Setelah aku mempelajari sejarah peradaban Islam di masa lampau, aku temukan banyak pelajaran berharga di dalamnya. Aku temukan para penguasa bekerjasama dengan para ulama. Mereka bahu membahu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Sebagian di antara para penguasa terdapat para ulama atau ilmuwan. Sebagiannya lagi sangat menghargai ilmu pengetahuan untuk meningkatkan kemajuan dan taraf hidup umat manusia. Tidak heran, kerjasama itu menghasilkan sekolah-sekolah, universitas-universitas, laboratorium-laboratorium, dan perpustakaan-perpustakaan besar dan ternama. Orang-orang berduyun-duyun untuk mendatangi tempat-tempat itu, tidak terkecuali umat non-muslim. Kemajuan ilmu pengetahuan Barat saat ini adalah transfer dari dunia Islam di masa lalu.
Saat ini, aku belum mendapatkan penguasa yang betul-betul mencintai ilmu dan ulama atau ilmuwan. Sebagian dari mereka terkesan datar-datar saja, tidak ada kecenderungan untuk mengangkat ilmu pengetahuan ke tempat yang mulia. Sebagiannya lagi malah cenderung menghargai sesuatu yang tidak berguna, bahkan cenderung ke arah perbuatan maksiat. Yang paling parah di antara mereka adalah memiliki sikap yang otoriter dan dictator. Mereka bertahun-tahun berkuasa, dan kemudian ketika akan berakhir masa kekuasaan mereka, mereka serahkan kekuasaan itu kepada keturunan mereka. Seolah-olah negara yang mereka pimpin adalah sebuah kerajaan dan mereka adalah raja di dalamnya.
Salah satu pola pendidikan yang salah menurutku adalah, membiarkan anak-anak kita memulai pelajarannya pada ilmu-ilmu linguistic-matematis. Padahal, pola pikir dan karakter anak harus dibangun berdasarkan hal-hal yang paling agung, yaitu Islam. Jika anak-anak tidak diajarkan dasar-dasar Islam dengan baik, maka ia tidak akan memahami tujuan hidup mereka selama di dunia. Mereka akan kebingungan dan bisa-bisa mengambil landasan berpikir yang salah. Seharusnya, anak-anak kita diajarkan membaca al-Quran, menghafal ayat-ayat al-Quran, hadits Nabi, dan dasar-dasar agama lainnya. Setelah mereka menguasainya dengan baik, kemudian mereka mulai diarahkan pada minat dan bakat mereka. Tidak semua yang mempelajari dasar-dasar agama kemudian berminat pada ilmu-ilmu agama. Di antara mereka ada yang berminat pada sastra, ilmu-ilmu sosial, dan ilmu-ilmu eksak. Ibnu Sina, dokter dan filosof terkemuka di zamannya, sejak kecil hafal al-Quran dan telah memahami dasar-dasar agamanya dengan baik. Yang menjadi kesalahan adalah mengarahkan anak-anak kita pada sesuatu yang bukan minatnya. Hal ini akan berbahaya dikemudian hari, karena anak akan terkekang jiwanya, munafik, dan terjerumus pada kebekuan berpikir atau pengangguran. Apalagi sampai memaksakan kehendak kita pada anak, padahal kehendak itu tidak sesuai dengan minat dan keinginannya. Jika dasar anak itu pemberani, ia akan memberontak, namun jika penakut, ia hanya bisa diam yang akhirnya menimbulkan penyakit stress atau depresi. Penyakit jiwa ini lebih berbahaya daripada penyakit fisik, karena akan mengganggu mental dan psikologis anak, bahkan dapat menurunkan system kekebalan tubuhnya. Akibatnya sejumlah penyakit fisik mudah bersarang ke dalam dirinya.
Ketika anak sudah menaruh minat di suatu cabang ilmu pengetahuan, maka kewajiban orangtua adalah mengarahkan, mendukung sepenuhnya, dan memberikan yang terbaik kepadanya. Hasil akhirnya adalah sunnatullah, yaitu kesuksesan hidup akan diraih anak. Bukankah kita bangga memiliki anak yang berprestasi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar