Setelah saya menulis
artikel berjudul "Dari
Irshad Manji untuk Anak Kita", saya ingin melanjutkannya dengan
menulis artikel tentang bagaimana Rasulullah Saw. dan orang-orang beriman
mencintai dan menyayangi keluarganya dan bagaimana dampaknya kepada anak-anak
mereka.
Di dalam Sirah Nabawiyah
disebutkan bahwa ketika masih di dalam kandungan, Rasulullah sudah ditinggal
mati ayahnya, Abdullah. Dan, ketika berumur enam tahun beliau sudah ditinggal
mati ibunya tercinta, Aminah. Betapa sangat menyedihkannya. Sejak kecil Rasulullah
Saw. sudah menjadi anak yatim piatu. Namun kemudian kakeknya Abdul Muththalib
mengambil alih pengasuhannya. Abdul Muththalib adalah seorang kakek yang
penyayang. Beliau membesarkan Muhammad kecil dengan penuh tanggung jawab.
Setelah sang kakek wafat,
Muhammad diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Seperti kakeknya, Abu Thalib juga
dikenal sebagai pribadi yang penyayang. Abu Thalib tidak membeda-bedakan antara
anak dengan keponakannya itu. Ketika Rasulullah mulai menyebarkan Islam
ditengah kaumnya, Abu Thalib adalah orang yang menjadi pembelanya walaupun
masih musyrik. Oleh karena itu, ketika Abu Thalib wafat, Rasulullah sangat
sedih dan merasa kehilangan. Apalagi di saat yang hampir bersamaan, Rasulullah
juga ditinggal wafat istrinya tercinta, Khadijah. Jadilah tahun itu sebagai
tahun kesedihan bagi diri beiau.
Sahabatku, demikianlah
Rasulullah Saw. Beliau dibesarkan ditengah keluarga yang penuh cinta kasih. Ini
juga bagian dari takdir Allah. Rasulullah diasuh oleh Abu Thalib bukan Abu
Lahab, padahal sama-sama pamannya. Abu Thalib dan Abu Lahab adalah dua pribadi
yang berbeda jauh. Yang satu penuh cinta, sedangkan yang kedua penuh
kebencian.
Lantas, bagaimana dengan
Rasulullah? Apakah beliau juga membina keluarganya dengan penuh cinta kasih?
Apakah beliau juga mencintai dan menyayangi anak dan cucunya? Bagaimana
hubungan beliau dengan anak-anak kecil disekitar beliau?
Rasulullah memiliki
beberapa orang anak. Anak laki-laki beliau wafat di saat mereka masih bayi.
Sedangkan anak-anak perempuan beliau tumbuh dewasa. Mereka semua beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya. Keimanan mereka menunjukkan betapa mereka sangat mengenal
sosok dan pribadi Rasulullah.
Berbeda dengan para Nabi
palsu, di antara keluarga mereka ada yang tidak mau beriman bahkan mengingkari
dan memusuhinya. Karena, mereka melihat ayah mereka yang mengaku menjadi Nabi
tidaklah pantas menjadi seorang Nabi karena akhlaknya yang buruk. Ini adalah
pemikiran yang logis. Mana ada seorang Nabi memiliki akhlak yang buruk dan
tercela baik sesudah menjadi Nabi maupun sebelum menjadi Nabi? Oleh karena itu,
ketika Rasulullah Saw. mengumpulkan kaum musyrikin Makkah di sebuah bukit dan
mengatakan, "Apakah bila aku mengatakan bahwa musuh akan menyerang kita
kalian akan mempercayai apa yang kukatakan?" Lantas orang-orang kafir
Quraisy serentak mengatakan, "Kami percaya." Ya, karena orang-orang
kafir Quraisy memang sudah lama mempercayai Rasulullah Saw. dalam hal
integritas dan kejujuran. Sehingga mereka menjuluki Rasulullah dengan julukan Al-Amin.
Rasulullah sangat
menyayangi anak-anak kecil. Hasan dan Husein, cucu beliau, pernah menaiki
punggung beliau saat sedang sujud shalat. Beliau membiarkan keduanya puas
bermain di punggung beliau dengan tidak bangkit dari sujud. Rentang waktunya
cukup lama hingga mereka lepas dari Rasulullah dan kemudian Rasulullah dapat
bangkit dari sujudnya. Rasulullah merasa tak tega bila kedua cucunya itu
terjatuh bila dirinya bangkit dari sujud sementara mereka tengah asyik bermain
di punggungnya.
Pada
suatu hari Nabi sedang berkhutbah, lalu Al-Hasan dan Al-Husain (yang masih
kecil) datang memakai dua baju –mungkin baju baru-. Baju keduanya tersebut
kepanjangan, sehingga keduanya tersandung-sandung jatuh bangun tatkala
berjalan. Maka Nabipun turun dari mimbar lalu menggendong keduanya dihadapan
beliau (di atas mimbar) lalu beliau berkata: “Maha benar Allah…'Hanyalah
harta kalian dan anak-anak kalian adalah fitnah', aku melihat kedua anak kecil
ini berjalan dan terjatuh, maka aku tidak sabar hingga akupun memutuskan khutbahku
dan aku menggendong keduanya.”
Rasulullah Saw.
mempercepat shalatnya ketika mendengar ada bayi menangis. Beliau ingin
mengetahui mengapa bayi itu menangis, menimang-nimangnya, dan membelainya agar
berhenti menangis. Beliau tidak ingin membuat ibunya susah karena suara
tangisan bayinya. Rasulullah juga pernah mencium seorang anak dari anak
sahabatnya. Padahal sahabat tersebut mengakui belum pernah mencium anaknya yang
berjumlah sepuluh. Lantas Rasulullah Saw. menegurnya dengan
mengatakan,barangsiapa yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi.
Dalam mengomentari hadits
ini, Imam Ibnu Bathol berkata, "Menyayangi anak kecil, memeluknya,
menciumnya, dan lembut kepadanya termasuk dari amalan-amalan yang diridhai
Allah dan akan diberi ganjaran oleh Allah Swt.."
Rasulullah pernah melewati
sekelompok anak kecil yang sedang bermain, maka beliau mengucap salam kepada
mereka seperti beliau mengucap salam kepada para sahabatnya. Pernah juga
beliau menangis saat menggendong cucunya yang telah wafat. Lalu para sahabat
bertanya kepada Rasulullah mengapa beliau meneteskan airmata. Padahal beliau
adalah orang yang paling sabar dalam menghadapi musibah. Lantas beliau
berkata,airmata ini adalah airmata kasih sayang.
Begitulah akhlak dan
teladan Rasulullah Saw. Beliau sangat memperhatikan anak-anak kecil disekitar
beliau. Beliau kadang memberi nama bagi bayi yang baru lahir, mentahniknya,
mengazani dan mengiqomatinya, mengakikahinya atau menghadiri undangan akikah anak
sahabatnya, menggendongnya, bahkan beliau pernah dipipisi oleh seorang bayi dan
beliau tidak marah. Justru orangtua bayi itulah yang marah karena rasa malu.
Bekas pembantu Rasulullah, Anas bin Malik berkata, "Aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih
sayang kepada anak-anak dari pada Rasulullah Saw."
Para ulama berlomba-lomba
mengkaji dan menulis fikih tentang anak. Atau memasukkan pembahasan tentang
anak dalam buku-buku mereka. Untuk melihat luar biasanya Rasulullah dalam
mendidik anak. Berkat tarbiyah beliau,lahirlah anak-anak yang gagah berani
seperti Hasan, Husein, Usamah, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas, dan sebagainya.
Alangkah baiknya bila kita membaca buku Tarbiyatul
Aulad fil Islam (Pendidikan
Anak dalam Islam) 2 jilid karya Dr. Abdullah Nashih Ulwan.
Untuk mengenal Islam dan
mengetahui apa itu Islam, seharusnya pandangan pertama kita tertuju pada
Rasulullah Saw. Bukan pada yang lain. Karena Rasulullah Saw. adalah bukti
pengejawantahan isi Al-Qur'an. Rasulullah adalah Al-Qur'an yang sedang
berjalan. Sunnah beliau adalah bukti dari pemahaman beliau yang sempurna dan
paripurna tentang Al-Qur'an. Beribadah sesuai dengan sunnah Rasul-Nya
berbuahkan pahala. Begitupun bila kita berniat ber-ittiba kepada Rasulullah
insya Allah berpahala, seperti memanjangkan janggut dan mencukur kumis bagi
laki-laki, makan dan minum dengan menggunakan tangan kanan, masuk wc dengan
kaki kiri terlebih dahulu, keluar wc dengan kaki kanan, dan sebagainya.
Berbeda bila kita
mencontoh dan meneladani orang lain, belum tentu berpahala malah bisa menjadi
dosa. Misalnya, berbuat kejahatan atau melakukan perbuatan yang dilarang
agama. Ketika kita melihat keburukan seorang muslim dan kemudian
menganggap bahwa tingkah laku tersebut bagian dari ajaran Islam, itu adalah
satu kesalahan yang fatal.
Islam mengajarkan kita
tentang keindahan hakiki, kedamaian hakiki, keselamatan hakiki, kasih sayang
hakiki. Islam membesar bukan karena kekerasan atau dengan pedang karena kesetiaan
dan pengorbanan tidak tumbuh dari sana tapi tumbuh dari dakwah yang penuh
kebaikan, cinta kasih, dan kelembutan sebagaimana yang telah dicontohkan
Rasulullah.
SUBHANALLOH
BalasHapus