Minggu, 30 September 2012

Sudah Mati Hidup Kembali (2)


Abu Sabrah an-Nakha'i mengatakan ada seorang muslim yang melakukan perjalanan dari Yaman dengan seekor keledai. Ketika berada di tengah perjalanan, keledainya mati. Kemudian dia pergi wudhu dan shalat. Setelah itu, dia berdoa kepada Allah, "Ya Allah, aku datang dari Dafinah untuk berjihad di jalan-Mu dalam mencari keridhan-Mu, sedangkan aku bersaksi bahwa Engkau Maha Menghidupkan yang mati serta Maha Membangkitkan orang yang dikubur. Janganlah Engkau jadikan makhluk apa pun yang akan menolongku pada hari ini. Aku mohon kepada-Mu untuk menghidupkan keledaiku." Maka keledai itu pun berdiri sambil menggerakkan telinganya.

Peristiwa ini dikisahkan lagi oleh al-Hafidz Ibnu Abid Dunya dari periwayat yang lain dalam kitabnya: Yang Hidup Sesudah Mati. Dalam buku itu disebutkan bahwa laki-laki tersebut kembali memberi pelana keledainya dan mencambuknya kemudian mengendarainya. Dia pun kembali bertemu dengan para temannya, lalu mereka bertanya, "Bagaimana keadaanmu?" Dia menjawab, "Allah telah menghidupkan kembali keledaiku." Asy-Sya'by berkata, "Aku menyaksikan keledai itu sudah dijual atau sedang dijual di Kufah."

Sahabatku, apa yang sulit bagi Allah untuk mengabulkan doa hamba-Nya, meskipun doa itu terdengar "aneh" atau "sulit" dikabulkan-Nya? Seringkali kita menganggap mustahil bagi Allah seperti anggapan kita tentang kemustahilan makhluk-Nya. Padahal berburuk sangka kepada Allah adalah salah satu penyebab terhalangnya doa dari kita. Sesungguhnya menghidupkan dan mematikan makhluk adalah pekerjaan yang mudah bagi Allah. Tidak masalah berdoa seperti yang dilakukan seorang muslim dalam kisah di atas. Sedangkan masalah pengabulan itu bukan wewenang kita. Jika pengabulan doa itu adalah kebaikan untuk kita, niscaya Allah akan segera mengabulkannya. Jika tidak, Allah mempunyai rencana yang paling baik bagi hamba-Nya yang bersabar dan berserah diri. 

Jangan Khawatir, Allah Maha Melihat


Suatu waktu Hatim al-Asham berkata kepada anak-anaknya, "Saya bermaksud melaksanakan ibadah haji." Anak-anaknya menangis dan berkata, "Siapa yang akan menanggung makan kami?" Saat itu Hatim al-Asham mempunyai seorang anak perempuan. Anak perempuannya berkata, "Biarkanlah bapak pergi. Toh, ia bukan pemberi rezeki!" Maka Hatim berangkat. Sampai larut malam anak-anak Hatim kelaparan. Mereka tidak henti-hentinya mencerca dan menyalahkan anak perempuan tersebut. Si anak perempuan berdoa, "Ya Allah, janganlah engkau menjadikanku cemoohan mereka!"

Dalam saat yang sama seorang gubernur lewat ke rumah mereka. Gubernur berkata kepada sebagian orang yang menemaninya, "Tolong carikan air!" Keluarga Hatim menyuguhkan sebuah kendi baru yang berisi air yang dingin. Sang gubernur meminumnya dan berkata, "Rumah ini milik siapa?" Para pengawalnya berkata, "Ini rumah Hatim al-Asham." Sang gubernur memasukkan seikat emas ke dalam kendi bekas air dan beliau berkata, "Orang yang mencintaiku pasti mengikutiku." Maka pasukan pengawal sang gubernur ikut serta memasukkan beberapa keping uang ke dalam kendi.

Setelah gubernur dan pengawalnya pergi, anak perempuan Hatim menangis. Ibunya berkata, "Kenapa engkau menangis? Bukankah Allah telah memberi rezeki yang banyak kepada kita?" Ia menjawab, "Makhluk saja yang melihat kepada kita memberikan bantuan kecukupan, bagaimana jika Allah melihat kepada kita?"

Benarlah apa yang dikatakan anak perempuan Hatim di atas. Sesungguhnya Allah lebih sayang kepada makhluknya daripada kasih sayang yang ditunjukkan makhluk-Nya kepada makhluk-Nya yang lain. Jika manusia memberikan emas permata, sesungguhnya Allah memberikan kepada kita udara yang dapat membuat kita tetap hidup, akal yang dapat membuat kita berpikir, hati yang dapat membuat kita merasa, seluruh indera yang kita miliki, dan doa-doa yang dikabulkan-Nya, tetapi seringkali kita tidak menyadarinya.

Jika kita mengatakan kepada seseorang, "Tolonglah saya. Saya belum makan. Saya lapar dan kehausan." Lalu orang tersebut menolong kita. Lalu, bagaimana dengan Allah? Bukankah Dia Maha Mengetahui, Maha Melihat, Maha Mendengar, dan Maha Berkehendak atas segala sesuatu?

Jumat, 28 September 2012

Resensi Mufassir: Al-Qur’an, Terjemah, dan Tafsir


Harga: 145.000

Sebuah kenikmatan bagi orang-orang yang beriman untuk terus mengkaji Al-Qur’an. Bukan saja mengambil manfaat dari sisi ilmu ansich tetapi yang terpenting adalah berkobarnya perasaan positif dalam hati. Maka, sebaik-baik mengkaji Al-Qur’an adalah dengan menghujamkan keimanan kita terhadapnya dalam hati kita. Sehingga jasad ini kemudian tergerak untuk mengamalkan pesan-pesan yang ada di dalamnya.

Al-Qur’an Mufassir ini sangat membantu saya untuk merenungkan ayat per ayat secara singkat dan padat berdasarkan karya mufassir yang mutabar. Saya dengan mudah mengambil manfaat darinya untuk kehidupan sehari-hari saya. Saya memiliki beberapa jenis Al-Qur’an mulai dari perkata hingga tafsir. Tapi Al-Qur’an ini memiliki keistimewaan yang tidak ada dalam Al-Qur’an yang sudah ada sebelumnya. Keunikan yang paling istimewa adalah mushaf ini memuat tafsir Al-Qur’an hanya dalam satu jilid saja. Yang saya tahu, ringkasan tafsir Ibnu Katsir saja terdiri dari empat jilid. Cukup berat juga bila dibaca oleh orang yang baru memulai mengenal isi Al-Qur’an atau oleh orang yang disibukkan oleh pekerjaan lain tetapi tetap ingin mengkaji Al-Qur’an.


Contoh isi Mufassir 

Mushaf ini merujuk pada enam kitab tafsir ternama yang menjadi rujukan ulama dan umat sejak dahulu kala. Tafsir pertama diambil dari karya Imam Ath-Thabari. Beliau adalah ahli tafsir, ahli hadits dan sejarawan. Karyanya yang bercorak bil ma’tsur ini kemudian banyak dirujuk oleh ahli-ahli tafsir setelahnya seperti Imam Al-Qurthubi dan Imam Ibnu Katsir. Menurut Imam As-Suyuthi, kitab Tafsir Ath-Thabari adalah tafsir paling besar dan luas. Sementara Imam Nawawi mengatakan, “Umat telah sepakat bahwa belum pernah ada kitab tafsir yang sekaliber karya Ath-Thabari ini.”

Kedua, Imam Al-Qurthubi. Ahli tafsir ini adalah salah satu ulama terbesar yang pernah lahir di tanah Andalusia Spanyol. Selain ahli tafsir, beliau juga dikenal sebagai ahli fikih yang sangat mewarnai corak dari tafsirnya.

Ketiga, Imam Ibnu Katsir. Tafsir beliau memiliki corak yang hampir sama dengan tafsir Ath-Thabari, yaitu bil ma’tsur. Tafsir Ibnu Katsir adalah salah satu tafsir bil ma’tsur yang paling terkenal yang pernah ditulis. Keempat, Imam Jalalain. Tafsir ini merupakan karya dua orang ulama, yaitu Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Tafsir ini banyak dipakai di pesantren-pesantren. Tafsir ini ringkas dan padat karena tidak banyak mengetengahkan riwayat-riwayat. Tapi tampaknya tafsir ini banyak merujuk pada tafsir-tafsir mutabar (terkenal) sehingga sangat layak untuk dijadikan rujukan.

Kelima dan Keenam, Imam Bukhari dan Imam Muslim. Tafsir jenis ini hanya memuat hadits-hadits shahih yang disandarkan pada hadits Bukhari dan Muslim.

Selain merujuk pada enam kitab tafsir itu, juga merujuk pada Asbabun Nuzul karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Karya ini sudah diakui oleh banyak ulama dan merupakan Kitab terbaik yang pernah ditulis tentang sebab-sebab turunnya ayat. Oleh karena itu, kitab ini tampaknya tidak boleh terlewatkan bagi mereka yang ingin mengetahui sebab-turunnya Al-Qur’an.

Al-Qur’an Mufassir sangat membantu saya memahami makna ayat dengan cara mudah dan ringkas dan sangat cocok bagi saya yang awam.

Rabu, 26 September 2012

Meraih Kesuksesan Ala Orang Beriman


“Jika engkau melihat manusia berlomba-lomba dalam masalah dunia, maka saingilah mereka dalam masalah akhirat. Karena sesungguhnya dunia mereka akan hilang sedangkan akhiratmu akan kekal.” (Imam Hasan Al-Bashri)

Bagaimana engkau dapat meraih kemajuan sementara engkau sendiri jauh dari Allah, meninggalkan segala perintahnya dan berbuat maksiat kepada-Nya dan kepada makhluk ciptaan-Nya? Engkau berpikir ala orang sekuler. Mereka maju tanpa shalat, tanpa iman, dan tanpa mengenal hukum-Nya. Akibatnya engkau akan tahu sendiri. Ternyata dugaanmu selama ini salah. Allah telah memperlihatkan kepada kalian sejarah Qarun. Dia dulu orang yang beriman, namun kemudian menyimpang dari kebenaran. Dia tidak sabar dengan kekayaan sehingga akhirnya berbuat curang. Kekayaan duniawi adalah yang paling utama daripada menyembah-Nya.

Jika engkau ingin melihat orang-orang sukses, lihatlah para ulama, para cendikiawan muslim, mereka adalah orang yang sangat cerdas sekaligus sangat dekat dengan agama. Misalnya saja Ibnu Sina dikenal rajin membaca Al-Qur’an dan shalat sunah. Ibnu Rusyd selain dikenal sebagai seorang dokter maupun filosof, beliau juga seorang ahli fikih mazhab Maliki. Selain telah mengarang buku-buku sains, beliau juga menulis buku fikih seperti Bidayah Mujtahid. Orang-orang beriman yang berilmu, tidak berbuat maksiat, maka kecerdasannya lebih hebat daripada orang-orang kafir yang berilmu.

Maka, janganlah engkau sekali-kali berpaling dari orang-orang yang sukses secara duniawi tetapi jauh dari Allah. Karena engkau tidak akan sampai pada cita-cita yang engkau dambakan. Bacalah sejarah Islam karena didalamnya bertabur hikmah yang dapat dipetik dari seorang Rasulullah,para sahabat, para khalifah, orang-orang saleh, para ilmuwan. Mereka mendapatkan dunia dan akhirat, sedangkan orang-orang kafir mendapat dunia tetapi dilupakan di akhirat. 

Rumahku Surgaku


Allah Swt. berfirman, "Dan sesungguhnya Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal." (QS. An-Nahl: 80) Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: "Allah Swt. menyebutkan kesempurnaan nikmat-Nya atas hamba-Nya, dengan apa yang Dia jadikan bagi mereka rumah-rumah yang merupakan tempat tinggal mereka. Mereka kembali kepadanya, berlindung dan memanfaatkannya dengan berbagai macam manfaat."

Keindahan terpancar dari rumah yang didalamnya terdapat akhlakul karimah. Seorang suami yang baik berusaha membantu istrinya meskipun baru saja dia pulang kerja. Dia tidak melihat kelelahan yang ada pada dirinya, tetapi rasa cintanya kepada keluarga membuat semangatnya bangkit kembali. Bagi dirinya, apa yang dilakukannya akan dibalas Allah dengan pahala yang berlipat ganda. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., Duduknya seorang lelaki dengan istrinya kemudian membahagiakannya, pahalanya sama dengan orang yang itikaf di masjidku.”

Subhanallah, ini adalah keutamaan yang besar bagi kaum muslimin. Yang dimaksud masjidku bukan masjid-masjid yang biasa kita shalat di dalamnya, tetapi Masjid Nabawi di Madinah yang diberkahi Allah. Apabila kita shalat di dalamnya maka pahalanya sama dengan 10.000 kali shalat di tempat lain. Tidakkah kita menginginkan keutamaan yang besar ini?

Begitupun yang dilakukan oleh seorang istri salehah. Meskipun rasa lelah menggelayuti dirinya karena dari pagi sampai sore mengurus rumah dan anak-anak, dia masih tersenyum manis ketika bertemu dengan suaminya yang baru saja pulang bekerja. Dan, dengan setia pula dia melayani sang suami. Rasulullah Saw. bersabda, Dunia ini penuh dengan kenikmatan. Dan sebaik-baik kenikmatan dunia adalah istri yang salehah.”

Ketika keduanya telah melakukan kebaikan ini maka terpancarlah keindahan di dalam keluarga itu. Suami akan semakin mencintai istrinya, begitupun istri akan semakin mencintai suaminya. Anak-anak yang melihat akan bahagia, saling mencintai, dan semakin hormat kepada kedua orangtuanya. Rasulullah Saw. bersabda, "Tidak akan pernah memuliakan wanita kecuali lelaki yang mulia dan tidak akan pernah menghinakan wanita kecuali lelaki yang hina." 

Rasulullah Saw. adalah sosok teladan terbaik yang berhasil membina rumahtangga. Fokus beliau bukan pada harta yang dengan cepat hilang apabila dimakan dan lenyap dimakan usia, tetapi pada nilai-nilai kebaikan yang beliau tanamkan dalam diri beliau dan keluarga beliau. Dr Aisyah Abdurrahman bercerita tentang kehidupan keluarga Rasulullah Saw: "Rumah beliau indah, meski sangat sederhana. Beliau lebih mengutamakan hidup dalam rumahnya sebagai orang zuhud. Beliau tidak pernah memaksakan sesuatu apapun terhadap istri-istrinya. Ia selalu isi kehidupan rumah tangganya dengan kehangatan dan kebersamaan yang menyenangkan."

Dalam bahasa lain, Abbas Mahmud Al-Aqqad menggambarkan bahwa Rasulullah Saw. tidak menjadikan wibawa kenabian sebagai penghalang antara beliau dan para istrinya. Malah, kadang-kadang beliau terlalu bersikap lunak terhadap para istrinya, tegur sapanya manis, dan selalu mengalah.

Gambaran-gambaran tentang rumah tangga Rasulullah Saw tersebut menjelaskan bahwa keluarga beliau tidak pernah mencari kebahagiaan melalui pintu-pintu duniawi. Mereka mencari kebahagiaan dari pintu-pintu akhlak mulia. 

Artinya, baik Rasulullah Saw maupun istri-istrinya menempatkan akhlak sebagai jalan utama tercapainya kebahagiaan mereka. Tak heran jika kemudian Rasulullah Saw bersabda: Baiti Jannati (Rumahku Surgaku).

Selasa, 25 September 2012

Suami yang Mendapat Pertolongan Allah

Pernikahan itu telah berjalan empat (4) tahun, namun pasangan suami istri itu belum dikaruniai seorang anak. Dan mulailah kanan kiri berbisik-bisik: “kok belum punya anak juga ya, masalahnya di siapa ya? Suaminya atau istrinya ya?”. Dari berbisik-bisik, akhirnya menjadi berisik.

Tanpa sepengetahuan siapa pun, suami istri itu pergi ke salah seorang dokter untuk konsultasi, dan melakukan pemeriksaaan. Hasil lab mengatakan bahwa sang istri adalah seorang wanita yang mandul, sementara sang suami tidak ada masalah apa pun dan tidak ada harapan bagi sang istri untuk sembuh dalam arti tidak peluang baginya untuk hamil dan mempunyai anak.

Melihat hasil seperti itu, sang suami mengucapkan: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, lalu menyambungnya dengan ucapan: Alhamdulillah.

Sang suami seorang diri memasuki ruang dokter dengan membawa hasil lab dan sama sekali tidak memberitahu istrinya dan membiarkan sang istri menunggu di ruang tunggu perempuan yang terpisah dari kaum laki-laki.

Sang suami berkata kepada sang dokter: “Saya akan panggil istri saya untuk masuk ruangan, akan tetapi, tolong, nanti anda jelaskan kepada istri saya bahwa masalahnya ada di saya, sementara dia tidak ada masalah apa-apa.

Kontan saja sang dokter menolak dan terheran-heran. Akan tetapi sang suami terus memaksa sang dokter, akhirnya sang dokter setuju untuk mengatakan kepada sang istri bahwa masalah tidak datangnya keturunan ada pada sang suami dan bukan ada pada sang istri.

Sang suami memanggil sang istri yang telah lama menunggunya, dan tampak pada wajahnya kesedihan dan kemuraman. Lalu bersama sang istri ia memasuki ruang dokter. Maka sang dokter membuka amplop hasil lab, lalu membaca dan mentelaahnya, dan kemudian ia berkata: “… Oooh, kamu –wahai fulan- yang mandul, sementara istrimu tidak ada masalah, dan tidak ada harapan bagimu untuk sembuh.

Mendengar pengumuman sang dokter, sang suami berkata: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, dan terlihat pada raut wajahnya wajah seseorang yang menyerah kepada qadha dan qadar Allah SWT.

Lalu pasangan suami istri itu pulang ke rumahnya, dan secara perlahan namun pasti, tersebarlah berita tentang rahasia tersebut ke para tetangga, kerabat dan sanak saudara.

Lima (5) tahun berlalu dari peristiwa tersebut dan sepasang suami istri bersabar, sampai akhirnya datanglah detik-detik yang sangat menegangkan, di mana sang istri berkata kepada suaminya: “Wahai fulan, saya telah bersabar selama Sembilan (9) tahun, saya tahan-tahan untuk bersabar dan tidak meminta cerai darimu, dan selama ini semua orang berkata:” betapa baik dan shalihah-nya sang istri itu yang terus setia mendampingi suaminya selama Sembilan tahun, padahal dia tahu kalau dari suaminya, ia tidak akan memperoleh keturunan”. Namun, sekarang rasanya saya sudah tidak bisa bersabar lagi, saya ingin agar engkau segera menceraikan saya, agar saya bisa menikah dengan lelaki lain dan mempunyai keturunan darinya, sehingga saya bisa melihat anak-anakku, menimangnya dan mengasuhnya.

Mendengar emosi sang istri yang memuncak, sang suami berkata: “istriku, ini cobaan dari Allah SWT, kita mesti bersabar, kita mesti …, mesti … dan mesti …”. Singkatnya, bagi sang istri, suaminya malah berceramah di hadapannya.

Akhirnya sang istri berkata: “OK, saya akan tahan kesabaranku satu tahun lagi, ingat, hanya satu tahun, tidak lebih”.

Sang suami setuju, dan dalam dirinya, dipenuhi harapan besar, semoga Allah SWT memberi jalan keluar yang terbaik bagi keduanya.

Beberapa hari kemudian, tiba-tiba sang istri jatuh sakit, dan hasil lab mengatakan bahwa sang istri mengalami gagal ginjal.

Mendengar keterangan tersebut, jatuhnya psikologis sang istri, dan mulailah memuncak emosinya. Ia berkata kepada suaminya: “Semua ini gara-gara kamu, selama ini aku menahan kesabaranku, dan jadilah sekarang aku seperti ini, kenapa selama ini kamu tidak segera menceraikan saya, saya kan ingin punya anak, saya ingin memomong dan menimang bayi, saya kan … saya kan …”.

Sang istri pun bad rest di rumah sakit.

Di saat yang genting itu, tiba-tiba suaminya berkata: “Maaf, saya ada tugas keluar negeri, dan saya berharap semoga engkau baik-baik saja”.

“Haah, pergi?”. Kata sang istri.

“Ya, saya akan pergi karena tugas dan sekalian mencari donatur ginjal, semoga dapat”. Kata sang suami.

Sehari sebelum operasi, datanglah sang donatur ke tempat pembaringan sang istri. Maka disepakatilah bahwa besok akan dilakukan operasi pemasangan ginjal dari sang donatur.

Saat itu sang istri teringat suaminya yang pergi, ia berkata dalam dirinya: “Suami apa an dia itu, istrinya operasi, eh dia malah pergi meninggalkan diriku terkapar dalam ruang bedah operasi”.

Operasi berhasil dengan sangat baik. Setelah satu pekan, suaminya datang, dan tampaklah pada wajahnya tanda-tanda orang yang kelelahan.

Ketahuilah bahwa sang donatur itu tidak ada lain orang melainkan sang suami itu sendiri. Ya, suaminya telah menghibahkan satu ginjalnya untuk istrinya, tanpa sepengetahuan sang istri, tetangga dan siapa pun selain dokter yang dipesannya agar menutup rapat rahasia tersebut.

Dan subhanallah …

Setelah Sembilan (9) bulan dari operasi itu, sang istri melahirkan anak. Maka bergembiralah suami istri tersebut, keluarga besar dan para tetangga.

Suasana rumah tangga kembali normal, dan sang suami telah menyelesaikan studi S2 dan S3-nya di sebuah fakultas syari’ah dan telah bekerja sebagai seorang panitera di sebuah pengadilan di Jeddah. Ia pun telah menyelesaikan hafalan Al-Qur’an dan mendapatkan sanad dengan riwayat Hafs, dari ‘Ashim.

Pada suatu hari, sang suami ada tugas dinas jauh, dan ia lupa menyimpan buku hariannya dari atas meja, buku harian yang selama ini ia sembunyikan. Dan tanpa sengaja, sang istri mendapatkan buku harian tersebut, membuka-bukanya dan membacanya.

Hampir saja ia terjatuh pingsan saat menemukan rahasia tentang diri dan rumah tangganya. Ia menangis meraung-raung. Setelah agak reda, ia menelpon suaminya, dan menangis sejadi-jadinya, ia berkali-kali mengulang permohonan maaf dari suaminya. Sang suami hanya dapat membalas suara telpon istrinya dengan menangis pula.

Dan setelah peristiwa tersebut, selama tiga bulanan, sang istri tidak berani menatap wajah suaminya. Jika ada keperluan, ia berbicara dengan menundukkan mukanya, tidak ada kekuatan untuk memandangnya sama sekali.

Saya sangat terkesan dengan kisah ini. Sehingga saya merasa perlu untuk sering mengingatnya agar saya mendapatkan semangat baru dalam hidup saya. Setidaknya ada tiga pelajaran berharga yang telah saya peroleh dari kisah ini:

Pertama, kesabaran. Kisah ini banyak berbicara tentang kesabaran seorang suami. Kesabaran atas musibah yang terjadi pada sisi orang yang dicintai da disayanginya, kesabaran atas sikap istrinya kepadanya, dan kesabaran akan datangnya pertolongan Allah.

Kedua, kesetiaan. Kisah ini secara tersirat menggambarkan kesetiaan seorang suami terhadap istrinya yang mandul. Bisa saja suami tersebut berbuat serong atau melakukan pernikahan sirri atau menikah tanpa sepengetahuan istrinya. Tapi hal itu tidak terjadi pada diri suami dalam kisah ini. Dia lebih memilih sabar dan setia sebagai ganti dari apa yang terjadi pada istrinya.

Ketiga, keyakinan. Kesabaran dan keyakinan adalah kunci keberhasilan setiap muslim. Tidak mungkin seorang muslim memiliki semangat untuk beribadah jika tidak meyakini keberadaan Allah, negeri akhirat, dan kebenaran risalah Rasulullah Saw. Suami tersebut yakin dengan pertolongan Allah, maka dia rela bersabar hingga datangnya pertolongan itu. Sebaliknya yang terjadi bagi orang-orang yang tidak yakin akhirnya terjungkal kalah, padahal pertolongan itu datang di saat mereka mulai dalam posisi ketidaksabaran.

Keempat, syukur. Saya bersyukur kepada Allah diberikan seorang istri yang subur. Sehingga tidak beberapa lama kami menikah, Allah menganugerahi janin dalam rahimnya.

Dari kisah ini saya memperoleh semangat baru bahwa janji Allah itu pasti, bahwa Allah sangat dekat dengan orang-orang yang sabar, orang-orang yang berbuat baik, dan orang-orang yang bertakwa.


Senin, 24 September 2012

Mengejar Ketertinggalan

Saya sangat terkesan dengan sebuah status seorang teman di Facebook. Dia mengatakan, untuk menjadi seorang yang sukses, maka kita harus mengerjakan pekerjaan di atas rata-rata. 

Yang saya tangkap dari ungkapan itu, saya contohkan, bila kebanyakan manusia membaca buku satu halaman setiap hari, maka untuk menjadi orang yang sukses, kita harus membaca minimal dua halaman setiap hari. Contoh yang lain, bila kebanyakan manusia hanya mengerjakan shalat fardhu, maka kita menambahnya dengan shalat-shalat sunah, minimal dua rakaat. Dan seterusnya.

Maka, tiada lain bagi kita untuk terus berjuang, mengisi waktu-waktu kita dengan amal kebaikan hingga maut menjemput kita. Seluruh umat manusia diberi waktu 24 jam dalam sehari, tetapi mengapa ada yang mampu menghasilkan karya hebat dan ada yang tidak, ada yang mampu mengurus sebuah perusahaan besar atau sebuah jamaah besar, di sisi lain ada yang hanya mampu mengurus dirinya sendiri.

Bagaimana bisa menjadi seorang yang sukses jika aktivitas kita sehari-hari lebih banyak tidur dan bermalas-malasan! Bagaimana bisa kita mengejar ketertinggalan dari orang lain yang lebih aktif ketimbang kita, sementara kita bekerja sama seperti mereka! Tidak! Tidak mungkin kita dapat mengejar ketertinggalan ini selagi kita sama seperti mereka. Kita harus lebih dari mereka! Bersungguh-sungguhlah, niscaya Allah akan memberikan hadiah dari kesungguhan itu. 

Tidak ada kata terlambat bagi kita sebelum maut menjemput kita.Banyak karya ditorehkan setelah kita menyadari kesalahan kita di masa lalu. Ahli matematika penemu Aljabar, Al-Khawarizmi, nyatanya baru mulai belajar matematika dan ilmu eksak lainnya ketika berusia 24 tahun.

Ketika waktu kita diisi dengan kebaikan, maka yang akan kita pikirkan selanjutnya adalah skala prioritas. Bila diam lebih baik daripada berbicara; bila ilmu lebih baik daripada shalat sunah; shalat berjamaah lebih baik daripada shalat sendirian. Maka kita akan melakukan amalan yang lebih baik itu. Dalam sejarah diceritakan, pada suatu hari Imam Syafi'i menginap dirumah Imam Ahmad bin Hanbal. Di malam hari, kedua ulama besar ini melakukan dua aktivitas yang berbeda; Imam Syafi'i memprioritaskan diri dengan ilmu, sedangkan Imam Ahmad memprioritaskan diri dengan shalat sunah qiyamul lail. Bila kita sudah sampai pada tahapan skala prioritas, berarti kita sudah memasuki gerbang kebangkitan, kemajuan, dan kejayaan.

Sudah bukan waktunya bagi kita untuk berdiam diri sementara orang diluar sana sudah mampu pergi ke luar angkasa. Sudah bukan waktunya bermalas-malasan sementara saudara-saudara kita sudah banyak yang hafidz quran, meraih gelar sarjana S1 hingga S3 diusia sama seperti kita. Sudah saatnya bagi kita untuk mengejar ketertinggalan ini. 

Ketika Syiah Mengkambinghitamkan Ahlus Sunnah


Berdiskusi atau berdebat dengan orang-orang syiah tampaknya menjadi sesuatu yang membosankan. Karena bila sudah terdesak, ujung-ujungnya mereka mulai mengkambing hitamkan lawan diskusinya.

Kambing hitam menurut kamus bahasa, orang yang dalam suatu peristiwa sebenarnya tidak bersalah, tetapi dipersalahkan atau dijadikan tumpuan kesalahan;  me·ngam·bing·hi·tam·kan v menjadikan kambing hitam; mempersalahkan; menuduh bersalah: sikapnya selalu ~ orang lain, sedangkan sebenarnya dia sendiri yg berbuat. Pengambinghitaman adalah tindakan yang menyatakan seseorang, sekelompok orang, atau sesuatu itulah yang bertanggung jawab atas sejumlah besar masalah.

Jurus mengkambinghitamkan ini adalah jurus orang-orang yang dangkal pemikirannya dan terjerumus pada taklid buta. Orang yang talid buta (munqalid) menurut Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi, seperti kerbau yang dicucuk hidungnya oleh sang majikan. Kerbau itu akan pergi kemanapun majikannya pergi meskipun terperosok dalam lubang yang dalam.

Dari beberapa kali saya berdiskusi dengan orang-orang syiah, setidaknya ada tiga kambing hitam yang disematkan syiah kepada kaum muslimin:

Pertama, Wahabi. Jika kita mendengar kata “Wahabi” dari mulut orang-orang syiah sebagai tuduhan kepada kita, maka itu adalah ciri khas perkataan mereka. Jadi, kita harus bersabar karena sampai disitulah kualitas pemikiran mereka. Padahal tidak semua ahlussunnah itu Wahabi. Tapi sudah pasti, seluruh ahlussunnah menolak syiah, entah dia berasal dari wahabi, NU, Muhammadiyah, Persis, Ikhwanul Muslimin, Jamaah Tabligh, Hizbut Tahrir, dan sebagainya.

Mereka menuduh seperti itu karena ingin memecah belah barisan kaum muslimin. Yang sebagian dari kaum muslimin seperti NU tidak terlalu suka dengan Wahabi. Maka, orang-orang syiah mulai mencap orang-orang yang anti syiah sebagai wahabi dengan harapan orang-orang NU membela mereka. Padahal kenyataannya secara prinsip NU lebih dekat kepada Wahabi ketimbang dengan Syiah.

Sejak kapan ahlussunnah dituduh sebagai Wahabi? Wahai orang-orang Syiah, keberadaan kalian lebih dahulu ada dibanding Wahabi. Kalian sudah dijuluki sebagai musuh agama ini sejak zamannya Tabi’in, Tabiut Tabi’in, sejak zamannya Imam Mazhab yang empat masih hidup.    

Kedua, antek-antek zionis. Mereka menganggap diri mereka paling benar, paling garang permusuhannya terhadap zionis, paling kuat perlawanannya terhadap zionis. Tuduhan ini sepertinya banyak ditujukan kepada orang-orang Wahabi yang mereka anggap sebagai kepanjangan tangan Pemerintah Arab Saudi atau pemerintah Arab lainnya yang mereka anggap sebagai antek-antek zionis dan negara boneka USA. Menurut saya, anggapan mereka ada benarnya, tapi ada juga salahnya. Realitanya, tak sekalipun Iran berperang melawan Zionis, sedangkan negara-negara Arab pernah berperang melawan Zionis sekalipun hanya enam hari! Bahkan Raja Faishal telah berjihad dengan apa yang dimilikinya dan akhirnya beliau terbunuh karena aksi heroiknya tersebut!

Menyamakan ahlussunnah dengan antek-antek zionis sangatlah naif, sombong, dan bohong besar. Tidak perlu menggeneralisir semuanya, karena seringkali rakyat dan pemerintahannya tidak klop. Jika rakyat menolak syiah, apakah itu berarti rakyat itu juga antek-antek zionis? Itu sama saja tuduhan keji dan fitnah. Sedangkan fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Dan, orang yang melontarkannya tidak berakhlak. 

Ketiga, musuh ahlul bait.
Mereka menggunakan nama “Ahlul Bait” padahal hakikatnya adalah syiah. Ketika ada orang yang melawan mereka, maka dengan ringan mereka mengatakan, “Kalian musuh ahlul bait.” Ahlul Bait yang mana wahai orang-orang syiah? Apakah kalian juga menganggap Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah, Asma, dan Hafshah sebagai ahlul bait? Jika tidak (dan jawabannya pasti tidak) atau bahkan kalian melaknat orang-orang seperti mereka, maka sesungguhnya kalianlah musuh Ahlul Bait itu! Sementara kami mencintai Ali, Fatimah, Hasan, Husein, Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Zaid, Ja’far Ash-Shadiq dan keturunan Ali yang istiqomah lainnya. Mereka adalah orang-orang yang bertakwah dan menolak taqiyah. 

Lihatlah Husein rela dipenggal lehernya karena mengatakan yang haq! Lihat juga Imam Zaid yang wafat terbunuh juga karena mengatakan yang haq! Mereka katakan apa yang seharusnya mereka katakan walaupun nyawa taruhannya. Sesungguhnya mereka yang berkata jujur adalah pendukung ahlul bait sejati. Sedangkan yang berdusta atas nama ahlul bait, mereka adalah penipu besar!

Jika kita mendengar tuduhan-tuduhan di atas, maka harap maklum. Karena sampai disanalah batas kemampuan mereka dalam berpikir.    

Selasa, 18 September 2012

Menghilangkan Kekecewaan yang Mendekam dalam Hati


Seseorang yang baru lulus SMA mengirimkan sebuah email kepada kami. Dia menceritakan isi hatinya. Dia gagal masuk perguruan tinggi negeri untuk ketiga kalinya.  Ada perasaan kecewa yang mendekam dalam hatinya. Apalagi sahabat-sahabatnya sering bertanya kepadanya, “Kuliah dimana?” Mendengar pertanyaan itu, dia selalu menangis, seolah dirinya belum ikhlas menerima semua kenyataan yang telah terjadi.

Saudaraku, memang bukanlah perkara mudah untuk ikhlas. Namun perlu kita sadari, keikhlasan adalah amal ibadah yang membuat ibadah-ibadah kita yang lainnya diterima Allah. Oleh karena itu, balasan keikhlasan berbanding lurus dengan perjuangan kita untuk dapat ikhlas, bahkan ganjarannya bisa lebih besar lagi. Untuk memahami keikhlasan, yang harus kita sadari adalah, kita jangan hanya diam tanpa mau memperbaiki. Kita juga harus mengiringinya dengan amal perbuatan. Misalkan dengan memperbanyak ibadah. Berusahalah untuk tersenyum dihadapan musibah. Namun menangislah dalam sujud-sujudmu di dalam shalat, di dalam munajatmu di sepertiga malam. Menangislah dihadapan-Nya, sampaikan keluh kesahmu, buat dadamu lapang dengannya.

Orang-orang saleh sejak zaman dahulu apabila menghadapi musibah, bukannya menjauh dari Allah, justru mereka semakin mendekat kepada Allah. Ketika mendapat musibah, Rasulullah SAW memperbanyak shalat dan istighfar. Imam Ibnu Taimiyah membaca 1000 kali istighfar ketika menghadapi masalah yang pelik. Ahli kedokteran muslim ternama, Ibnu Sina, memperbanyak mengerjakan shalat sunah ketika mengalami kesulitan dalam memahami sebuah ilmu. Mereka bukannya menjauh, justru semakin mendekat kepada Allah. Karena mereka menyadari bahwa Allah adalah Yang Maha Pencipta. Allah-lah kunci gembok dari semua kesulitan yang kita hadapi. Dia akan memberikan kemudahan kepada siapa yang dikehendaki.

Ketika engkau tersenyum dihadapan musibah, maka senyuman itu akan menjadi penawar bagimu. Senyuman itu akan mewarnai hidupmu, meskipun itu senyuman yang tipis dibibirmu dan hatimu sedang berguncang karena musibah itu. Mudah-mudahan keceriaan diwajahmu merasuk ke dalam hatimu. Dan akhirnya, engkau dapat keluar dari masalah yang membelitmu.

Di waktu sedang bermunajat kepada Allah, menangislah. Sampaikan kepada-Nya segala isi hatimu. Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Hanya kepada-Nyalah kamu kembali. Allah menguatkan yang lemah dan memuliakan yang hina. Dia Maha Gagah, Maha Bijaksana, dan Maha Pemurah. Seseorang bertanya kepada Imam Hasan Al-Bashri, mengapa orang yang senang shalat tahajud wajahnya ‘bercahaya’? Lalu, Imam Hasan Al-Bashri berkata, karena dia senang berdua-duaan dengan Allah sehingga Allah menganugerahi sebagian cahaya-Nya untuk dirinya. Tidakkah engkau menginginkan cahaya itu, di mana dengan cahaya itu, engkau akan dapat melihat jalan keluar.

Pada suatu ketika, Rasulullah SAW berjumpa dengan seorang wanita yang sedang mengalami musibah ditinggal orang yang dikasihinya. Wanita itu menangis dengan keras seolah tidak menerima takdir tersebut. Lantas Rasulullah SAW bersabda, “Bersabarlah.” Namun, wanita itu tidak menggubris nasehat itu. Dia tidak menyadari bahwa yang memberikan nasehat itu adalah Rasulullah SAW, manusia yang paling baik dimuka bumi ini. Saat dia menyadari yang memberi nasehat itu adalah Rasulullah SAW lantas kemudian dia meminta maaf. Rasulullah SAW lantas bersabda, “Sabar itu ada dalam guncangan pertama.” Maksudnya, kesabaran seseorang terlihat ketika musibah yang menimpanya tidak menggoyahkannya dari posisi sebelumnya.

Saudaraku, langkah selanjutnya adalah engkau harus menyadari bahwa selalu ada hikmah dibalik kegagalan. Namun kadang, hikmah itu luput dari kita karena dorongan nafsu kita. Namun, pada suatu saat nanti, di saat yang tepat, hikmah itu akan kita dapatkan, lantas kita berkata, “Maha Suci Allah dari berbuat zalim kepada hamba-hamba-Nya. Dia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Curahan rahmat-Nya lebih besar daripada kemurkaan-Nya.”

Dengan sering introspeksi diri, engkau akan melihat letak kekurangan dan kelebihanmu. Kelebihanmu menjadi bekal bagimu, sedangkan kekurangan yang ada pada dirimu dapat engkau perbaiki untuk membuatmu lebih maju lagi. Banyak ahli mengatakan, kegagalan adalah jalan menuju kesuksesan. Orang sukses pasti pernah gagal. Karena orang sukses bisa sukses karena dia belajar dari kegagalan yang menimpanya atau menimba pelajaran dari kegagalan orang lain. 

Minggu, 16 September 2012

Jangan Mudah Percaya pada Orang Syiah


Taqiyah adalah salah satu ajaran sentral dalam agama Syiah. Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi berkata, “Di antara ajaran Syi’ah yang menyangkut akhlaq adalah menjadikan Taqiyyah sebagai dasar dan pokok ajaran di dalam berinteraksi dengan orang lain. Mereka selalu melakukan Taqiyyah, yaitu menampakkan sesuatu yang berbeda dengan yang ada di dalam hati. Mereka itu mempunyai dua wajah. Wajah yang pertama dihadapkan ke sekelompok orang dan wajah yang lainnya dihadapkan ke kelompok yang satunya lagi. Mereka juga mempunyai dua lidah.

Ja’far Ash-Shadiq berkata, “Taqiyyah adalah agamaku dan agama leluhurku.” Ibnu Taimiyyah berkata mengomentari ucapan ini, “Allah SWT. telah menyucikan Ahlul Bait dari hal ini dan mereka tidak memerlukan Taqiyyah. Karena mereka adalah orang-orang yang paling jujur dan paling beriman. Oleh karena itu, agama mereka adalah Taqwa dan bukan Taqiyyah.”

Ja’far Ash-Shadiq juga berkata, “Jika kamu katakan bahwa orang yang meninggalkan taqiyah sama dengan orang yang meninggalkan shalat maka kamu telah berkata benar.

Bisa dilihat di kitab Biharul Anwar jilid 50 hal 181, jilid 75 hal 414, hal 421, As Sarair hal 476 Kasyful Ghummah jilid 3 hal 252, Man Laa Yahdhuruhul Faqih jilid 2 hal 127 dan beberapa sumber lain.

Juga terdapat riwayat yang mengatakan: “Orang yang meninggalkan taqiyah adalah kafir.” Bisa dilihat  di kitab Biharul Anwar 87 347 Fiqhur Ridha 338.

Mari kita simak ucapan Al Bahrani dalam kitab Al Hadaiq An Nadhirah jilid 1 hal 89: “Banyak riwayat-riwayat syiah yang diucapkan ketika sedang bertaqiyah yang tidak sesuai dengan hukum sebenarnya.” (http://hakekat.com/content/view/1/1/)

Oleh karenanya orang syiah tidak mungkin lepas dari ajaran ini. bila mereka melepas ajaran ini, berarti mereka bukan lagi orang syiah (sejati).

Bukti mengenai kedustaan mereka sangat banyak. di depan kaum muslimin mereka berkata A, namun bila mereka berkumpul bersama kelompok mereka sendiri, mereka mengatakan B. Di depan kaum muslimin mereka berkata tidak pernah melaknat sahabat Nabi, tetapi di belakang mereka melaknat para sahabat. bahkan Imam mereka, yakni Ali Khomaini mengatakan Aisyah, Thalhah, dan Muawiyah Radhiyallahu Anhuma, lebih najis daripada anjing dan babi. Begitupun yang dilakukan oleh pentolan-pentolan Syiah seperti Jalaluddin Rahmat dari IJABI.

Pernyataan Ali Khomaini yang menyebutkan Aisyah, Thalhah, dan Muawiyah lebih najis daripada anjing dan babi.

Tajul Muluk, tokoh Ikatan Jamaah Ahlul Bait (IJABI) Sampang, mengatakan bahwa Al Qur’an yang kita (Umat Islam) yakini sekarang sudah tidak orisinal. Namun kemudian tokoh-tokoh Syiah mengatakan bahwa Al-Qur’an mereka sama dengan Al-Qur’an yang dibaca oleh kaum muslimin. Sehingga selamatlah mereka dari kehancuran dengan memberikan kehancuran itu kepada Tajul Muluk.

Oleh karena itu, berhati-hatilah dengan perkataan mereka.periksa dulu apakah yang mereka katakan sesuai dengan apa yang mereka perbuat. Yaitu dengan cara membaca tulisan-tulisan yang mereka tulis, khususnya untuk kalangan mereka sendiri. Peribahasa mengatakan, jangan membeli kucing di dalam karung. 

Rabu, 05 September 2012

Syiah Menuduh Anti Syiah sebagai Wahabi

Saya heran dengan orang-orang Syiah, orang-orang yang anti syiah dianggap sebagai wahabi. Saya menolak syiah dan saya bukan wahabi. Yang dimaksud "wahabi" saja saya belum begitu paham. Dan terus terang saya sendiri belum pernah baca buku Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Saya lebih banyak membaca buku Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi, Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Syaikh Mustafa As-Siba'i, Syaikh Said Hawwa, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, dan lain-lain yang kebanyakan dari Ikhwanul Muslimin. Di antara mereka ada yang fukaha, ahli hadits, sastrawan, sufi, dan pemikir. 

Lihat juga berita-berita tentang penolakan Al-Azhar Mesir terhadap Syiah. Lantas apakah mereka juga berpikir kalau Al-Azhar itu Wahabi? Apakah Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, pendiri NU, yang juga menolak Syiah dianggap sebagai Wahabi? Syiah ada sebelum Wahabi ada. Para ulama ahlus sunnah dari zaman tabi'in telah sepakat Syiah Rafidhah itu sesat menyesatkan. Berikut ini pernyataan beberapa ulama tersohor:


(1) Fatwa Imam Malik (93-179 H) guru Imam Syafi’i, Imam Darul-Hijrah, 1 dari 4 Imam Utama Ahlus-Sunnah:
Imam al-Khalal (w.311 H) meriwayatkan dari Imam Abu Bakar al-Marwadzi, ia berkata: aku pernah mendengardari Imam Malik rahimahullah:
 روى الخلال عن ابى بكر المروزى قال : سمعت أبا عبد الله يقول : قال مالك : الذى يشتم اصحاب النبى صلى الله عليه وسلم ليس لهم اسم او قال نصيب فى الاسلام.( الخلال / السنة: ۲،٥٥٧ )
 “Siapa saja yang kalian saksikan mencaci maki sahabat Nabi yang mulia, maka saksikanlah bahwa mereka itu tidak termasuk golongan Islam.” (Kitabus Sunnah Imam Al-Khalal, Juz 2:557)
(2) Fatwa Imam as-Syafi’i Rahimahullah (150-204 H)
 عن يونس بن عبد الأعلى يقول: سمعتُ الشافعي إذا ذُكر الرّافضةُ عَابَهُمْ أَشَدَّ الْعَيْبِ فَيَقُوْل شَرَّ عِصَابَةِ
 Dari Yunus bin Abdil A’la, beliau berkata: “Saya telah mendengar Imam Syafi’i, apabila disebut nama Syi’ah Rafidhah, maka ia mencelanya dengan sangat keras, dan berkata: “Syiah itu Kelompok terjelek.” Manaqib Imam as-Syafii oleh Imam Baihaqi, Juz 2:486
 لمَ ْأَرَ أَحَدًا أَشْهَدُ بِالزُّوْرِ مِنَ الرَّافِضَةِ
“Saya belum melihat seorang pun yang paling banyak bersaksi palsu dari Syi’ah Rafidhah”. (Adâbus Syâfi’i, hlm. 187, al Manaqib as Syafi’i oleh Imam Baihaqi, Juz 1: 468, Sunan al Kubrâ, Juz 10:208
قاَلَ الشَّافِعِيُّ فِى الرَّافضَةِ يَحْضُرُ اْلوَقِعَةِ: لاَيُعْطَى مِنَ اْلفَيْئِ شَيْئًا ِلأَنَّ اللهَ تَعَالَى ذَكَرَ أَيَة اْلفَيْئِ ثُمَّ قَالَ: وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإِيمَانِ ﴿الحشر:10﴾ فَمَنْ لَمْ يَقُلْ بِهَا لَمْ يَسْتَحِقَّ
 Imam as-Syafi’i berkata tentang seorang Syiah Rafidhah yang ikut berperang:
“Tidak diberi sedikit pun dari harta rampasan perang, karena Allâh Ta’ala menyampaikan ayat fa’i (harta rampasan perang), kemudian menyatakan: “Danorang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, …”. (Qs. al-Hasyr/59 : 10) maka barang siapa yang tidak menyatakan demikian, tentunya tidak berhak (mendapatkan bagian fa’i).” at Thabaqât, Juz 2:117
(3) Fatwa Imam Ahmad (164-241 H), murid Imam as-Syafi’i, tokoh utama Imam 4 dalam bidang hadits.
“Mereka itu adalah golongan yang menjauhkan diri dari sahabat Nabi Muhammad s.a.w dan mencelanya, menghinanya serta mengkafirkannya, kecuali hanya empat orang saja yang tidak mereka kafirkan, yaitu Ali, Ammar, Migdad dan Salman. Golongan Rofidhoh (Syiah) ini sama sekali bukan Islam.” (Kitabus-Sunnah Imam Ahmad, hal.82)
Imam Ahmad dalam Musnadnya, Juz 4: 148 no. hadits: 1265 menurunkan riwayat:
حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ حَدَّثَنِي عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا شَرِيكٌ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ ضَمْرَةَ قَالَ: قُلْتُ لِلْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ إِنَّ الشِّيعَةَ يَزْعُمُونَ أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَرْجِعُ قَالَ كَذَبَ أُولَئِكَ الْكَذَّابُونَ لَوْ عَلِمْنَا ذَاكَ مَا تَزَوَّجَ نِسَاؤُهُ وَلَا قَسَمْنَا مِيرَاثَهُ
Telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepadaku ‘Utsman bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Syarik dari Abu Ishaq dari ‘Ashim bin Dhamrah berkata; aku berkata kepada Hasan bin Ali; “Sesungguhnya orang-orang Syi’ah menyangka bahwa Ali Radhiallah ‘anhu hidup kembali.” Hasan menjawab; “orang-orang pendusta itu telah berdusta. Seandainya kami tahu hal itu (sebelumnya) niscaya kami tidak akan menikahi wanita-wanita mereka dan tidak akan kami bagi harta waris mereka.” (Musnad Ahmad no.:1265 berkata Syeikh Syuaib Ornouth, riwayat ini hasan)
Imam al-Khalal meriwayatkan dari Abu Bakar Al Marwazi, ia berkata : “Saya bertanya kepada Abu Abdullah(Imam Ahmad) tentang orang yang mencela Abu Bakar, Umar dan Aisyah? Jawabnya, saya berpendapat bahwa dia bukan orang Islam”. (Kitabus-Sunnah Imam al-Khalal, Juz 2:557)
Imam al-Khalal berkata: Imam Abdul Malik bin Abdul Hamid menceritakan kepadaku, “Saya mendengar Abu Abdullah berkata : “Barangsiapa mencela sahabat Nabi, maka kami khawatir dia keluar dari Islam, tanpa disadari.” (Kitabus-Sunnah Imam al-Khalal, Juz 2:558)
Imam al-Khalal mengatakan: “Abdullah bin Ahmad bin Hambal (anaknya Imam Ahmad) bercerita pada kami, katanya: “Saya bertanya kepada ayahku (Imam Ahmad) perihal seorang yang mencela salah seorang dari sahabat Nabi s.a.w. Maka beliau menjawab : “Saya berpendapat ia bukan orang Islam.” (Kitabus-Sunnah Imam al-Khalal, Juz 2:558)
(4) Fatwa Imam Bukhari rahimahullah (194-256 H), Pemilik Kitab Hadits al-Jami’us-Shahih
الامام البخارى رحمه الله قال: ماأبالى صليت خلف الجهمى والرافضى أم صليت خلف اليهود والنصارى ولا يسلم عليه ولا يعادون ولا يناكحون ولا يشهدون ولا تؤكل ذبائحهم (خلق أفعال العباد :١٢٥)
Imam Bukhari rahimahullah berkata : “Bagi saya sama saja, aku sholat di belakang imam beraliran Jahmiyah atau Rofidhoh (Syiah) atau aku sholat di belakang imam Yahudi atau Nasrani, bagiku mereka ini beda tipis. Dan seorang Muslim tidak boleh memberi salam pada mereka, dan tidak boleh mengunjungi mereka ketika sakit juga tidak boleh kawin dengan mereka dan tidak menjadikan mereka sebagai saksi, begitu pula tidak makan hewan yang disembelih oleh mereka.” (Kitab Khalqu ‘Af’alil-‘Ibad oleh Imam Bukhari, hal.125)
(5) Fatwa Imam Ibnu Hazm (384-456 H) Faqih, Ushuli dan hafidz dari Andalusia
“Salah satu pendapat golongan Syiah Imamiyah, baik yang dahulu maupun sekarang ialah, bahwa Al-Qur’an sesungguhnya sudah diubah”. Kemudian beliau berkata : ”Orang yang berpendapat bahwa Al-Qur’an yang ada ini telah diubah adalah benar-benar kafir dan mendustakan Rasulullah s.a.w.” (Kitab al-Fashlu Fil-Milal wal-Ahwa’ wa an-Nihal, Juz 5:40)
(6) Fatwa Imam Al-Qadhi Iyadh (476-544 H), ahli hadits dari Malikiyah asal Andalusia.
“Kita telah menetapkan kekafiran orang-orang Syiah yang telah berlebihan dalam keyakinan mereka, bahwa para Imam mereka lebih mulia dari pada para Nabi”.
Beliau juga berkata : “Kami juga mengkafirkan siapa saja yang mengingkari Al-Qur’an, walaupun hanya satu huruf atau menyatakan ada ayat-ayat yang diubah atau ditambah di dalamnya, sebagaimana golongan Batiniyah (Syiah) dan Syiah Ismailiyah.” (Kitab ar-Risalah, hal. 325)
(7) Fatwa Imam al-Ghazali (450-505 H), pemilik kitab Ihya’ Ulumuddin yang terkenal itu.
 “Seseorang yang dengan terus terang mengkafirkan Abu Bakar dan Umar radhiyallahu’anhuma, maka berarti ia telah menentang dan membinasakan ijma’ kaum Muslimin. Padahal tentang diri mereka (para sahabat) ini terdapat ayat-ayat yang menjanjikan syurga kepada mereka dan pujian bagi mereka serta pengukuhan atas kebenaran kehidupan agama mereka, dan keteguhan aqidah mereka serta kelebihan mereka dari manusia-manusia lain”.
Kemudian kata beliau : “Bilamana riwayat yang begini banyak telah sampai kepadanya, namun ia tetap berkeyakinan bahwa para sahabat itu kafir, maka orang semacam ini adalah kafir. Karena dia telah mendustakan Rasulullah s.a.w. Sedangkan orang yang mendustakan satu kata saja dari ucapan beliau, maka menurut ijma’ kaum Muslimin, orang tersebut adalah kafir.” (Kitab Fadha’ihul-Bayyinat, hal. 149)
 (8) Fatwa Imam Fakhruddin ar-Razi (544-606 H), seorang Faqih, Ushuli, Mufassir dari Syafi’iyah:
 “Sahabat-sahabat kami dari golongan Asyairoh mengkafirkan golongan Rofidhoh (Syiah), karena tiga alasan :
(a) Karena mengkafirkan para pemuka kaum Muslimin (para sahabat Nabi). Setiap orang yang mengkafirkan seorang Muslimin, maka dia yang kafir. Dasarnya adalah sabda Nabi SAW, yang artinya : “Barangsiapa berkata kepada saudaranya, hai kafir, maka sesungguhnya salah seorang dari keduanya lebih patut sebagai orang kafir”.
Dengan demikian mereka (golongan Syiah) otomatis menjadi kafir.
(b) Mereka telah mengkafirkan satu umat (kaum) yang telah ditegaskan oleh Rasulullah sebagai orang-orang terpuji dan memperoleh kehormatan (para sahabat Nabi).”
(c) Umat Islam telah Ijma’ menghukum kafir siapa saja yang mengkafirkan para tokoh dari kalangan sahabat.
(Kitab Nihayatul-‘Uqul, hal.212)
(9) Fatwa Syeikhul Islam Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah (661-728 H), Syeikhnya Para Syeikh dan imamnya para Imam.
  1. Siapa saja yang berasumsi bahwa kitab suci al-Qur’an telah mengalami pengurangan dan menganggap ada hal yang disembunyikan dari ayat-ayatnya. Atau menafsirkan al-Qur’an dengan ta’wil yang bathil hingga menafikan amal-amal syar’i yang nyata-nyata disebutkan dalam al-Qur’an. Maka, orang atau kelompok seperti ini tidak diragukan lagi kekafirannya.
  2. Siapa saja yang memiliki aqidah yang menyimpang terhadap sahabat Nabi yang mulia Rasulullah s.a.w, seperti menistai Sahabat Nabi s.a.w atau menuduh bahwa hanya beberapa gelintir saja dari sahabat Nabi yang setia kepada Rasulullah, karena kebanyakan dari sahabat setelah Rasulullah wafat pindah agama alias murtad. Orang seperti ini, jangan ragukan lagi kekafirannya. Karena mereka telah merobohkan sendi-sendi agama dan menistai generasi terbaik ummat ini.
 Dari kitab;
(a) Majmu’ Fatawa Imam Ibnu Taimiyah, Juz 28:482
(b) as-Sharimul Maslul oleh Imam Ibnu Taimiyah, hal. 586-587
(10) Imam Qurthubi (w. 671 H), dari Kibar Mufassirin/Mufassir Senior dalam kaitannya dengan Fatwa Imam Malik di atas mengatakan:
 “Sesungguhnya benarlah ucapan Imam Malik dan penafsirannya juga benar, bahwa siapapun yang menghina seorang sahabat atau mencela periwayatannya, maka ia telah menentang Allah, Rabb seru sekalian alam dan membatalkan syariat yang menjadi keyakinan kaum Muslimin.”
(Tafsir al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an oleh Imam Qurthubi, Juz 16:297).
(11) Imam Ibnu Katsir (789-803 H), ahli tafsir, muhaddits dan ahli Sirah dalam kitab monumental Tafsir al-Qur’anul ‘Adzim pada surah al-Fath:29:
 “Dari ayat ini, dalam satu riwayat dari Imam Malik Rahimahullah, beliau mengambil kesimpulan bahwa golongan Rofidhoh (Syiah), yaitu orang-orang yang membenci para sahabat Nabi SAW, adalah Kafir. Beliau berkata : “Karena mereka ini membenci para sahabat, maka dia adalah Kafir berdasarkan ayat ini”. Pendapat tersebut disepakati oleh sejumlah Ulama. (TafsirImam Ibnu Katsir,Juz 4:219)
(12) Fatwa Imam Syaukani (1173-1250), Kibar Ulama Yaman, Hakim Agung selama 21th dimasanya hingga wafat (1229-1250), pemilik Kitab Nailul-Authar
 Perbuatan yang mereka (Syiah) lakukan mencakup empat dosa besar, masing-masing dari dosa besar ini merupakan kekafiran yang terang-terangan. Pertama: Menentang Allah. Kedua: Menentang Rasulullah. Ketiga: Menentang Syariat Islam yang suci dan upaya mereka untuk melenyapkannya. Keempat: Mengkafirkan para sahabat yang diridhoi oleh Allah, yang didalam Al-Qur’an telah dijelaskan sifat-sifatnya, bahwa mereka orang yang paling keras kepada golongan Kuffar, Allah SWT menjadikan golongan Kuffar sangat benci kepada mereka. Allah meridhoi mereka dan disamping telah menjadi ketetapan hukum didalam syariat Islam yang suci, bahwa barangsiapa mengkafirkan seorang muslim, maka dia telah kafir, sebagaimana tersebut di dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan lain-lainnya.” (kitab Natsrul-Jauhar ‘alaa Haditsi Abi Dzar, hal 15-16)
 (13) Imam Al-Alusi (1217-1270 H) Mufassir, Faqih, ahli bahasa dari Baghdad
 “Sebagian besar ulama disebelah timur sungai ini (yakni Sungai Jaihun) menyatakan kekafiran golongan Syiah Itsna Asyariyah dan menetapkan halalnya darah mereka, harta mereka dan menjadikan wanita mereka menjadi budak, sebab mereka ini mencela sahabat Nabi s.a.w, terutama Abu Bakar dan Umar RA, yang menjadi telinga dan mata Rasulullah s.a.w, mengingkari kekhilafahan Abu Bakar, menuduh ‘Aisyah Ummul Mukminin berbuat zina, padahal Allah sendiri menyatakan kesuciannya, melebihkan Ali RA dari rasul-rasul Ulul Azmi. Sebagian mereka melebihkan Ali bin Abu Thalib dari Rasulullah s.a.w sendiri. Mereka juga mengingkari terpeliharanya Al-Qur’an dari kekurangan dan tambahan.” (kitab Nahju as-Salamah, hal.29-30)
 (14) Syeikh Ad-Dahlawi (1110-1176 H), seorang faqih, ushuli, muhaddits, mufassir kelahiran India, sesudah mempelajari sampai tuntas mazhab Syiah Itsna Asyariyah langsung dari sumber-sumber rujukan kaum syiah, beliau berkata:
 “Seseorang yang menyimak aqidah mereka yang busuk dan apa yang terkandung di dalamnya, niscaya ia tahu bahwa mereka ini sama sekali tidak berhak sebagai orang Islam dan tampak jelaslah baginya kekafiran mereka”. (Kitab Mukhtashor At-Tuhfah Al Itsna Asyariyah, hal. 300). (http://meleksyiah.wordpress.com/2012/06/21/fatwa-tentang-sesatnya-syiah-dari-ulama-mutabar/)

Dari pernyataan Ulama Mu'tabar di atas, apakah mereka masih menuduh kita sebagai pengikut Wahabi?