Setelah
membaca artikel http://politik.kompasiana.com/2012/05/06/poor-irshad-manji/?ref=signin saya
menjadi semakin yakin bahwa apa yang menimpa Irshad Manji tidak jauh berbeda
dengan apa yang menimpa tokoh-tokoh ateis seperti Nietszhe dan Freud atau
tokoh-tokohbesar lainnya yang secara pemikiran menyimpang dari fitrah.
Paul Vitz dalam bukunya Psychology
as Religion: The Cult of Self Worship (1998)
mengungkapkan bahwa penolakan terhadap Tuhan dan agama sering terjadi bukan
karena hasil renungan dan penelitian yang sadar. Anda tidak percaya kepada
agama bukan karena secara ilmiah Anda menemukan agama itu hanya sekumpulan
takhayul. Kamu menolak agama bukan karena alasan rasional, melainkan faktor
psikologis yang tidak Kamu sadari. Nietszhe menolak Tuhan, seperti diakuinya,
bukan karena "pemikiran", melainkan karena "naluri".
Teori Freud bahwa agama itu ilusi tampaknya bulat-bulat
mengambil dari Feurbach. Teori ini tidak punya dasar dalam psikoanalisis. Freud
sendiri mengakuinya dalam surat yang dikirimnya kepada kawannya, Oskar Pfister:
"Marilah kita berterus terang dalam hal ini bahwa pandanganku yang
diungkapkan dalam bukuku, The Future of an Illusion, bukanlah bagian dari teori analitis. Semua gagasan di sana
hanyalah pandangan pribadiku."
Teori agama Freud dirumuskan dari "pandangan
pribadinya", lalu Paul Vitz merumuskan teori ateisme dari pandangan
psikoanalisis Freud dari Oedipus Complex. Ia menggabungkannya dengan pandangan pribadi Freud tentang
proyeksi "pemuasan keinginan". Di samping proyeksi tentang agama,
sekarang ada proyeksi tentang ateisme. Di samping teori ketidaksadaran, Oedipus Complex menjadi konsep sentral psikoanalisis. Sekali lagi
singkat cerita, ketika anak berusia kira-kira 3 tahun anak laki-laki punya
hasrat seksual kepada ibunya. Tetapi, ia berhadapan dengan "pesaing"
yang sangat tangguh, yaitu ayahnya sendiri. Ia ingin menggantikan posisi
ayahnya, tetapi tidak mampu. Ia bercita-cita untuk membunuh ayahnya. (Sebagai
keterangan yang diselipkan dengan cepat, Saphocles dalam drama Oedipus Tyrannus
menceritakan Oedipus yang membunuh ayahnya dan mengawini ibunya). Cerita tentang
yang membunuh ayahnya terdapat dalam berbagai mitos, antara lain, sangkuriang
di dalam legenda orang sunda. Maka, pandangan Freud yang menganggap Tuhan
diciptakan dengan citra bapak, dan agama lahir sebagai cara untuk memuaskan
keinginan untuk mendapat perlindungan bapak, keinginan untuk membunuh ayah dan
menggantikan posisi ayah dengan dirinya, menjadi dasar psikologis ateisme.
Membunuh ayah disublimasikan dengan membunuh Tuhan. Lihatlah, bagaimana
Nietszhe menggambarkan Zarathustra yang berkata: "Gott ist
gestorben. Tuhan sudah mati!"
Karena itu, ketika sebagian ilmuwan menyingkirkan Tuhan dari
laboratorium alam semesta, ketika Freud menganggap Tuhan sebagai ilusi, ketika
psikologi mengabaikan agama sama sekali, mereka adalah para Oedipus yang sedang
membunuh ayahnya. Paul Vitz menunjukkan bahwa para ateis "dengan sedikit
kekecualian" adalah orang-orang yang ditinggalkan ayah pada usia dini atau
karena sesuatu hal yang membenci ayahnya itu. Seperti Nietzshe, Freud memandang
ayahnya sebagai bapak yang lemah, pengecut, dan berprilaku seksual yang
menyimpang. Ia membenci ayahnya, dan selanjutnya membenci Tuhan, yang tercipta
berdasarkan citra ayahnya. Psikoanalisis akhirnya membuang Tuhan sebagai
sekadar ilusi kekanak-kanakan.
Mereka
dibesarkan di tengah keluarga yang buruk. Keburukan itu semakin bertambah buruk
ketika seorang Irshad Manji menganggap bahwa semua itu berasal dari ajaran
Islam. Bermula dari yang privat kemudian dia menganggap bahwa yang privat itu
bagian dari ajaran Islam. Lantas dia memberitahukan kepada publik, dengan
kacamata seseorang yang memandang Islam sebagai pesakitan.
Artinya,
Irshad Manji itu sebuah tragedi kemanusiaan yang bisa saja menimpa anak-anak
kita bila kita tidak membesarkannya dengan penuh cinta dan kasih sayang sebagaimana
Rasulullah Saw., para sahabatnya, dan orang-orang beriman mencontohkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar