Kesedihan telah membunuh banyak orang pada zaman ini.
Entah itu karena dampak fisik yang ditimbulkannya seperti munculnya berbagai
penyakit hingga akhirnya mereka wafat karenanya. Bisa juga dampak kesedihan itu
berwujud lain yang jauh lebih mengerikan seperti bunuh diri. Orang-orang yang
bunuh diri sudah dipastikan mereka sedang bersedih. Kesedihan mereka bisa
karena penyakit yang tidak kunjung sembuh, ditinggal orang-orang terkasih,
terlilit hutang, cinta ditolak, yang intinya terkait masalah duniawi belaka.
Tentu saja sedih yang dimaksud di sini adalah sedih pada
hal-hal duniawi. Sementara sedih pada hal-hal yang terkait akhirat seperti
sedih tidak shalat malam, sedih tidak bisa membaca Al-Qur’an. Sedih pada
akhirat akan ditingkatkan menjadi amal saleh. Bila bersedih tidak shalat malam
pada waktu malam tadi, maka dia akan berusaha shalat malam pada malam-malam
berikutnya.
Sejarah telah mengisahkan dua karakter yang bertolak
belakang dalam menghadapi musibah. Yang pertama mereka hanyut dalam kesedihan
itu hingga akhir hidupnya. Dan yang kedua mereka yang tabah menjalani musibah
itu. Akhir kehidupan mereka pun berbeda. Yang satu senantiasa bersedih,
sementara yang kedua senantiasa bahagia. Kelompok kedua ini menerima takdir
baik sedih maupun senang. Bila kesusahan yang mereka dapat, maka mereka
bersabar. Sebaliknya, jika kesenangan yang mereka dapat, maka rasa syukur yang
mereka panjatkan.
Rasa sedih dan stress menjadi penyebab utama kematian
penyair terkenal dari Mesir, Shalah Jahin. Demikian juga Napoleon Bonaparte
yang mati karena stress dan bersedih di pengasingannya. Gamal Abdun Naser mati
muda karena penyakitnya yang disebabkan kesedihan akibat kekalahan perang dan
makian banyak orang benci kepadanya.
Patricia dan Ron Deutsch, dua orang
peneliti Barat berkata, “Stres emosi bisa menimbulkan penyakit sungguhan –
perubahan-perubahan nyata pada unsur kimiawi dan struktur tubuh orang yang
cukup normal. Dan fenomena ini secara mengagumkan adalah hal yang umum. Banyak
spesialis yang sependapat bahwa gangguan-gangguan psikogenik (gangguan yang
disebabkan emosi) menyebabkan sebagian besar orang berobat ke dokter.”
George Engel, M.D. dalam artikelnya
berjudul “Dapatkah Emosi Anda
Membunuh Anda” mengumpulkan
275 kasus di mana kematian umumnya terjadi selama beberapa menit atau beberapa
jam setelah peristiwa besar dalam hidup seseorang. Sebagian besar, korban
dianggap tidak sedang sakit pada waktu itu, jika sedang sakit tidak mendekati
bahaya kematian.
Seorang ibu berkebangsaan Jerman telah membunuh ketiga
anaknya. Penyebabnya telah terbukti bahwa ibu tersebut menderita stress dan
selalu bersedih.
Karena cintanya yang begitu dalam kepada ketiga anaknya,
ia tidak rela bila mereka hidup dalam kesulitan dan kesedihan sebagaimana yang
ia rasakan. Karenanya, ibu tersebut memutuskan untuk melepaskan kesulitan hidup
dari anak-anaknya dengan cara membunuh mereka, sekaligus menghabisi hidupnya
sendiri.
Kasus bunuh diri menempati satu dari 10
penyebab kematian di setiap Negara. bunuh diri merupakan satu dari tiga
penyebab utama kematian pada kelompok umur 15 hingga 44 tahun dan nomor dua
untuk kelompok 10 hingga 24 tahun. WHO atau Organisasi Kesehatan Dunia pada
2010 melaporkan angka bunuh diri di Indonesia mencapai 1,6 hingga 1,8 per
100.000 jiwa.
Angka itu bisa jadi masih lebih besar
lagi mengingat fenomena bunuh diri adalah ibarat gunung es, yang tampak hanya
puncaknya sementara yang tertutup dan ditutupi sesungguhnya lebih besar lagi.
Dengan semakin majunya peradaban manusia
melalui berbagai teknologi ternyata manusia mengalami kerentanan menghadapi
diri sendiri maupun lingkungan yang akhirnya bermuara pada tindakan bunuh diri.
Kenyataan ini dibuktikan dengan
peningkatan angka bunuh diri yang meningkat secara signifikan. Perkiraan WHO
memperkirakan pada 2020 angka bunuh diri secara global menjadi 2,4 per 100.000
jiwa dibandingkan 1,8 per 100.000 jiwa pada 1998.
Mari kita bandingkan dengan orang yang
kokoh imannya dan selalu berpikir positif atas musibah yang terjadi.
- Umar bin Khaththab Ra. berkata, “Inilah aku. Tidak pernah aku menuntut, malah aku menikmati apa yang telah ditetapkan dalam qadha.” Artinya, Umar bahagia dengan qadha dan qadar Allah, baik yang manis maupun pahit.
- Abu Dzu’aib Al-Hudzli pernah kehilangan 8 orang anak dalam setahun karena terserang penyakit tha’un. Apa reaksinya? Ia tetap beriman, berpasrah diri, dan tunduk terhadap ketentuan Allah seraya berkata: “Aku perlihatkan kesabaranku kepada orang-orang yang suka mencela. Sungguh aku tidak pernah menyerah atas perjalanan waktu. Jika harapan dan impian sudah menggenggam dan mengatur jalan hidupmu tak akan bermanfaat lagi segala azimat yang ampuh.”
- Ibnu Abbas Ra. kehilangan pandangannya (buta), tapi dia berkata sambil menghibur dirinya: “Jika Allah telah mengambil sinar dari kedua mataku, masih tersisa di hati dan sanubariku cahaya yang lain. Aku masih dianugerahi hati yang cerdas dan akal yang tidak menyimpang sedang lisanku dibuat tajam bagaikan pedang menyambar." Demikian Ibnu Abbas menghibur dirinya dengan mengingat berbagai nikmat yang terdapat pada dirinya meski kehilangan sedikit nikmat.
- Salah satu kaki Urwah bin Zubair diamputasi dan pada hari yang sama seorang putranya meninggal. Ia berkomentar: “Segala puji bagi-Mu ya Allah! Meski hari ini Engkau mengambil, dulu Engkau pernah memberi. Meski kini Engkau member cobaan, dulu Engkau sering member keselamatan. Engkau telah memberiku empat anggota badan (kaki dan tangan), namun Engkau hanya mengambil satu saja dariku. Engkau pernah memberiku empat orang anak, namun Engkau hanya mengambil satu dariku.”
- Saudara Duraid yang bernama Abdullah bin Ash-Shammah terbunuh. Setelah mendapat kabar bahwa pembunuhnya hanya membela diri sekuat tenaga dari serangan saudaranya dan tidak ada kompromi dalam keputusan pengadilan, Duraid pun menemuinya. Duraid berkata, “Aku serang kuda hingga lari terbirit-birit meski aku berlari ditengah gulita malam. Aku bersedih dan coba menghibur diri saat seorang saudara mati dan menjadi sadar diri bahwa tiada yang kekal hidup di dunia. Aku coba menahan diri untuk tidak berkata dusta kepadanya bahwa Anda berdusta dan aku pun tidak kikir menyembunyikan apa yang kumiliki.”
- Imam Syafi’i pernah memberi nasehat saat melayat orang yang terkena musibah: “Lupakanlah hari-hari yang lalu dan kerjakan apa yang kau suka dan siapkan diri saat ketetapan telah bertindak. Jika ketetapan telah turun pada suatu kaum, tidak ada bumi dan langit yang mampu menolaknya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar