“Yang merasakan manisnya iman ialah orang
yang ridha kepada Allah sebagai Rabb, kepada Islam sebagai agama dan kepada
Muhammad sebagai rasul.”
Hadits ini merupakan inti kedudukan agama dan
sekaligus merupakan puncaknya, yang di dalamnya terkandung ridha terhadap
Rububiyah dan Uluhiyah Allah, ridha kepada Rasul-Nya, ketundukan, ridha kepada
agama-Nya dan kepasrahan kepada-Nya. Siapa yang menghimpun empat perkara ini,
maka dia adalah orang yang shiddiq. Memang hal ini mudah diucapkan, tapi
termasuk sulit dan berat jika datang cobaan, apalagi jika ada sesuatu yang
bertentangan dengan nafsu dan keinginannya, sehingga akan tampak apakah ridha
itu hanya sekedar di lisan atau memang merupakan keadaan dirinya.
Ridha kepada Rububiyah Allah mengandung ridha
terhadap pengaturan-Nya terhadap hamba, juga mengandung pengakuan terhadap
kesendirian-Nya dalam tawakkal, keyakinan, penyandaran dan permintaan pertolongan.
Sedangkan ridha kepada Rasul-Nya mengandung kesempurnaan kepatuhan dan
kepasrahan kepadanya, sehingga keberadaan Rasul-Nya lebih penting daripada
keberadaan dirinya, tidak mengambil petunjuk kecuali dari kalimat-kalimatnya,
tidak ridha kepada selain hukumnya, dalam masalah apa pun, zhahir maupun batin.
Sedangkan ridha kepada agama-Nya berarti patuh kepada hukum, perintah dan
larangan agama, sekalipun mungkin bertentangan dengan kehendaknya atau pendapat
guru dan golongannya.
Yang pasti dalam masalah ini, ridha adalah
sesuatu yang bisa diupayakan ditilik dari sebabnya, dan merupakan pemberian
jika ditilik dari hakikatnya. Jika memang sebab-sebabnya dimungkinkan dan
pohonnya dapat ditanam, maka buah ridha juga bisa dipetik. Sebab ridha
merupakan akhir dari tawakkal. Siapa yang pijakan kakinya mantap pada tawakkal,
penyerahan diri dan kepasrahan, tentu akan mendapatkan ridha. Tapi karena
sulitnya mendapatkan ridha ini, maka Allah tidak mewajibkannya kepada
makhluk-Nya, sebagai rahmat dan keringanan bagi mereka. Namun begitu Allah
menganjurkannya kepada mereka, memuji pelakunya dan mengabarkan bahwa pahala
yang mereka terima adalah keridhaan Allah terhadap mereka, dan ini merupakan
pahala yang lebih agung daripada surga dan seisinya.
Siapa yang ridha kepada Rabb-nya, maka Dia juga ridha kepadanya.
Karena itu ridha ini merupakan pintu Allah yang paling besar, surga dunia,
kehidupan orang-orang yang mencintai dan kenikmatan orang-orang yang banyak
beribadah. Di antara faktor yang paling besar mendatangkan ridha ialah
mengikuti apa yang Allah ridha kepadanya, karena inilah yang akan menghantarkan
kepada ridha. Yahya bin Mu'adz pernah ditanya, "Kapankah seorang hamba
mencapai kedudukan ridha?" Maka dia menjawab, "Jika dia menempatkan
dirinya pada empat landasan tindakan Allah kepadanya, lalu dia berkata,
"Jika Engkau memberiku, maka aku menerimanya. Jika Engkau menahan
pemberian kepadaku, maka aku ridha. Jika Engkau membiarkanku, maka aku tetap
beribadah. Jika Engkau menyeruku, maka aku memenuhinya."
Tawakkal merupakan tempat persinggahan yang
paling luas dan menyeluruh, yang senantiasa ramai ditempati orang-orang yang
singgah di sana, karena luasnya kaitan tawakkal, banyaknya kebutuhan penghuni
alam, keumuman tawakkal, yang bisa disinggahi orang-orang Mukmin dan juga
orang-orang kafir, orang baik dan orang jahat, termasuk pula burung, hewan liar
dan binatang buas. Semua penduduk bumi dan langit berada dalam tawakkal,
sekalipun kaitan tawakkal mereka berbeda-beda.
Para wali Allah dan hamba-hamba-Nya yang khusus
bertawakkal kepada Allah karena iman, menolong agama-Nya, meninggikan
kalimat-Nya, berjihad memerangi musuh-musuh-Nya, karena mencintai-Nya dan
melaksanakan perintah-Nya. Sedangkan selain mereka bertawakkal kepada Allah
karena kepentingan dirinya dan menjaga keadaannya dengan memohon kepada Allah.
Ada pula di antara mereka yang bertawakkal kepada Allah karena sesuatu yang
hendak didapatkannya, entah rezeki, kesehatan, pertolongan saat melawan musuh,
mendapatkan istri, anak dan lain sebagainya. Ada pula yang bertawakkal kepada
Allah justru untuk melakukan kekejian dan berbuat dosa. Apa pun yang mereka
inginkan atau yang mereka dapatkan, biasanya tidak lepas dari tawakkal kepada
Allah dan memohon pertolongan kepada-Nya. Bahkan boleh jadi tawakkal mereka ini
lebih kuat daripada tawakkalnya orang-orang yang taat. Mereka menjerumuskan
diri dalam kebinasaan dan kerusakan sambil memohon kepada Allah agar
menyelamatkan mereka dan mengabulkan keinginan mereka.
Tawakkal yang paling baik ialah tawakkal
dalam kewajiban memenuhi hak kebenaran, hak makhluk dan hak diri sendiri. Yang
paling luas dan yang paling bermanfaat ialah tawakkal dalam mementingkan faktor
eksternal dalam kemaslahatan agama, atau menyingkirkan kerusakan agama. Jni
merupakan tawakkalnya para nabi dalam menegakkan agama Allah dan menghentikan
kerusakan orang-orang yang rusak di dunia. Ini juga tawakkalnya para pewaris nabi. Kemudian tawakkal manusia
setelah itu tergantung dari hasrat dan tujuannya. Di antara mereka ada yang
bertawakkal kepada Allah untuk mendapatkan kekuasaan dan ada yang bertawakkal
kepada Allah untuk mendapatkan serpihan roti.
Siapa yang benar dalam tawakkalnya kepada Allah untuk mendapatkan
sesuatu, tentu dia akan mendapatkannya. Jika sesuatu yang diinginkannya
dicintai dan diridhai Allah, maka dia akan mendapatkan kesudahan yang terpuji.
Jika sesuatu yang diinginkannya itu dibenci Allah, maka apa yang diperolehnya
itu justru akan membahayakan dirinya. Jika sesuatu yang diinginkannya itu
sesuatu yang mubah, maka dia mendapatkan kemaslahatan dirinya dan bukan
kemaslahatan tawakkalnya, selagi hal itu tidak dimaksudkan untuk ketaatan
kepada-Nya.
Ketahuilah bahwa ada beberapa hamba Allah
yang ridha dengan pengaturan Allah Swt.. Mereka menerima baik maupun “buruk”
yang datangnya dari Allah. Cahaya telah melenyapkan hasrat mereka untuk ikut
mengatur. Makrifat dan rahasia telah menyirnakan kuasa mereka untuk ikut
memilih. Mereka ridha dan merasakan nikmatnya ridha.
Ketahuilah, putra Nabi Nuh As. binasa karena
ia mengikuti keinginannya sendiri dan tidak meridhai pengaturan Allah yang
dipilihkan untuk Nuh As. dan para pengikutnya di kapal. Nabi Nuh As. berkata
kepada anaknya, “Hai anakku,
naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang
yang kafir.”
Anaknya menjawab: “Aku akan mencari
perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” Nuh berkata:
“Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang
Maha Penyayang.” (QS. Hud: 42-43).
Maknanya, putra Nuh As. itu mencari
perlindungan kepada gunung akalnya. Gunung tempat berlindungnya itu
menggambarkan keadaan dirinya yang sebagaimana dikatakan oleh Allah, “Dan
gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk
orang-orang yang ditenggelamkan.”
Secara lahir, yang menenggelamkannya adalah
banjir. Secara batin, ia karam karena terhalang dari Allah. Perhatikanlah kisah
ini dan ambillah pelajaran darinya. Apabila gelombang takdir menujumu, jangan
bersandar pada gunung akalmu agar kau tidak termasuk golongan yang tenggelam
dalam lautan keterputusan. Tetapi, naiklah ke bahtera perlindungan dan
kebergantungan kepada Allah. Allah Swt. berfirman, “Barangsiapa yang berpegang teguh
kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan
yang lurus.” (QS. Ali Imran:
101).
Apabila kau patuh, kapal keselamatan akan
membawamu berlabuh di bukit keamanan. Kemudian kau, dan orang-orang yang
bersamamu, akan mendarat dengan selamat di negeri pendekatan kepada Allah dan
tiba di daratan keselamatan seraya diberkati. Itulah alam wujudmu. Pahamilah
hal ini dengan baik dan jangan termasuk golongan yang lalai.
Kau telah mengetahui bahwa sikap tidak
mengatur dan tidak memilih merupakan keutamaan yang dimiliki orang-orang yang
yakin. Sikap itulah yang merupakan perhiasan utama para arif.
Seseorang pernah bertanya kepada seorang arif
dalam perjalanan menuju Ka’bah, “Kemanakah Anda akan pulang?” Ia menjawab, “Aku
telah terbiasa bersama Allah dan tidak membiarkan keinginanku mendahului
langkah kakiku.”
Itulah keadaan hamba yang tak punya pilihan
dan keinginan. Keinginannya adalah apa yang Dia inginkan. Seorang ulama
mengatakan hal yang serupa, “Pagi ini keinginanku berada dalam ketentuan Allah.”
Abu Hafsh al-Haddad berkata, “Sejak empat
puluh tahun yang lalu, tidak pernah Allah menempatkanku dalam satu keadaan lalu
aku membencinya dan mengalihkan ke keadaan yang lain lalu aku tidak
menyukainya.”
Hati mereka telah dipelihara oleh Allah Swt.
dan mereka layak mendapatkannya. Tidakkah kau mendengar firman Allah, “Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak
ada kekuasaan bagimu terhadap mereka.” (QS.
al-Hijr: 42).
Mengapa? Karena orang yang telah mencapai
kedudukan penghambaan akan pasrah sepenuhnya kepada pilihan Allah, enggan
berbuat dosa, serta tidak mau terjerumus ke dalam aib dan kesalahan.
Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya setan itu tidak ada
kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya.” (QS. an-Nahl: 99).
Hati yang tidak bisa dikuasai setan tidak
mungkin bisa direcoki dan diganggu oleh godaan untuk mengatur. Ayat di atas
menjelaskan bahwa orang yang meluruskan keimanan dan tawakalnya kepada Allah
niscaya tidak akan bisa dikuasai setan. Pasalnya, setan hanya bisa menggoda
dengan dua cara, yaitu dengan membuat ragu seseorang akan keyakinannya atau
dengan membuatnya bergantung kepada makhluk. Upaya untuk meragukan keyakinan
bisa dibentengi dengan keimanan, sedangkan sikap cenderung dan bergantung
kepada makhluk bisa dibentengi dengan tawakal kepada-Nya.
Komentar:
Tulisan di atas ditulis oleh Imam A'thaillah
As-Sakandari salah seorang ulama sufi penulis kitab Al-Hikam yang tersohor itu.
Beliau telah menjelaskan bahwa setiap mukmin haruslah tunduk dan patuh terhadap
syariat Islam. Tidak terkecuali bagi mereka yang mengaku sebagai sufi atau bagi
mereka yang saat ini mencari kebenaran. Karena dengan tunduk dan patuh itulah
maka akan merasakan manisnya iman. Oleh karena itu, sungguh aneh apabila ada
orang yang ingin meraih kebebasan sejati, ingin meraih kebahagiaan sejati,
menjadi mukmin yang pemberani, yang ditakutkan hanya Allah Swt., ingin meraih
cinta sejati, tanpa melaksanakan syariat Islam.
Mereka yang kabarnya telah menggapai hakikat
tetapi nyatanya menjauhi syariat ibarat membangun istana pasir yang kemudian
diterpa ombak besar. Mereka yang berkata ini dan itu tapi di bawah timbangan
syariat, jauh sekali dari kebenaran. Para wali Allah, orang-orang saleh, dan
mereka yang meniti jalan Allah telah membuktikannya. Tidak akan sampai kepada
Allah kecuali mereka menghukumi diri mereka berdasarkan Al-Qur'an dan
As-Sunnah. Imam Junaid Al-Baghdadi
berkata: “Semua jalan tertutup bagi manusia selain orang yang mengikuti jejak
Rasulullah Saw.”
Imam Ahmad bin Hanbal pernah menjelaskan berbagai
masalah. Lalu dia bertanya kepada Abu Hamzah Al-Baghdadi, seorang pemuka
tasawuf, “Apa pendapatmu wahai orang sufi?” Maka Abu Hamzah menjawab, “Siapa
yang mengetahui jalan yang benar, maka perjalanannya pun menjadi mudah. Tidak ada
bukti petunjuk jalan kepada Allah selain dari mengikuti Rasulullah Saw., dalam
perbuatan, perkataan dan keadaannya.”
Abu Yazid al-Bistami pernah berkata, “Jika kalian
melihat seseorang yang diberi karomah, sehingga dia dapat terbang di angkasa,
maka janganlah kalian terpedaya, hingga kalian tahu bagaiamana orang itu
menempatkan dirinya pada perintah dan larangan, menjaga hukum dan melaksanakan
syariat.”
Salah seorang dari orang-orang saleh itu mengatakan barangsiapa
yang ingin mendapatkan hikmah, maka hendaklah lahir dan batinnya mengikuti
sunnah Rasulullah. Bagaimana mereka bisa mendapatkan kebenaran sementara mereka
sendiri menjauhi sunnah Rasulullah? Bagaimana mereka bisa meraih kedudukan yang
mulia di sisi Allah sementara mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah?
Bagaimana mereka bisa meredam hawa nafsu sementara mereka justru memperturutkan
hawa nafsu?
Ketika jiwa sudah tunduk dan patuh kepada
Allah Swt., maka tidak ada yang ditakuti kecuali Allah Swt. Dia senantiasa
berpegang teguh pada tali agama Allah walaupun orang-orang disekitarnya
membencinya. Baginya cukuplah Allah sebagai penolong dan pelindung.