memperjelasnya kalimat terakhir harus kita garis bawahi. Tampaklah dengan jelas pernyataan beliau jika beliau sendiri bermadzhabkan Hanbali, bukan Syafi'i. Mengenai ulama pengikut beliau yang seluruhnya bermadzhabkan Syafi'i, tidak seratus persen benar. Karena di antara para ulama madzhab lain juga ada pengikut Imam Asy'ari. Dalam hal ini ulama madzhab Hanbali, di antaranya: al-Imam ibn Sam’un al-Wa’izh, Abu Khaththab al-Kalwadzani, Abu al-Wafa bin ‘Aqil, al-Hafizh ibn al-Jawzi dan lain-lain. Namun kemudian sejak abad pertengahan terjadi kesenjangan hubungan antara pengikut al-Asy’ari dengan pengikut madzhab Hanbali. Jadilah para pengikut al-Asy'ari mengambil jarak dengan madzhab Hanbali dengan mengikuti madzhab ahlussunnah yang lain.
Mengenai guru dan murid berbeda madzhab sebenarnya banyak kita temui dalam buku-buku sejarah Islam. Misalnya Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. Beliau adalah ulama bermadzhabkan Hanbali. Murid beliau yang terkenal adalah Imam Ibnu Qudamah Al-Hanbali penulis kitab Al-Mughni. Di antara bukti lain bahwa Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani bermadzhabkan Hanbali adalah penuturan sejarawan Islam, yakni Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Siyar A'lamin Nubala, "Syaikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Ia seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau." Namun kemudian Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani lebih dikenal oleh orang Indonesia bermadzhabkan Syafi'i. Itu sah-sah saja karena bisa jadi pengikut beliau kebanyakan bermadzhabkan Syafi'i. Tapi yang menjadi masalah ketika ada orang yang tetap ngotot mengatakan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani bermadzhabkan Syafi'i hanya karena kebanyakan pengikutnya bermadzhabkan Syafi'i.
Contoh yang lain guru dan murid beda madzhab adalah antara Imam Ibnu Taimiyah yang bermadzhabkan Hanbali dengan Imam Ibnu Katsir yang bermadzhab Syafi'i. Tapi anehnya ada sebagian orang berpandangan bahwa Imam Ibnu Katsir itu bermadzhab Hanbali. Mungkinkah hanya gara-gara guru Imam Ibnu Katsir, yakni Imam Ibnu Taimiyah bermadzhabkan Hanbali jadinya orang tersebut berpandangan demikian.
Sejarah harus diceritakan apa adanya. Jangan ditambah-tambahi atau dikurang-kurangi. Karena sejarah yang ditambah-tambahi atau dikurangi artinya manipulasi. Keesokan harinya anak cucu kita buta akan sejarah yang sesungguhnya. Naudzubillahi mindzalik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar