Jumat, 03 Oktober 2014

Masalah Palestina: Damai atau Perang?

Saya membaca berita running text di salah satu stasiun televisi. Di sana tertulis: Perancis mengecam Israel yang telah membangun pemukiman baru di Yerussalem.

Saya katakan, tidak kali ini saja negara-negara Barat mengecam Israel. Dan tidak kali ini saja Israel tidak menggubrisnya. Kecaman hanya kecaman. Ibarat teriakan yang masuk telinga kanan, lalu keluar begitu saja melalui telinga kiri. Kecaman itu berlalu begitu saja. Ada atau tidak adanya kecaman tidak membuat Israel terpengaruh atas segala kebijakannya terhadap bangsa Palestina.

"Bahasa perdamaian" yang selama ini digunakan oleh sebagian orang untuk menghadapi Israel justru malah digunakan Israel untuk melakukan aksi kejahatannya. Dari dekade ke dekade bukannya wilayah Israel itu berkurang atau minimal tetap, malah terus bertambah.

Maka pendapat yang paling benar adalah apa yang dikemukakan oleh HAMAS. Bahwa Israel hanya mengenal "bahasa senjata" untuk menghentikan aksi kebiadabannya. Dan tampaknya pendapat ini memang benar adanya. Di perbatasan jalur Gaza tidak ada satupun orang Yahudi berani membangun pemukiman baru. Bahkan awalnya, sebelum HAMAS berkuasa, pemukiman Yahudi banyak bertebaran disekitar perbatasan jalur Gaza. Namun ketika HAMAS berkuasa, orang Yahudi hengkang sampai sejauh radius belasan kilometer. Karena jika tidak, mereka akan terus menerus di bombardir oleh pejuang HAMAS.

Pilkada Langsung atau Tidak Langsung?

Menurut saya, Pilkada langsung atau tidak langsung adalah hasil ijtihad manusia. Hasil ijtihad bisa saja berubah diukur dengan mana yang lebih maslahat dan mana yang lebih mudharat.

Dulu para aktivis dakwah menghendaki pilkada langsung sebagai jalan untuk berdakwah lebih besar di dunia politik. Tapi sekarang banyak di antaranya justru menghendaki pilkada tidak langsung. Bukan sebuah kemunafikan adanya perubahan itu karena posisinya bukan halal dan haram. Atau haq dan batil.

Oleh karena itu, tidak boleh seseorang menjelek-jelekkan orang lain apalagi melabeli orang yang berseberangan dengan gelar-gelar kufur.

Jumat, 26 September 2014

Keberanian untuk Memulai Kebaikan

”Barangsiapa tidak menyayangi siapa (yang berada) di bumi maka tidak menyayanginya siapa (yang berada) di langit”. (Riwayat Ath Thabrani, dan dishahihkan oleh Al Hafidz As Suyuthi)

Dalam syarh Al Hikam disebutkan, bahwa seseorang bermimpi bertemu dengan dengan saudaranya yang telah wafat, kemudian ia pun bertanya mengenai perihalnya, ”Apa yang telah Allah lakukan terhadapmu?” Saudaranya itu pun menjawab,”Allah mengampuniku dan menyayangiku, hal itu disebabkan saat aku melalui jalanan di Baghdad dalam keadaan hujan deras, aku menyaksikan seekor kucing kedinginan, aku pun merasa kasihan lalu aku ambil dia dan kuletakkan dibalik pakaiannku.” (Lihat, Faidh Al Qadir, 6/239)

Melakukan kebaikan memerlukan keberanian untuk memulai.Saat berada di dalam sebuah bus, disebelah kita ada seorang nenek berdiri. Dia berdiri karena tidak dapat kebagian tempat kursi. Karena kasihan kita pun mempersilahkan sang nenek untuk duduk di tempat kita duduk. Tampak sederhana. Tapi sungguh hal itu memerlukan keberanian untuk memulai. Karena bisa saja ada respon orang lain yang membuat kita malu. Misalnya perkataan teman kita, "Wah solehnya kamu", "Ngga nyangka kamu begitu peduli". Atau pandangan tidak biasa dari orang-orang di sekeliling kita.

Mungkin mereka memandang kita demikian karena kita tidak seperti yang mereka bayangkan sebelumnya; kita ini sama seperti mereka. Sama-sama tidak peduli. Sama-sama tidak soleh.

Keberanian itu mengalahkan ocehan-ocehan yang membuat kita malu atau ego yang membuat kita tidak bergerak atau rasa malas yang membuat kita tidak mau berkorban. Keberanian kita akan menjadi pembeda antara kita dengan mereka; apakah kita sama seperti mereka atau tidak. Tatkala orang lain tidak peduli; apakah kita peduli atau tidak. Memulai tradisi yang baik menjadikan kita gerbong yang diikuti; pahala yang kita terima tidak hanya berhenti disitu tapi terus sampai hari penghisaban. .

Ketika Orang Buta Mengalahkan Orang yang dapat Melihat

Abu As Samra Adh Dharir merupakan seorang ulama besar madzhab Asy Syafi’i yang buta. Meski demikian beliau tetap bermujahadah dalam menghafal, dengan cara ditalqin. Hingga dalam setiap harinya beliau berhasil menghafal lebih dari seratus baris.

Karena kepandaian serta toleransinya, meski bermadzhab Asy Syafi’i, ketika beliau berfatwa, maka fatwa disesuaikan dengan madzhab si penanya. (Ad Durar Al Munadzdzam fi Ziyarah Al Jabal Al Muqaththam, hal. 608)

Sering sekali keterbatasan membuat pemiliknya termotivasi dan bersemangat. Dan sering sekali kelebihan membuat pemiliknya terlena sehingga melupakan dan tidak mensyukurinya.

Untuk Meraih Kesuksesan Butuh Pengorbanan

Manusia memerlukan ketenangan agar ia dapat berpikir jernih. Dan berpikir jernih diperlukan agar ia dapat menjalani hidup ini dengan benar.

Manusia sering mendapati masalah dalam hidupnya. Dan masalah-masalah itu sering membuatnya tidak tenang. Mereka ingin masalah-masalah itu cepat teratasi.

Sebagian manusia berpikir mengatasi masalah itu dengan cara kesenangan. Mereka lantas menghabiskan waktu dengan berbuat maksiat. Mereka meminum-minuman keras, menghisap sabu-sabu, traping di diskotik, berzina dengan wanita, meminum obat-obatan penenang, bermalas-malasan dalam beramal, dan melakukan kemaksiatan lainnya. Betul mereka tenang tapi itu hanya sesaat! Setelah itu mereka kembali tidak tenang, bahkan stres atau depresi mereka bertambah!

Bila lawan dari ketenangan adalah kesenangan, maka ketenangan itu sama dengan pengorbanan. Ketenangan hanya bisa diraih melalui pengorbanan. Buktinya pendahulu kita melawan penjajah, bukannya bersenang-senang dengan penjajah. Meskipun akibatnya nyawa melayang dan harta benda menjadi korban tapi kesudahannya adalah kemerdekaan. Karena tidak mungkin dapat meraih ketenangan selama masih dijajah. Begitupun yang terjadi pada rakyat Palestina. Mereka ingin hidup tenang. Dan satu-satunya cara adalah dengan meraih kemerdekaan. Untuk menebus kemerdekaan itu mereka korbankan jiwa harta dan tenaga.

Seorang miskin ingin hidup tenang maka dia berkorban mengejar impiannya menjadi orang yang sukses dan kaya harta. Dia belajar menjadi orang yang sukses. Dia berusaha terapkan ilmunya dalam kehidupannya sehari-hari. Dia rajin menabung atau berinvestasi. Dia lupakan segala kesenangan untuk meraih kesuksesan. Dia lawan kemalasan dengan ketekunan dan kerja keras.

Seorang pelajar ingin hidup tenang maka dia berkorban dengan cara tekun belajar untuk mendapatkan prestasi dan nilai yang baik.

Itulah sunnatullah. Bila ingin hidup tenang jangan melalui kesenangan tapi raihlah melalui pengorbanan. Korbankanlah diri anda untuk tilawah. Korbankanlah diri anda untuk doa dan dzikrullah. Korbankanlah diri anda untuk shalat. Korbankanlah diri anda untuk kebaikan, menundukkan hawa nafsu anda, dan menjauhi segala maksiat dalam hidup anda.

Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.Sesudah kesulitan akan datang kemudahan.

Sudah Tua Masih Rajin Beribadah

Suwaid bin Ghaflah seorang tabi’in yang memiliki umur panjang dalam ketaatan. Al Walid bin Ali mengisahkan, ”Suwaid bin Ghaflah mengimami kami dalam bulan Ramadhan untuk melakukan qiyam dengan berdiri sedangkan umurnya saat itu telah sampai pada 120 tahun.”

Sedangkan Suwaid bin Ghaflah sendiri menikah pada umur 116 tahun, dan beliau masih mendatangi shalat Jumat dengan berjalan kaki di saat meski umurnya mencapai 127 tahun. Sedangkan murid dari Abu Bakr Ash Shiddiq ini wafat pada usianya yang mencapai 128 tahun. (Sifat Ash Shafwah, 3/22,23)

Subhanallah, semoga keterangan di atas dapat menjadi cambuk bagi kita yang masih muda. Bahwa sesungguhnya bukanlah usia yang menghalangi seseorang untuk beribadah. Tapi yang menghalangi seseorang untuk beribadah adalah karena ketiadaan iman di dalam dada.

Orang yang Hatinya Bersih Sensitif Terhadap Dosa

Bisyr Al Hafi suatu saat ditinggal wafat oleh saudara perempuan beliau Mudghah, yang termasuk juga sebagai kalangan ahli ibadah. Saat itu Bisyr terlihat menangis dan terpukul menghadapi peristiwa itu, hingga ada seorang bertanya kepada beliau,”Kenapa engkau merasa terpukul?”

Bisyr pun menjawab,”Aku telah membaca dalam beberapa kitab, bahwa seorang hamba jika lalai dalam berkhidmat kepada Rabb-nya, maka Ia akan mengambil teman dekatnya. Sedangkan Mudghah merupakan teman dekatku”. (Shifat Ash Shafwah, 2/339)

Begitulah hati yang hidup; hati yang sehat. Hati yang bersih ibarat gelas bersih yang terisi air yang jernih. Sedikit saja kotoran yang masuk ke dalamnya, akan terlihat dengan jelas. Sehingga tampak menjijikkan bila kotoran tersebut tidak segera diangkat.

Dalam jiwa orang-orang saleh, apa yang dia saksikan dan dia dengar, bisa menjadi pelajaran berharga. Seperti kisah Bisyr Al Hafi di atas. Beliau terpukul bukan karena ditinggal saudarinya, tapi khawatir hal itu terjadi karena kelalaiannya dalam beribadah.