Beberapa tahun terakhir buku tentang kebahagiaan banyak
bermunculan. Mulai dari yang berbasis agama hingga yang sekuler. Di antaranya
ada yang diterbitkan ulang dari karya-karya klasik dan ada juga yang ditulis
oleh penulis-penulis kontemporer. Beberapa di antaranya yang saya ingat: La Tahzan karya Dr. Aidh Al-Qarni, Jadid Hayatak karya Syaikh Muhammad
Al-Ghazali, 25 Penyebab Kesulitan Hidup yang ditulis oleh Yaasir
Syalabi, Agar Selalu Di tolong Allah yang ditulis oleh Hendra Setiawan, Pelipur Lara Bagi Orang Yang
Tertimpa Musibah karya Imam
Muhammad bin Al Munbaji, Meraih
Kebahagiaan yang ditulis oleh
Dr. Jalaluddin Rahmat, Kimia
Kebahagiaan karya Imam
Al-Ghazali, dan sebagainya.
Apakah yang menjadi penyebab tema tentang kebahagiaan begitu
menarik bagi kebanyakan orang pada saat ini? Menurut pengamatan saya,
masyarakat saat ini gersang oleh siraman air keimanan sehingga membuat mereka
cenderung materialistik. Ada yang hilang dalam diri mereka padahal yang hilang
itu adalah fundamen hidup mereka. Ada yang kosong tetapi kemudian tidak mereka
isi dengan apa yang seharusnya mereka isi. Mereka mengisinya dengan sesuatu yang
tidak seharusnya mereka isi. Jadinya, bukan semakin dekat dengan kebahagiaan,
mereka semakin jauh (dari kebahagiaan itu).
Apakah yang dimaksud dengan materialistik? Richins dan Dawson mengukur materialisme
dengan menggunakan deinisi operasional berikut: “Kami menganggap materialisme
sebagai serangkaian kepercayaan pokok tentang pentingnya pemilikan dalam
kehidupan seseorang dan mengukur tiga bidang kepercayaan: perolehan kekayaan
sebagai kegiatan paling utama (acquisition centrality), peranan
perolehan ini dalam kebahagiaan, dan peranan pemilikan dalam mendefinisikan
sukses.”
Jika manusia menjadikan kekayaan dan kesuksesan sebagai hal yang
paling penting untuk diraih dalam hidupnya, maka orang itu sesungguhnya telah
terjangkiti virus materialis. Tanyalah para mahasiswa mengapa mereka memasuki
perguruan tinggi. Jika mereka berkata “ingin mendapat pekerjaan yang
menghasilkan banyak uang”, mereka materialis. Jika mereka berkata “ingin mengembangkan
kemampuan yang sesuai dengan bakat” atau apalagi “ingin mengembangkan falsafah
hidup yang berarti”, mereka bukan materialis.
Pertanyaan yang sama pernah diajukan kepada para mahasiswa oleh
UCLA/ American Council on Education dalam rentangan waktu 1971-1998. Pada 1971,
1 dari 2 mahasiswa yang menjawab “ingin memperoleh uang lebih banyak” pada
1988, 3 dari 4 mahasiswa. Ketika ditanya apakah berkecukupan secara finansial
sangat penting bagi kehidupan mereka, jumlah mahasiswa yang menjawab “sangat
penting” bertambah dari 39 % pada 1970 ke 74 % pada 1998. Ini berarti telah
terjadi kenaikan pandangan hidup materialistik di kalangan mahasiswa di
Amerika.
Ahli ekonomi Thomas Naylor dari Duke University, setelah mengajar corporate strategy selama enam tahun memperoleh
kesimpulan begini tentang para mahasiswanya, “hanya dengan sedikit kekecualian,
apa yang mereka inginkan masuk dalam tiga kategori: uang, kekuasaan, dan
barang-barang sangat besar, termasuk rumah untuk berlibur, mobil luar negeri
yang mahal, yacht, dan bahgkan pesawat terbang…Permintaan mereka pada para
dosen: Teach me how to be a
moneymaking machine.
Pertama, makin materialis seseorang, makin
tidak puas dia dengan standar hidupnya, makin kurang kesenangannya, makin tidak
puas dengan sahabat-sahabatnya, makin tidak hangat dalam hubungan
keluarganya. Kedua, orang yang meletakkan uang dalam urutan
tertinggi tujuan hidupnya lebih mudah menderita depresi dan lebih banyak
menderita kecemasan. Ketiga, Orang yang suka membelanjakan uangnya
untuk hal-hal yang tidak perlu biasanya sangat sulit untuk mengeluarkan uangnya
untuk menjamu tamu, menolong, atau melakukan kegiatan sosial.
Keempat, orang-orang materialis umumnya
punya sedikit kawan. Mereka mencari kebahagiaan dalam pemilikan kekayaan, bukan
pada perahabatan atau persaudaraan. Ketika mereka punya uang banyak tetapi
sahabat yang sedikit, mereka hanya melakukan kegiatan yang mendatangkan sukses
material, walaupun harus mengorbankan sahabat atau keluarga. Bahkan ketika memilih
ahabat sekali pun, mereka menggunakan ukuran-ukuran materi. Kamu hanya boleh
datang ke rumahku dan mendapat semua penghargaan dan penghormatanku, jika dan
hanya jika kamu punya kekayaan yang dapat dibanggakan.
Kelima, kekayaan datang dari luar diri kita.
Orang materialis bersandar pada kekayaan untuk kebahagiaan mereka. Karena itu,
kebahagiaan mereka sangat bergantung pada situasi di luar kendali mereka.
Mereka menjadi sangat rentan. Setiap saat, hartanya bisa hilang. Dengan begitu,
pemilikan kekayaan tidak dapat menjamin kebahagiaan. Dalam hubungannya dengan
kebahagiaan, kekayaan adalah ganjaran yang datangnya dari luar (extrinsic
rewards).
Fakta-fakta ini dapat menjadi bahan renungan bagi kita tentang
penyebab ketidakbahagiaan dalam hidup kita. Kita dapat bertanya dalam hati
apakah ketidakbahagiaan kita selama ini disebabkan oleh cara pandang yang salah
tentang kehidupan ini. Apakah kita lebih cenderung pada materi ketimbang
nilai-nilai positif? Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari hasil penelitian
di atas. Kita harus potong kompas agar tidak terjerumus pada lubang yang sama
seperti yang di derita orang-orang Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar