Kadang setelah selesai menulis, saya melihat tulisan yang saya tulis itu buruk sekali sehingga saya tidak mempublikasikannya. Saya hanya bisa menyimpannya di lembaran-lembaran kertas atau di dalam file komputer saya. Tulisan itu jauh lebih banyak daripada tulisan yang saya publikasikan. Awalnya, saya berpikir, tulisan-tulisan itu tidak berguna sama sekali. Tetapi kemudian saya pertimbangkan untuk menyimpannya. Sayangnya sebagian ada yang hilang karena saya menganggapnya kurang bermanfaat.
Di waktu senggang, saya membaca kembali tulisan itu, dan sel-sel otak kanan saya mulai mencari jaringan yang menghubungkan pada pengetahuan baru. Bila kondisi hati saya masuk ke dalamnya, saya merasa tulisan itu sangat layak untuk dikembangkan lagi. Akhirnya, tulisan yang tadinya satu atau dua halaman bisa menjadi tiga halaman. Atau bahkan lebih. Beberapa tulisan saya yang pernah dimuat di media cetak dan internet adalah tulisan yang saya simpan beberapa tahun sebelumnya. Luar biasanya, ketika saya memperbaikinya, tulisan itu langsung dimuat di sebuah surat kabar nasional.
Dari pengalaman ini, saya kemudian menyimpulkan, janganlah memandang remeh tulisan yang kita buat sendiri. Karena gagasan yang ada di dalamnya sepenuhnya keluar dari dalam diri kita sendiri. Itulah jati diri kita. Itulah hakikat pengetahuan yang kita miliki. Tulisan itu tidak akan sama dengan tulisan orang lain dalam hal tata bahasanya. Jiwa kitalah yang memperidahnya. Jiwa kita akan menambah yang perlu atau mengurangi yang tidak perlu, atau bahkan kita mendapatkan gagasan lain diluar tulisan semula. Tulislah. Bila merasa kurang bagus, simpanlah! Bacalah tulisan itu diwaktu senggangmu. Libatkan dirimu ke dalamnya. Bila tulisan itu telah menyambung dalam jiwamu, maka ia akan datang memberikan sentuhan keindahan bagimu itu.
Anda benar Bang Abu Farras Mujahit. Saya juga mengalami hal yang sama dengan Anda. Sebaliknya, jangan terburu-buru mempublish tulisan kita. Setidaknya bacalah ulang dua sampai tiga kali.
BalasHapusSip mas adi :)
Hapus