“Orang-orang Arab Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman’.
Katakanlah: ‘Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena
iman itu belum masuk ke dalam hatimu…’” (QS. al-Hujurat: 14).
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Mereka yang disebutkan di dalam ayat
tersebut di atas – menurut pendapat yang paling shahih – adalah orang-orang
muslim yang tidak memiliki sifat munafik. Namun mereka juga bukan termasuk
orang-orang mukmin. Sebab keimanan belum meresap ke dalam hati mereka. Dengan
demikian hatinya tidak bisa menangkap sebuah hakikat.” (Dalam kitab Zaad
al-Muhajir Ilaa Rabbihi)
Sahabatku,
bagaimana hati ini tidak bergetar ketika membaca ayat itu, mereka tidak
dikatakan sebagai orang munafik, tapi mereka juga bukan termasuk orang mukmin.
Sebab keimanan belum meresap ke dalam hati mereka. Bagaimana dengan kita?
Bagaimana dengan jiwa-jiwa yang di dalamnya penuh kemunafikan dan kemaksiatan?
Apakah dengan seenaknya mereka mengatakan, “Kami telah beriman”? Tidak! Tidak!
Mereka sangat jauh dari keimanan. Derajat mereka sangat jauh dari orang-orang
Arab Badui tersebut. Di sebut Badui, karena tempat tinggal mereka sangat jauh
dari pusat informasi. Bagaimana dengan kita yang setiap hari dapat membaca
ayat-ayat al-Quran berikut terjemahannya, yang setiap hari dapat mendengarkan
pengajian di mana-mana, yang setiap hari dapat membaca artikel keagamaan dengan
mudah?
“Dengan demikian hatinya tidak bisa menangkap sebuah hakikat,” renungkanlah perkataan Imam Ibnul Qayim ini. Itulah mengapa hati ini
tercerai berai, tidak dapat memahami ajaran agama dan tidak dapat menangkap
hakikat dari ajaran agama. Itulah mengapa kemalasan demi kemalasan kita biarkan
tanpa segera kita sadari akibatnya. Itulah mengapa hamasah (semangat)
kita dalam beribadah kepada-Nya melemah. Itulah mengapa akal kita terasa buntu,
hati kita gelap, kesulitan-kesulitan selalu menghantui kita!
Sahabatku, ayat di atas adalah tamparan bagi orang-orang yang angkuh;
yang merasa dirinya beriman padahal tidak termasuk orang-orang yang beriman.
Apalagi mereka yang merasa dirinya paling beriman, agar mereka hati-hati
mengatakannya. Sebelumnya, periksalah hati apakah memang sudah beriman
sebagaimana yang dikehendaki Allah. Jika belum, lebih baik mereka diam. Lebih
baik mereka beramal. Lebih baik mereka mengaplikasikan iman itu sendiri, tanpa
harus mengatakannya kepada orang banyak bahwa dirinya orang yang beriman,
apatah lagi orang yang paling beriman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar