Ada sementara orang, bila mentaati perintah Allah,
mereka merasa terikat dan tidak bebas. Begini dilarang begitu haram. Adat lama
telah usang dan tradisi hanyalah mengekang hak asasi dan kebebasan manusia
saja. Maka tak perlu kita memperhatikan sopan santun, tata susila dan akhlak
budi, karena peraturan-peraturan tersebut sama sekali tidak bernilai dan telah
kuno, tidak sesuai dengan ‘dinamika’ sekarang. Semua itu hanya patut bagi orang
yang sok moralis. Demikian ejekan mereka.
Baiklah! Mari kita coba mengikuti pendirian
mereka. Marilah kita langgar adat dan tradisi lama yang baik. Tak perlu kita
berbuat sopan dan berbudi luhur. Taat dan hormat kepada orang tua tidak perlu
bila orang tua mengekang dan menghambat kita. Kita sekarang kan hidup pada
zaman modern. Pergaulan bebas, tak terikat pada aturan. Itulah kebahagiaan
sejati.
Mari kita langgar rambu-rambu lalu lintas, aturan
sekolah dan etika orang tua serta masyarakat. Sebab semua itu sebagai penyebab
ketidakbahagiaan. Berbuatlah sebebas-bebasnya, itulah kebahagiaan. Demikian
kata mereka.
Seorang filosof terkenal, Karl Jaspers mengakui
kenyataan ini dengan berkata, “Freedom is never real as the liberty of individuals alone. Every man is
free to the extent others are. Absolute independence is impossible. Where there
is freedom it struggles with unfreedom, and if unfreedom were fully overcome
through the elimination of all resistances freedom itself would cease”. (Kebebasan tidak pernah nyata sebagaimana
kebebasan perorangan semata-mata. Setiap orang adalah bebas sejauh orang lain
pun bebas pula. Kebebasan mutlak tidaklah mungkin. Di mana ada kebebasan selalu
ada pertarungan dengan ketidakbebasan sepenuhnya diatasi dengan jalan
meniadakan segala halangan-halangannya maka kebebasan itu sendiri akan hilang
pula).
Kebebasan mutlak itu tidak ada, karena bila orang
berbuat semaunya menurut kehendak sendiri di dalam mengejar kebahagiaan,
tentulah ia akan melanggar dan tertumbuk dengan kebebasan orang lain.
Apapun kehendak seseorang, kebebasan mutlak tidak
akan ada di dunia ini. Baru bermula pada awal kejadian mereka saja, tidak ada
kebebasan mutlak. Apakah mereka dahulu bebas memilih dalam kandungan pada rahim
ibu siapa saja, misalnya mengapa dahulu mereka tidak memilih menjadi anaknya
ibu pengusaha besar, pemilik perusahaan yang beromset bermilyaran rupiah, dan
sebagainya? Apakah kehendak mereka di dunia ini mesti terkabul dan tak pernah
gagal? Mengapa mereka setiap hari sering mengalami kegagalan di segala bidang?
Mengapa mereka tidak bisa memilih jadi orang yang panjang usia, dan mati di
tempat yang diinginkan?
Mengapa mereka tidak bebas berjalan di tengah
jalan yang ramai kendaraan biar kebebasannya itu membawa maut? Mengapa
mereka tidak bebas dari pakaian, bertelanjang bulat dan berjalan di tengah
jalan raya, karena ingin bebas? Mengapa setiap hari, di mana saja mereka
berada, apa saja yang dikerjakan, mestilah harus taat pada peraturan? Dia
menjadi seorang insinyur teknik, ekonom, akuntan, manajer, guru, semua itu
harus taat dan tunduk kepada aturannya masing-masing, sesuai dengan peraturan
yang ada? Apakah orang bisa bebas menjalankan aturannya sendiri bila ia
menyetir mobil tanpa mengerti dan mentaati ketentuan-ketentuan yang telah
dibuat oleh pembuat atau pencipta mesin mobil?
Bila orang bebas menebang pepohonan hutan tanpa
mengikuti aturan, misalnya tidak tertib menebangnya dan tidak menanami lagi
pohon yang baru, tentulah kebebasan orang-orang dengan cara demikian itu akan
membawa bencana bagi manusia semuanya. Bila kebebasan mereka itu dibiarkan,
maka akan terjadi erosi, banjir besar, tanah longsor, dan sumber air tidak ada.
Bukankah bencana yang menimpa umat manusia itu berasal dari falsafahnya orang
yang ingin menjalankan kebebasan mutlaknya itu diterapkan?
Bila orang bebas menggunakan obat insektisida dan
sebagainya, baik pada cara penangkapan ikan maupun membarantas hama tanpa
memperhatikan pencemaran lingkungan, bukankah itu mengakibatkan polusi?
Apalagi hal yang jelas seperti contoh di atas.
Sedangkan bila ada seseorang mengetahui ada sebuah rel kereta api terkena tanah
longsor, atau jembatan kereta api putus, atau salah satu tiang penyangga
jembatan putus, dia tahu semua itu, mestilah ia harus lapor kepada pihak yang
berkepentingan atau melakukan perbuatan yang konstruktif bagaimana agar
kerusakan tersebut dapat diperbaiki. Bila ia bebas tidak lapor, tidak berbuat
yang konstruktif, tentulah kebebasannya itu akan membawa bencana bagi orang
lain.
Apakah bila mereka mengetahui kerusakan-kerusakan
tersebut kemudian berdiam diri? Dia tidak bisa bebas berdiam diri. Tetapi dia
mesti terikat oleh hukum moral dan kemanusiaan. Hati nurani, kemanusiaan maupun
peraturan bagi orang yang hidup dalam masyarakat, mewajibkan dia untuk
bertindak, yakni melaporkan keadaan yang sebenarnya, atau berbuat sendiri
memperbaiki jembatan atau dengan orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar