Takwa lahir sebagai
konsekuensi logis dari keimanan yang kokoh. Yaitu keimanan yang selalu dipupuk
dengan muroqobatullah; merasa takut terhadap murka dan azab-Nya, dan selalu
berharap limpahan karunia dan ampunan-Nya.
Atau sebagaimana
didefinisikan para ulama. Takwa adalah menjalankan segala perintah-Nya dan
menjauhi segala apa yang dilarang-Nya. Sebagian ulama lain mendefinisikan takwa
dengan mencegah diri dari azab Allah dengan membuat amal saleh dan takut
kepada-Nya dikala sepi atau terang-terangan.
Perhatian al-Quran begitu besar.
Bahkan bila kita baca al-Quran, hampir di setiap halamannya pasti kita temukan
kalimat takwa.
Para sahabat Nabi Saw.
dan ulama saleh yang memahami betul tuntunan al-Quran, mempunyai perhatian
besar terhadap takwa. Mereka terus mencari hakikatnya; saling bertanya satu
sama lain dan berusaha untuk mendapatkannya. Dalam satu riwayat yang shahih
disebutkan bahwa Umar bin Khaththab Ra. bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang
takwa. Ubay Ra. menjawab, “Bukankah Anda pernah melewati jalan yang penuh
duri?”
“Ya”, jawab Umar.
“Apa yang Anda lakukan
saat itu?”
“Saya bersiap-siap dan
berjalan dengan hati-hati.”
“Itulah takwa.”
Cukuplah kiranya
keutamaan dan pengaruh takwa merupakan sumber segala kebaikan di masyarakat,
sebagai satu-satunya cara untuk mencegah kerusakan, kejahatan, dan perbuatan
dosa. Bahkan, takwa merupakan pilar utama dalam pembinaan jiwa dan akhlak
seseorang dalam menghadapi fenomena kehidupan. Agar ia bisa membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk dan agar ia bersabar atas segala ujian dan
cobaan.
Di sini kita cukup
membahas faktor-faktor terpenting yang bisa menumbuhkan takwa, mengokohkannya
dalam hati dan jiwa seorang muslim, dan menyatukannya dengan perasaan.
A. Mu’ahadah
(Mengingat
Perjanjian)
Faktor ini diambil dari
firman Allah Swt.: “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu
berjanji…” (QS. an-Nahl: 91).
Cara Mu’ahadah
Hendaklah Anda
menyendiri untuk mengintrospeksi diri seraya mengatakan pada diri: “Wahai
jiwaku, sesungguhnya kamu telah berjanji kepada Tuhanmu setiap hari disaat kamu
berdiri membaca: ‘Hanya kepada Engkau kami menyembah dan hanya kepada Engkau
kami memohon pertolongan’.”
Wahai jiwaku, bukankah
dalam munajat itu engkau telah berikrar tidak akan menghamba selain kepada
Allah dan tidak akan meminta pertolongan selain kepada-Nya? Tidakkah engkau
telah berikrar untuk tetap komitmen di jalan yang lurus? Tidakkah engkau telah
berikrar untuk berpaling dari jalan orang-orang sesat dan dimurkai Allah?
Kalau memang demikian,
berhati-hatilah wahai jiwaku. Janganlah engkau langgar janjimu setelah engkau
jadikan Allah sebagai pengawasmu. Janganlah engkau mundur dari jalan yang telah
ditetapkan oleh Islam setelah engkau jadikan Allah sebagai saksimu.
Hati-hatilah, jangan sampai engkau mengikuti jalan orang-orang yang sesat dan
menyesatkan setelah engkau jadikan Allah sebagai penunjuk jalan.
Hati-hati wahai jiwaku,
jangan engkau ingkar setelah beriman. Jangan engkau tersesat setelah mendapat
petunjuk. Jangan menjadi fasik setelah berkomitmen. Barangsiapa melanggar maka
akibatnya menimpa dirinya.”
Saudaraku, bila Anda
mengharuskan diri untuk berkomitmen terhadap janji yang diikrarkan 17 kali
dalam sehari itu, kemudian Anda mewajibkan supaya Anda meniti tangga menuju
ikrar tersebut, maka Anda telah meniti tangga menuju takwa. Anda sudah
menelusuri jalan ruhani. Dan pada akhirnya Anda akan sampai ke tempat
tujuan.
B. Muroqobah (Merasakan Kehadiran Allah)
Yaitu merasakan
kehadiran Allah di setiap waktu dan keadaan, serta merasakan kebersamaan-Nya di
kala sepi ataupun ramai. Landasan muroqobah dapat Anda temukan dalam
surat asy-Syura ayat 218-219: “Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk
shalat) dan melihat pula perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang
sujud.”
Dalam sebuah hadits,
Rasulullah Saw. pernah ditanya tentang ihsan, maka beliau menjawab: “Hendaklah
kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, dan jika kamu tidak
melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihat kamu.”
Cara Muroqobah
Sebelum memulai suatu
pekerjaan dan disaat mengerjakannya, hendaklah seorang mukmin memeriksa
dirinya; apakah setiap gerak dalam melaksanakan amal dan ketaatan untuk
kepentingan pribadi dan mencari popularitas atau karena dorongan ridha Allah
dan menghendaki pahala-Nya.
Jika benar-benar karena
ridha Allah, maka ia akan melaksanakannya kendatipun hawa nafsu tidak setuju
dan ingin meninggalkannya. Kemudian ia menguatkan niat dan tekad untuk
melangsungkan ketaatan kepada-Nya dengan keikhlasan sepenuhnya dan semata-mata
demi mencari ridha Allah.
Itulah hakikat ikhlas.
Itulah hakikat pembebasan diri dari penyakit nifaq dan riya. Imam Hasan
al-Bashri berkata, “Allah merahmati seorang hamba yang menghentikan hasratnya
jika Allah lepas darinya. Jika tujuannya selain Allah, maka dia
menangguhkannya.”
Muroqobah terbagi
menjadi beberapa macam, di antaranya:
- Muroqobah dalam ketaatan, yaitu harus tulus
karena Allah.
- Muroqobah dalam kedurhakaan, yaitu dengan
taubat, penyesalan dan menghentikannya.
- Muroqobah dalam hal mubah, yaitu dengan
memperhatikan adab dan mensyukuri nikmat.
Orang
yang berakal tidak layak untuk melalaikan empat waktu, yaitu:
- Waktu dia bermunajat kepada Tuhannya
- Waktu dia menghisab dirinya
- Waktu dia menemui teman-temannya yang
mengingatkan aibnya dan membenarkan dirinya
- Waktu dia sendirian dengan kenikmatannya dalam hal-hal yang halal ataukah yang haram.
Yang demikian ini akan
membantu waktu-waktunya yang lain dan bisa menghimpun kekuatan. Saat dia makan
dan minum, tidak seharusnya melepaskan diri dari amal-amal yang lebih utama,
yaitu zikir dan berpikir. Makanan yang disantapnya terkandung berbagai
keajaiban, yang andaikan dia mau memikirkannya, tentu lebih baik dari sekian
banyak amal-amal yang lain.
Kisah-Kisah Muroqobah
a. Kisah tentang seorang
pedagang
Yunus bin Ubaid adalah
seorang pengusaha sukses. Di tokonya ada beberapa jenis perhiasan yang harganya
bermacam-macam. Ada
yang berharga 400 dirham. Ada
juga yang berharga 200 dirham. Ketika akan pergi melaksanakan shalat, ia
menyuruh keponakannya untuk menggantikannya di toko. Kemudian datanglah seorang
Arab Badui hendak membeli perhiasan seharga 400 dirham. Keponakan Yunus pun
menyodorkan perhiasan tersebut. Setelah meneliti perhiasan yang disodorkan
kepadanya, orang badui itu merasa puas dan dibelinya dengan harga 400 dirham.
Kemudian dia pergi meninggalkan toko sambil menimang-nimak perhiasan yang baru
dibelinya itu. Di tengah perjalanan, Yunus bin Ubaid berjumpa dengan pembeli
tersebut dan tahu betul dengan perhiasannya. Maka Yunus bin Ubaid pun bertanya,
“Berapa engkau beli perhiasan itu?”
“400 dirham”, jawab
Badui itu.
“Ah, perhiasan itu
harganya tak lebih dari 200 dirham. Kembalilah ke toko dan ambil uang
lebihnya!”, kata Yunus.
“Perhiasan ini di
kampung saya harganya 500 dirham, dan saya rela membelinya dengan 400 dirham”,
kata orang Badui itu.
“Kalau begitu, ikuti
saya! Sesungguhnya nasehat dalam agama lebih baik dari dunia dan segala
isinya”, ajak Yunus.
Maka diajaknya orang
Badui tersebut untuk kembali ke tokonya kemudian dikembalikannya kelebihan uang
tersebut. Dan beliau menegur keponakannya dengan keras, “Apakah kamu tidak
malu?! Apakah kamu tidak takut kepada Allah?! Kamu ambil untung sebanding
dengan harga barang dan kamu tanggalkan kejujuranmu terhadap orang muslim!”
“Demi Allah, dia
mengambilnya dengan rela sepenuhnya”, bantah keponakannya.
“Bukankah seharusnya
kamu rela untuknya sebagaimana kamu merasa rela untuk dirimu sendiri?”, jawab
Yunus.
b. Kisah tentang
penggembala kambing
Abdullah bin Dinar
berkata: Saya pergi bersama Umar bin Khaththab Ra. menuju Makkah. Ketika kami
sedang beristirahat, tiba-tiba muncul seorang penggembala menuruni lereng
gunung menuju kami. Umar berkata kepada penggembala: “Hai penggembala, juallah
seekor kambingmu kepadaku!”
“Tidak! Saya ini seorang
budak”, jawab penggembala itu.
“Katakan saja pada
tuanmu bahwa dombanya diterkam serigala”, Umar menguji.
“Kalau begitu, di mana
Allah?, tegas penggembala itu.
Ketika mendengar jawaban
tersebut, Umar langsung menangis. Kemudian pergi bersama budak tersebut lalu
dibelinya dari tuannya dan dimerdekakannya seraa berkata, “Kamu telah
dimerdekakan di dunia oleh ucapanmu dan semoga ucapan itu bisa memerdekakanmu
di akhirat kelak.”
c. Wanita yang ditinggal
suaminya bertugas
Wanita itu sudah lama
ditinggal suaminya yang kini sedang bertugas. Ia terkepung dalam kabut
kesepian, di sergap oleh bisikan-bisikan kesendirian. Darah kewanitaannya
bergejolak dan nalurinya membisikkan sesuatu. Namun semua itu terbendung oleh
benteng keimanan dan muroqobatullah. Di tengah malam yang gelap gulita Umar
mendengar wanita itu bersenandung:
Malam lama berlalu,
gelap gulita semakin pekat
Aku masih terjaga, tak
ada kekasih mencumbu
Demi Allah, andai tak
ada Allah yang ditakuti siksa-Nya
Niscaya ranjang ini akan
bergoyang
Hari berikutnya Umar Ra.
menemui anaknya, Hafshah Ra.. Beliau bertanya, “Berapa lamakah seorang istri
bisa sabar menunggu suaminya?”
Hafshah menjawab, “Empat
bulan.”
Selanjutnya Khalifah
Umar bin Khaththab segera mengirim utusan kepada pemimpin pasukan di medan
perang. dalam pesannya, Umar memerintahkan pemimpin pasukan agar tidak menahan
(bertugas) seorang prajurit lebih dari empat bulan. Merupakan fitnah (ujian)
antara perasaan takut wanita tersebut kepada Allah di satu pihak dan dorongan
untuk melakukan maksiat di pihak lain. Kemudian dorongan-dorongan tersebut
lebur di hadapan kekuatan iman. Dan tampillah iman sebagai pemenang.
C. Muhasabah (Introspeksi Diri)
Dasar muhasabah adalah
firman Allah dalam surat
al-Hasyr ayat 18: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Makna muhasabah sebagaimana
disyaratkan oleh ayat ini, ialah: Hendaklah seorang mukmin menghisab dirinya
ketika selesai melakukan amal perbuatan; apakah tujuan amalnya untuk
mendapatkan ridha Allah? Atau, apakah amalnya dirembesi sifat riya? Apakah dia
sudah memenuhi hak-hak Allah dan hak-hak manusia?
Ketahuilah, bahwa
seorang mukmin setiap pagi hendaknya mewajibkan diri dan meminta perjanjian
untuk memperbaiki niat, melaksanakan taat, memenuhi segala kewajiban, dan
membebaskan diri dari riya. Demikian pula di sore hari, semestinya ia punya
waktu untuk menyendiri dengan dirinya guna memperhitungkan semua yang telah
dilakukannya. Bila yang dilakukannya itu kebaikan, maka hendaklah memanjatkan
puji syukur kepada Allah atas taufiknya. Apabila yang dilakukan itu bukan
kebaikan, maka hendaklah ia bertaubat dan kembali ke jalan Allah; seraya
menyesal, memohon ampunan, berjanji untuk tidak mengulangi, serta memohon
perlindungan dalam khusnul khatimah kepada-Nya.
Umar Ra. berkata,
“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum
kalian ditimbang. Dan, bersiap-siaplah untuk pertunjukkan yang agung (hari
kiamat). Di hari itu kamu dihadapkan kepada pemeriksaan, tiada yang tersembunyi
dari amal kalian barang satu pun.”
Cara Muhasabah
Hendaklah seorang muslim
memperhatikan modal, keuntungan dan kerugian, agar ia dapat mengontrol apakah
dagangannya bertambah atau menyusut.
Yang dimaksud dengan
modal adalah Islam secara keseluruhan, mencakup segala perintah, larangan,
tuntunan, dan hukum-hukumnya. Dan yang dimaksud dengan laba adalah melaksanakan
ketaatan dan menjauhi larangan. Sedangkan yang dimaksud dengan kerugian adalah
melakukan perbuatan dosa.
Ketika seorang mukmin
selalu memperhatikan modalnya, memperhitungkan keuntungan dan kerugiannya,
bertaubat dikala melakukan kesalahan dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan
kebaikan, maka ia telah termasuk orang yang menghisab diri sebelum hari
penghisaban.
Jika Anda telah
menghisab diri dalam urusan yang besar maupun yang kecil, dan berusaha keras
menyendiri di malam hari dengan Allah untuk melihat apa yang akan
dipersembangkan di hari kiamat nanti, maka dengan demikian Anda telah melangkah
menuju takwa.
Kisah Tentang Muhasabah
Taubah bin ash-Shimmah
dikenal sebagai orang yang sangat lembut. Dia biasa menghisab dirinya sendiri.
Suatu hari dia menghitung-hitung, selagi sudah berumur enam puluh tahun. Dia
menghitung hari-hari yang pernah dilewatinya, yaitu sebanyak sebelas ribu lima ratus hari.
Tiba-tiba saja dia tersentak dan berkata, “Aduhai celaka aku! Apakah aku harus
bertemu Allah dengan membawa sebelas ribu lima
ratus dosa?” Setelah itu dia langsung pingsan dan seketika itu pula dia
meninggal dunia. Pada saat itu orang-orang mendengar suara, “Dia sedang menitu
ke surga Firdaus.”
D. Mu’aqobah (Pemberian Sanksi)
Landasan mu’aqobah
adalah firman Allah Swt.: “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan)
hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS.
al-Baqarah: 178).
Sanksi yang kita
maksudkan adalah: Apabila seorang mukmin menemukan kesalahan maka tak pantas
baginya untuk membiarkannya. Sebab membiarkan diri dalam kesalahan akan
mempermudah terlanggarnya kesalahan-kesalahan yang lain dan akan semakin sulit
untuk meninggalkannya. Bahkan sepatutnya dia memberikan sanksi atas dirinya
dengan sanksi yang mubah sebagaimana memberikan sanksi atas istri dan
anak-anaknya. Hal ini merupakan peringatan baginya agar tidak menyalahi ikrar,
disamping merupakan dorongan untuk lebih bertakwa dan bimbingan menuju hidup
yang lebih mulia.
Sanksi ini harus dengan
sesuatu yang mubah. Tidak boleh dengan sanksi yang haram, seperti membakar
salah satu anggota tubuh, mandi di tempat yang terbuka pada musim dingin,
meninggalkan makan dan minum sampai membahayakan dirinya. Allah swt. berfirman
agar kita jangan sampai melakukannya: “…dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan…” (QS. al-Baqarah: 195).
Ulama saleh telah
memberikan teladan kepada kita tentang ketakwaan, muhasabah, menjatuhkan sanksi
pada dirinya jika bersalah dan bertekad untuk lebih taat jika mendapatkan
dirinya lalai atas kewajiban. Berikut ini kami sebutkan beberapa contoh:
Dalam sebuah riwayat
disebutkan bahwa Umar bin Khaththab Ra. pergi ke kebunnya. Ketika pulang
didapatinya orang-orang sudah selesai melaksanakan shalat ashar. Maka beliau
berkata: “Aku pergi hanya untuk sebuah kebun, aku pulang orang-orang sudah
shalat ashar! Kini kebunku aku jadikan sedekah untuk orang-orang miskin.”
Kisah yang lain
menyebutkan. Suatu ketika Umar Ra. pernah disibukkan oleh suatu urusan sehingga
waktu maghrib lewat sampai muncul dua bintang. Maka setelah melaksanakan shalat
maghrib, beliau memerdekakan dua orang budak.
Ketika Abu Tholhah
sedang shalat, di depannya lewat seekor burung lalu beliaupun melihatnya dan
lalai dari shalatnya sehingga lupa sudah berapa rakaat beliau shalat. Karena
kejadian tersebut, beliau menyedekahkan kebunnya untuk kepentingan orang-orang
miskin sebagai sanksi atas kelalaian dan ketidak khusyuannya.
Diriwayatkan pula bahwa
Tamim ad-Dari Ra. tidur semalam suntuk tanpa shalat tahajud, maka beliau
mewajibkan dirinya mengisi setiap malam dengan tahajud sebagai sanksi atas
kelalaiannya.
Hasan bin Hannan pernah
melewati sebuah rumah yang selesai dibangun. Beliau berkata, “Kapan rumah ini
dibangun?” Kemudian beliau menegur dirinya sendiri: “Kenapa kau tanyakan
sesuatu yang tidak berguna untuk dirimu?! akan kujatuhkan sanksi dengan puasa
setahun!”
Ada baiknya kita
meneladani kisah-kisah ini dalam muhasabah diri dan menjatuhkan sanksi; jika ia
menemukan kelalaiannya dalam memikul tanggung jawab atau meninggalkan kewajiban
terhadap Allah dan sesama manusia. Misalnya dengan menginfakkan sejumlah uang
tatkala meninggalkan shalat berjamaah, atau dengan mengerjakan beberapa rakaat
shalat sunat ketika tidak mengerjakan dengan sungguh-sungguh kewajibannya.
E. Mujahadah
Dasar mujahadah adalah
firman Allah dalam surat al-Ankabut ayat 69: “Dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan
Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah
benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”
Makna mujahadah
sebagaimana disyariatkan oleh ayat tersebut adalah: Apabila seorang mukmin
terseret dalam kemalasan, santai, cinta dunia dan tidak lagi melaksanakan
amal-amal sunah serta ketaatan yang lainnya tepat pada waktunya maka ia harus
memaksa dirinya melakukan amal-amal sunah lebih banyak dari sebelumnya. Dalam
hal ini harus tegas, serius, dan penuh semangat sehingga pada akhirnya ketaatan
merupakan kebiasaan yang mulia bagi dirinya dan menjadi sikap yang melekat pada
dirinya.
Dalam hal ini cukuplah
Rasulullah Saw. menjadi teladan yang patut diteladani sebagaimana diriwayatkan
oleh Aisyah Ra.: “Rasulullah Saw. melaksanakan shalat malam hingga kedua
tumitnya bengkak. Ketika Aisyah Ra. bertanya, ‘Mengapa engkau lakukan hal itu?
Bukankah Allah sudah mengampuni dosamu yang sudah lalu dan yang akan datang?’
Rasulullah menjawab, ‘Bukankah sepantasnya aku menjadi seorang hamba yang
bersyukur?’.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain,
Aisyah Ra. berkata: “Apabila Rasulullah memasuki sepuluh hari terakhir di bulan
Ramadhan, beliau menghidupkan malam (dengan ibadah), membangunkan keluarganya,
bersungguh-sungguh dan mengencangkan ikat pinggang.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam beberapa hadits,
Rasulullah Saw. memerintahkan dan mendukung pelaksanaan mujahadah dalam amal
ibadah. Di antara bimbingan Rasulullah Saw. mengenai mujahadah adalah:
Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah berfirman: ‘Tidaklah seorang
hamba mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Kusukai selai dari
amalan-amalan wajib dan seorang hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan
melakukan amalan-amalan sunah, sehingga Aku mencintainya. Apabila aku telah
mencintainya, maka Aku-lah yang menjadi pendengarannya, dan sebagai tangan yang
digunakannya untuk memegang dan kaki yang dia pakai untuk berjalan. Dan,
apabila dia memohon maka Aku pasti mengabulkan permohanannya, dan jika
berlindung kepada-Ku pasti Kulindungi’.” (HR. Bukhari).
Ruba’i bin Ka’ab Ra.
berkata: “Suatu malam saya bersama Rasulullah Saw. lalu saya mengambil air
wudhunya dan kebutuhan-kebutuhannya. Kemudian beliau bersabda, ‘Mintalah
padaku’. Saya katakan, ‘Saya memohon agar bisa menyertai Anda di surga’. Nabi
Saw. bersabda, ‘Tidakkah kau minta yang lain?’. Saya katakan, ‘Itulah
permintaan saya’. Nabi Saw. bersabda, ‘Kalau begitu, tolonglah saya untuk
menyelamatkan dirimu dengan banyak bersujud (melaksanakan shalat)’.” (HR.
Muslim).
Berpijak dari bimbingan
Nabi Saw. dalam bermujahadah dan bagaimana memaksakan diri dalam taat serta
mendekatkan diri kepada Allah, maka orang-orang saleh telah menapaki jalan
mujahadah dan melatih diri agar terus bisa bermujahadah. Setiap kali mereka
menemukan kemalasan atau kelalaian dalam melaksanakan hak-hak Allah walau hanya
berupa ibadah sunah, mereka bangkit dari kelalaiannya dengan serius dan tekad
yang bulat kemudian kembali ke jalan Allah dengan penuh kekhusyuan sehingga
mereka sampai ke puncak derajat yakin. Hati mereka merasakan hembusan keimanan
dan di relung jiwa mereka merasakan lezatnya ibadah dan nikmatnya munajat.
Kisah-Kisah Mujahadah
Abu Muhammad al-Jahiri
bermukim di Makkah selama satu tahun. Beliau jarang tidur, jarang berbicara, tidak
bersandar ke dinding dan tidak duduk melonjorkan kaki. Abu Bakar al-Kattani bertanya
kepada beliau: “Bagaimana Anda bisa kuat seperti ini?” Beliau menjawab: “Allah
Maha Mengetahui ketulusan batin saya sehingga dengan demikian Dia menolong
kekuatan lahiriah saya.”
Utsman bin Affan pernah
membaca al-Quran seluruhnya dalam satu rakaat witirnya. Imam Syafi’i pernah
mengkhatamkan sebanyak enam puluh kali pada bulan Ramadhan. Imam Abu Hanifah
pernah shalat sunah dari selepas Isya hingga menjelang subuh. Imam Ahmad bin
Hanbal biasa shalat sunat 300 rakaat dan ketika sakit mampu mengerjakan 100
rakaat. Begitupun hal yang sama dilakukan oleh Imam Zainal Abidin.
Itulah beberapa kisah di
antara sekian banyak kisah yang menggambarkan betapa luhurnya mujahadah mereka
dan betapa banyaknya ibadah dan ketaatan yang mereka lakukan.
Seandainya ulama-ulama
saleh di zaman dulu memiliki sifat-sifat yang kita sebutkan di atas rasanya
sudah cukup membuat mereka punya wibawa, mulia, dan berjaya.
Selanjutnya bagi orang
yang ingin bersungguh-sungguh dalam ibadah dan membawa dirinya untuk
bermujahadah harus memperhatikan dua sisi penting dalam amal-amalnya:
Pertama, hendaklah amal-amal
sunah tidak membuatnya lupa akan kewajiban-kewajibannya. Misalnya ia
mengerjakan suatu sunah tertentu semendata ia mengabaikan hak keluarga berupa
nafkah atau mengabaikan hak dirinya. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Saw.
dalam sabdanya: “Sesungguhnya Allah mempunyai hak yang harus kamu patuhi.
Dirimu pun punya hak yang harus kamu penuhi, dan keluargamu juga punya hak yang
harus kamu penuhi. Penuhilah setiap hak mereka.” (HR. Bukhari).
Kedua, tidak memaksakan diri
dengan amal-amal sunah yang diluar kemampuannya, sebagaimana sabda Nabi Saw.: “Hendaklah
kalian beramal sesuai dengan kemampuan. Demi Allah, Allah tidak akan bosan
sehingga kalian merasa bosan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Apabila ada di antara
ulama saleh melaksanakan amal-amal sunah di luar batas ukuran biasa, maka bisa
ditakwilkan dengan beberapa kemungkinan.
Mungkin hanya untuk
menentang hawa nafsunya yang telah terjerat kelalaian dan kemalasan. Atau
mungkin untuk memohon pertolongan Allah dan keridhan-Nya di waktu-waktu
tertentu yang penuh berkah, atau mungkin karena Allah memberikan kekuatan untuk
bisa melakukan amal-amal seperti itu. Atau mungkin mereka diberi taufik untuk
bisa bermujahadah memenuhi hak tersebut. Dan masih banyak
kemungkinan-kemungkinan lainnya.
Jika Anda sudah berusaha
melakukan mujahadah dengan mencontoh Rasulullah Saw. dan ulama-ulama saleh,
maka saya yakin Anda telah melangkah menuju takwa, menapaki perjalanan ruhani
dan akan sampai ke derajat orang-orang bertakwa.
Itulah beberapa cara
untuk menumbuhkan takwa dalam hati dan ruh setiap mukmin serta menyatukannya
dengan perasaannya. Dengan mu’ahadah Anda dapat beristiqomah di atas syariat
Allah dan dengan muroqobah Anda dapat merasakan keagungan Allah baik di kala
sembunyi atau pun di kala ramai.
Dengan muhasabah Anda
bisa terbebas dari kebusukan hawa nafsu yang selalu berontak, dan bisa memenuhi
hak-hak Allah dan hak-hak sesama manusia. Dengan mu’aqobah Anda bisa memisahkan
diri Anda dari penyimpangan.
Dengan mujahadah Anda
bisa memperbaiki aktivitas diri Anda sekaligus menyingkirkan kelalaian dan
kemalasan. Dengan cara-cara tersebut takwa akan menjadi suatu hal yang biasa
bagi Anda dan akan menjadi akhlak Anda yang sebenarnya.
Bahkan Anda akan sampai ke
puncak kebahagiaan. Anda akan sampai ke derajat yang paling
tinggi. Anda akan mampu menggetarkan musuh, memberi teladan kepada orang lain
baik dalam ucapan, perbuatan, dan kemantapan ruhani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar