Kamis, 31 Mei 2012

Rumah Dzikrullah, Rumah Surgawi




Rumah surgawi adalah rumah yang diterangi petunjuk Ilahi. Cahaya itu berasal dari dzikir yang dilafazkan, Al-Quran yang dibacakan, maksiat yang ditahan, dan kebaikan yang disampaikan.

Rasulullah Saw. bersabda, “Perumpamaan rumah yang di dalamnya disebutkan nama Allah dan rumah yang di dalamnya tidak disebutkan nama Allah seperti orang hidup dan orang mati.”

Beliau menganggap rumah orang yang berdzikir seperti rumah yang hidup dan semarak, sedangkan rumah orang yang lalai dan tidak berdzikir sama dengan rumah orang mati atau kuburan, rumah kegelapan, suram, gersang, dan jauh dari rahmat dan keberkahan.

Mungkin kita akan menemukan sebuah rumah sederhana yang dihuni oleh orang yang taat, ternyata jauh lebih menyejukkan dan lebih awet bangunannya daripada sebuah rumah mewah yang cepat rapuh, karena di isi dengan kemaksiatan dan kelalaian. Jangan kita bingung akan hal itu. Karena segala sesuatu ada ditangan Allah, dan Allah sangat menyukai orang-orang yang taat. Yaitu, orang-orang yang telah menghiasi rumahnya dengan dzikrullah.

Rumah dzikrullah walaupun berukuran kecil, tapi dada orang-orang yang ada di dalamnya terasa lapang. Dzikrullah membuat yang sempit menjadi lapang, membuat hati yang keruh menjadi jernih, membuat akal yang gelap gulita menjadi terang benderang, pintu keinginan berbuat maksiat menjadi tertutup.

Kita dapat mengerjakan shalat sunah di rumah kita atau berdzikir di waktu senggang Kita atau membaca Al-Quran. Jangan sampai rumah kita seperti kuburan yang kosong oleh dzikir, meskipun dzikir itu sangat baik dilakukan di dalam masjid.

Apa salahnya sambil memasak, kita berdzikir, mengulang hafalan Al-Quran, atau mendengarkan bacaan Al-Quran dilantunkan. Apa salahnya juga, sambil menyapu rumah, kita mengingat Allah. Tentu kita mampu melakukannya.

Apalah susahnya melafadzkan dzikir, “Subhanallah...” atau “Astaghfirullah...” atau dzikir-dzikir lainnya. Hanya orang yang hatinya lalai dan disibukkan oleh hawa nafsu yang tidak mampu berdzikir.

Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. al-Munafiqun: 9).

Rumah dzikrullah adalah rumah yang akan mendatangkan kebaikan bagi penghuninya. Rumah inilah yang diibaratkan rumah surgawi. 

Apakah Kita Telah Benar-Benar Beriman?


“Orang-orang Arab Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman’. Katakanlah: ‘Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu…’” (QS. al-Hujurat: 14).

Imam Ibnul Qayyim berkata, “Mereka yang disebutkan di dalam ayat tersebut di atas – menurut pendapat yang paling shahih – adalah orang-orang muslim yang tidak memiliki sifat munafik. Namun mereka juga bukan termasuk orang-orang mukmin. Sebab keimanan belum meresap ke dalam hati mereka. Dengan demikian hatinya tidak bisa menangkap sebuah hakikat.” (Dalam kitab Zaad al-Muhajir Ilaa Rabbihi)

Sahabatku, bagaimana hati ini tidak bergetar ketika membaca ayat itu, mereka tidak dikatakan sebagai orang munafik, tapi mereka juga bukan termasuk orang mukmin. Sebab keimanan belum meresap ke dalam hati mereka. Bagaimana dengan kita? Bagaimana dengan jiwa-jiwa yang di dalamnya penuh kemunafikan dan kemaksiatan? Apakah dengan seenaknya mereka mengatakan, “Kami telah beriman”? Tidak! Tidak! Mereka sangat jauh dari keimanan. Derajat mereka sangat jauh dari orang-orang Arab Badui tersebut. Di sebut Badui, karena tempat tinggal mereka sangat jauh dari pusat informasi. Bagaimana dengan kita yang setiap hari dapat membaca ayat-ayat al-Quran berikut terjemahannya, yang setiap hari dapat mendengarkan pengajian di mana-mana, yang setiap hari dapat membaca artikel keagamaan dengan mudah?

Dengan demikian hatinya tidak bisa menangkap sebuah hakikat,” renungkanlah perkataan Imam Ibnul Qayim ini. Itulah mengapa hati ini tercerai berai, tidak dapat memahami ajaran agama dan tidak dapat menangkap hakikat dari ajaran agama. Itulah mengapa kemalasan demi kemalasan kita biarkan tanpa segera kita sadari akibatnya. Itulah mengapa hamasah (semangat) kita dalam beribadah kepada-Nya melemah. Itulah mengapa akal kita terasa buntu, hati kita gelap, kesulitan-kesulitan selalu menghantui kita!

Sahabatku, ayat di atas adalah tamparan bagi orang-orang yang angkuh; yang merasa dirinya beriman padahal tidak termasuk orang-orang yang beriman. Apalagi mereka yang merasa dirinya paling beriman, agar mereka hati-hati mengatakannya. Sebelumnya, periksalah hati apakah memang sudah beriman sebagaimana yang dikehendaki Allah. Jika belum, lebih baik mereka diam. Lebih baik mereka beramal. Lebih baik mereka mengaplikasikan iman itu sendiri, tanpa harus mengatakannya kepada orang banyak bahwa dirinya orang yang beriman, apatah lagi orang yang paling beriman. 

Rabu, 30 Mei 2012

Apa itu Rezeki?

Selama ini banyak orang salah kaprah memahami rezeki. Bagi mereka, rezeki adalah apa yang dihasilkan dari usaha mereka. Ternyata, tidak semua yang kita dapatkan itu bisa kita manfaatkan. Jadi, apa yang dimaksud dengan rezeki? Menurut kamus besar bahasa Indonesia kata rezeki memiliki dua arti yaitu, pertama, rezeki adalah segala sesuatau yang dipakai untuk memelihara kehidupan (yang diberikan oleh Tuhan) berupa makanan (sehari-hari); nafkah. Kedua, yaitu kata kiasan dari penghidupan, pendapatan, (uang dan sebagainya yang digunakan memelihara kehidupan), keuntungan, kesempatan mendapatkan makanan dan sebagainya. Sedangkan menurut Prof. Dr. M. Mutawalli asy-Sya’rawi, “Rezeki ialah apa yang dapat dimanfaatkan oleh pemiliknya.”

Definisi yang disampaikan Prof. Dr. Mutawalli Asy-Sya’rawi sangat bagus sekali. Ada seseorang mempunyai uang ratusan jutaan rupiah namun sangat ketat dan irit membelanjakan uangnya, setiap hari yang dikeluarkan hanya beberapa rupiah sangat tidak seimbang dengan hartanya, berarti rezeki orang tersebut hanya sebatas yang dibelanjakan atau yang bisa dimanfaatkan sedang yang disimpan bisa jadi milik orang lain, atau bias jadi pemilik harta tersebut hanyalah centeng yang terpercaya dari rezeki orang lain yang sudah ditakdirkan oleh Allah Ta’ala.

Apabila pembicaraan tentang rezeki material maka akan bisa diterima oleh sebagian besar manusia, namun pembicaraan pembicaraan rezeki nilai-nilai yang tidak pernah terlintas dalam pikiran banyak orang, karena sebagian orang memandang rezeki itu berbentuk harta dan bersifat materi padahal sesungguhnya rezeki itu bisa berupa juga ilmu, wawasan, keterampilan, kecerdasan otak, kefasihan bicara, kesehatan, dan sebagainya.

Udara (oksigen) yang kita hirup, kebutuhan air, cahaya matahari, hasil hutan, hasil bumi/tambang, atau apa pun yang dapat diambil manfaatnya adalah rezeki.

Itulah sebabnya, balasan Allah Swt. atas sedekah uang yang dilakukan orang tidak harus berupa uang juga. Bisa jadi balasan itu berupa terhindarnya seseorang dari penyakit atau mara bahaya, atau perasaan tentram di dalam jiwa, atau kehidupan yang penuh dengan keberkahan dan kemanfaatan, dan lain-lain.

Hakikatnya yang disebut rezeki adalah sesuatu yang sudah kita rasakan manfaatnya atau sudah dipergunakan. Makanan yang ada di kulkas belum tentu rezeki kita, sebelum kita memakannya. Demikian pula minuman sebelum kita minum dan pakaian sebelum kita kenakan.
Uang yang ada di saku, dompet, atau rekening kita juga belum tentu rezeki kita, karena bisa saja hilang atau kita meninggal dunia sehingga uang itu berpindah kepemilikan, misalnya kepada ahli waris atau orang lain.

Uang baru disebut rezeki kita jika sudah dibelanjakan dan belanjaan itu sudah kita nikmati. Ia juga baru bisa disebut rezeki jika sudah kita belanjakan di jalan Allah dengan zakat, infak, dan sedekah. Bahkan, infak di jalan Allah termasuk Amal Jariyah berarti menjadikan uang itu sebagai "rezeki dunia-akhirat” karena pahalanya terus mengalir hingga ke alam akhirat.
Yang pasti, Allah Swt. menjamin ada rezeki bagi setiap makhluk-Nya (QS. Hud: 6). Tugas kita adalah ikhtiar, doa, dan tawakal untuk menjemput rezeki itu. 

Selasa, 29 Mei 2012

Tujuh Amalan Pelancar Rezeki


Setiap orang pasti mendambakan rezeki yang halal, baik, berkah, dan melimpah. Tentu, dengan rezeki tersebut seseorang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dan untuk mendapatkannya, selain dengan bekerja keras secara ikhlas, tuntas dan cerdas, seseorang harus mengetahui amalan-amalan apa saja yang dapat memperlancar turunnya rezeki. 

Pertama, bertaubat dan memperbanyak istighfar. Allah Swt. berfirman, “Maka aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-,niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh:10 – 12). Dengan dalil ini, Imam Hasan Al-Bashri selalu menganjurkan kepada orang yang datang kepadanya karen masalah kekeringan, kemiskinan, kemandulan, paceklik dan lain sebagainya untuk selalu membaca istighfar.

Rasulullah Saw. juga bersabda, “Barangsiapa yang sering membaca istighfar, niscaya Allah akan menghilangkan segala kegundahan dan kesusahannya, serta dikaruniakan kepada rezeki yang tidak diduganya.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Kedua, bertakwa. Yang dimaksud bertakwa di sini adalah menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Maka, bila kedua syarat ini telah terpenuhi dalam diri seorang muslim, dia berhak mendapatkan apa yang telah dijanjikan Allah Swt. melalui Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya.

Allah Swt. berfirman, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2 – 3)

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96) Menurut Ibnu Abbas Ra. maknanya adalah, Allah pasti akan menambahkan kebajikan serta memudahkan rezeki bagi mereka dalam segala hal.

Ketiga, tawakal. Makna tawakal menurut Imam Al-Ghazali adalah, menggantungkan hati kepada Allah semata. Jadi, tawakal adalah urusan hati sedangkan jasad ini berikhtiar dalam mencari nafkah. Allah Swt. berjanji bagi mereka yang bertawakal kepada-Nya bahwa Dia akan mencukupkan kebutuhan hidup mereka di dunia.

Allah Swt. berfirman, “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3).

Rasulullah Saw. bersabda, “Kalau seandainya kamu bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, maka kamu akan dlimpahkan rezeki sebagaimana burung-burung yang diberi rezeki. Mereka terbang di pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad)

Keempat, memfokuskan hidup untuk ibadah. Yaitu, hendaknya kita menjalani hidup ini dengan niat ibadah. Bila kita mencari nafkah, niatkanlah untuk beribadah kepada Allah. Bila kita bersilaturahmi ke rumah teman, niatkanlah untuk ibadah. Dan seterusnya. Bila hidup kita tujukan dalam rangka beribadah kepada Allah, maka Allah telah berjanji untuk memberi kita kekayaan dan menjauhi kita dari kemiskinan.

Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman, ‘Hani Bani Adam, konsentrasikanlah dirimu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku akan penuhi hatimu dengan kekayaan dan Aku penuhi tanganmu dengan rezeki! Hai Bani Adam, janganlah kamu menjauhi Aku! Karena jika kamu berusaha untuk menjauhi-Ku, niscaya Aku akan penuhi hatimu dengan kemiskinan dan Aku aka nisi tanganmu dengan kesibukan.” (HR. Hakim)

Kelima, silaturahim. Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya maka sambunglah tali silaturahim.” (HR. Bukhari)

Imam Ibnu Abu Hamzah berkata, “Silaturahim itu dapat terjalin dengan adanya harta, atau menolong ketika dibutuhkan, mencegah dari bahaya, muka yang berseri-seri, dan dengan doa.” Itulah sarana silaturahim yang hendaknya kita amalkan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Keenam, sedekah. Allah Swt. berfirman, Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rizki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba': 39).

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 261)

Betapapun sedikit apa yang kita sedekahkan dari apa yang Allah perintahkan kepada kita dan apa yang diperbolehkan-Nya, niscaya Dia akan menggantinya untuk kita di dunia, dan di akhirat kita akan diberi pahala dan ganjaran.

Ketujuh, berpagi-pagi dalam mencari nafkah. Rasulullah Saw. bersabda, “Ya Allah, berkahilah umatku di pagi-pagi mereka.” Maka, doa Rasulullah Saw. ini pasti dikabulkan oleh Allah.

Jika mengutus pasukan, maka Panglima Islam Shakhar Al-Ghamidi mengutusnya dipagi hari. Dia seorang pedagang yang memulai dagangannya di pagi hari, maka dia kaya raya. (HR. Abu Daud).

Di waktu pagi ini, kita temukan apa yang tidak ada di waktu lain, bahkan dalam kecerahan dan kesegaran udaranya. Allah menjadikan waktu ini sebagai berkah dalam rezeki. Bahkan sebagian ulama salaf apabila melihat salah satu anaknya tidur di pagi hari,maka a akan membentaknya dan berkata, “Mengapa engkau tidur pada waktu di mana rezeki di bagi-bagikan?!” 

Keutamaan Berdakwah (1)

Keutamaan Pertama
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?’” (QS. Fushshilat: 33).

Sebagian mufassir mengatakan, barangsiapa menyeru manusia ke jalan Allah dengan cara apapun, maka dia berhak mendapat kehormatan dari ayat di atas. Misalnya, para Nabi As. berdakwah dengan cara memperlihatkan mukjizat, para ulama berdakwah dengan hujjah dan dalil-dalil, para mujahid berdakwah dengan pedangnya, para muadzin berdakwah dengan adzannya, politisi berdakwah dengan kebijakan yang dibuatnya, penulis berdakwah dengan penanya. Pendek kata, barangsiapa menyeru manusia kepada kebaikan, maka dia berhak mendapatkan kehormatan seperti disebutkan ayat di atas.

Sebagian mufassir juga mengatakan, ayat “Wa qalla innani minal muslimin” (dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?’) maksudnya adalah, bahwa seorang muslim hendaknya merasa bangga dengan kehormatan yang dikaruniakan Allah kepadanya, dan hendaknya dia menunjukkan kehormatan ini dengan penuh kebanggaan.

Keutamaan Kedua
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. adz-Dzariyat: 55).

Para mufassir mengatakan bahwa dengan dakwah berarti juga memberikan peringatan kepada orang-orang beriman dengan ayat-ayat al-Quran, karena hal ini akan bermanfaat bagi mereka. Bahkan akan bermanfaat juga bagi orang-orang kafir, karena dengan usaha ini, insya Allah mereka akan memeluk Islam. Rasulullah Saw. pernah bersabda, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya. Para da’i adalah orang-orang terbaik dan dakwah adalah profesi terbaik yang dapat memberikan manfaat bagi sesama.

Keutamaan Ketiga
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104).

Dalam ayat di atas, dengan jelas Allah Swt. menunjukkan sebab-sebab keberuntungan, yaitu dengan berdakwah; menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Artinya, barangsiapa yang ingin meraih keberuntungan, maka hidupnya harus di arahkan pada jalan dakwah.

Keutamaan Keempat
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110).

Kalimat, “Kuntum khaira ummah” artinya kalian akan senantiasa menjadi umat terbaik di antara umat-umat lainnya karena kalian mendakwahkan ajaran Islam, menyeru manusia kepada kebaikan, serta mencegah dari kemungkaran.

Para mufassir mengatakan, bahwa dalam ayat ini amar ma’ruf nahi munkar disebutkan lebih dahulu daripada sebutan iman kepada Allah, padahal iman adalah pangkal bagi segala amalan. Tanpa iman, amal kebaikan apa pun tidak akan bernilai di sisi Allah. Hal ini dikarenakan, iman sudah ada dan dimiliki oleh umat-umat terdahulu, namun ada suatu amalan yang membedakan umat Nabi Muhammad Saw. dengan umat-umat sebelumnya, yaitu tugas amar ma’ruf nahi munkar.

Jika maksud utama dari ayat di atas adalah menegaskan betapa pentingnya amar ma’ruf nahi munkar bagi kita, sehingga perintah ini disebutkan terlebih dahulu. Dengan demikian, syarat utama agar umat ini menjadi lebih mulia daripada umat lainnya, yaitu kita harus melaksanakan perintah tersebut. Jika tidak, maka kita tidak berhak memperoleh sebutan khaira ummah. Seperti pernah terjadi pada umat terdahulu ketika mereka melalaikan tugas ini, maka Allah Swt. berfirman, “Falamma nasuu maa dzukkiruubih…” (Ketika mereka lalai dari mengingatkan).

Peringatan seperti ini banyak disebutkan dalam ayat-ayat lain. Perlu di ingat, bahwa tugas amar ma’ruf nahi munkar tidak cukup diamalkan beberapa kali saja, tetapi harus diamalkan terus-menerus setiap saat, karena amar ma’ruf nahi munkar adalah tugas tetap, bukan tugas sementara.

Keutamaan Kelima
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. an-Nisa: 114).

Dalam ayat ini Allah Swt. menjanjikan balasan yang besar bagi mereka yang mendakwahkan kebenaran. Seberapa besarkah pahala yang dikatakan ‘besar’ oleh Allah itu? Dalam menafsirkan ayat ini, Rasulullah Saw. bersabda, “Kata-kata seseorang itu boleh jadi merupakan dosa baginya, kecuali kata-kata yang diucapkan itu memberi peringatan, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, atau berdzikir kepada Allah.”

Beginilah Ikhwan Mengajarkan Kami


Hari itu, Syaikh Muhammad Ahmad Rasyid berkesempatan berkunjung ke kantor Majalah Ad Dakwah, dalam rangkaian lawatannya ke Mesir. Majalah Ad Dakwah adalah salah satu majalah milik Jamaah Ikhwanul Muslimin di Mesir. Dalam kunjungannya ke kantor itu, beliau melihat seorang lelaki tua yang penuh kerendahdirian. Dengan penuh ke-tawadhu’-an, ia duduk di atas sebuah kursi rutan yang lusuh, di depan salah satu unit apartemen yang merupakan bagian dari kantor Majalah Ad Dakwah. Tampak bahwa ia adalah penjaga pintu bagunan itu. Namun, sorot cahaya wajahnya menunjukkan bahwa lelaki itu memiliki kehebatan. Ia memancarkan cahaya ruhani.

Syaikh Muhammad Ahmad Rasyid pun memberikan salam kepadanya dan meminta izin untuk masuk ke dalam ruangan. Lelaki tua itupun menjawab salam dan mempersilakannya masuk. Maka, berjalanlah Syaikh Muhammad Ahmad Rasyid ke dalam bangunan kantor.

Seorang al akh yang berada di situ pun bertanya padanya, “Apakah engkau mengenal lelaki terhormat yang seolah penjaga pintu itu?”

“Tidak,” jawab Syaikh, “Namun ia menarik perhatianku.”

“Dialah Shalih Asymawi,” kata al akh tersebut.

“Dia pernah merasa dirinya nyaman saat mereka yang membuat onar mengangkatnya sebagai pemimpin dan memanggilnya ‘amir’,” lanjutnya.  “Dia bersedia untuk kembali sebagai tentara biasa berada di akhir barisan.  Dia bersikeras bahwa itulah kesempurnaan untuk taubatnya.  Dia memilih menjadi penjaga pintu. Kalau dia tahu ada lagi posisi lebih rendah dari itu dia akan memilihnya.  Dengan itu, dia menghapus sikap lampaunya yang meginginkan berada dikedudukan kepemimpinan.”

Maka, teringatlah  Syaikh Muhammad Ahmad Rasyid pada masa fitnah yang menimpa Jamaah Ikhwanul Muslimin di masa kepemimpinan Mursyid ‘Amm Hasan Al Hudhaibi.

Shalih Asymawi, seorang ustadz, adalah salah seorang mu’asis dakwah Ikhwanul Muslimin. Beliau adalah generasi pertama jamaah Ikhwan dan memiliki kedudukan istimewa di hadapan Mursyid ‘Amm Imam Hasan Al Banna. Dia telah membersamai dan mendukung Imam Hasan Al Banna dalam satu periode, serta menjadi salah satu dai paling baik amalnya. Beliau termasuk pula menjadi anggota Maktab Irsyad Jamaah Ikhwanul Muslimin. Bahkan beliau sempat menjabat sebagai Wakil Mursyid ‘Amm.

Saat Imam Hasan Al Banna dibunuh, itulah tanda puncak tribulasi yang dihadapi jamaah Ikhwan. Namun, puncak tribulasi itu ternyata tidak serta-merta melemahkan tribulasi yang dihadapi jamaah. Saat penentuan Mursyid ‘Amm yang baru, menggantikan Imam Hasan Al Banna. Pada waktu itu muncul beberapa kandidat kuat pengganti Imam Hasan Al Banna. Mereka adalah Ustadz Shalih Asymawi yang menjabat wakil pimpinan jamaah, Abdurrahman Al Banna yang merupakan saudara Imam Hasan Al Banna, Abdul Hakim Abidin yang merupakan sekretaris jamaah yang cerdas, dinamis, dan orator ulung, dan Syaikh Ahmad Hasan Al Baquri yang merupakan salah seorang ulama Al Azhar Asy Syarif.

Namun, akhirnya terpilihlah Ustadz Hasan Al Hudhaibi, seorang jaksa yang belum banyak dikenal oleh anggota jamaah yang lain. Namun, menurut Majelis Tertinggi Ikhwan, pemilihan Ustadz Hasan Al Hudhaibi ini memiliki tiga pertimbangan utama.

Pertama, beliau dianggap figur akomodatif dan dinilai sebagai langkah kompromi terhadap pemerintah sehingga mengendurkan tekanan terhadap Ikhwan. Kedua, beliau sebagai tokoh hukum yang disegani sehingga diharapkan mampu melakukan pembelaan terhadap para aktivis Ikhwan yang banyak dipenjara dan dalam proses peradilan. Ketiga, beliau dinilai sebagai figur pemersatu yang bisa diterima banyak pihak. Selain itu mereka juga menilai Ustadz Hasan Al Hudhaibi sebagai sosok yang disiplin, berdedikasi tinggi, dan bersikap berani dan tegas dalam mengambil keputusan.

Seperti ditulis dalam Al Ikhwan Al Muslimun: Bersama Mursyid ‘Amm Kedua , pada awalnya Ustadz Hasan Al Hudhaibi menolak jabatan itu, karena merasa tidak mampu mengemban tugas berat tersebut. Dan beliau mengatakan bahwa dirinya juga bukan dari kalangan dekat imam mu’asis seperti halnya calon lainnya. Namun karena dukungan cukup kuat dari berbagai cabang ikhwan, akhirnya beliau menerima jabatan ini.

Khamis Hamdah pernah berkata, “Ikhwanul Muslimin dididik oleh Al Banna dan dialah Sang Guru (Sang Murabbi). Siapapun yang menggantikannya, harus mampu menggantikan perannya.” Dan ternyata ini bukan hal mudah bagi Ustadz Hasan Al Hudhaibi.

Beberapa saat setelah pengangkatannya sebagai Mursyid ‘Amm, muncul faksi-faksi yang berusaha menggoyang kepemimpinan Ustadz Hasan Al Hudhaibi. Mereka memandang pengangkatannya kontroversial, karena belum memenuhi persyaratan administratif, yaitu masa keanggotaan di lajnah ta’sisiyah sekurang-kurangnya lima tahun.  Beliau juga dipandang kontroversial karena mengangkat mereka-mereka yang punya gelar ilmiah dalam bidang keduniaan menjadi angggota Maktab Irsyad. Tekanan lain muncul dari Nizham Khash yang khawatir beliau akan segera membubarkan organisasi khusus ini, atau merestrukturisasi karena beliau mulai melihat adanya beberapa tindakan Nizham Khash yang keliru.

Puncak konflik itu terjadi ketika 71 anggota Majelis Tertinggi Ikhwan menyampaikan mosi tidak percaya dan menuntut empat hal:

Pertama, pembubaran Maktab Irsyad. Kedua, pembubaran semua cabang Ikhwan yang didirikan tiga tahun terakhir. Ketiga, pembatalan semua amandemen terakhir terhadap konstitusi Ikhwan. Dan keempat, pembatalan tindakan terhadap para oposan. Saat itu beredar selebaran gelap yang ditandatangani oleh “Gerakan Ikhwan Merdeka” dan “Para pendukung Hasan Al Banna” yang disokong oleh Jamal Abdun Nashir. Mereka menuntut Ustadz Hasan Al Hudhaibi mundur dari jabatannya.

Kemudian Ustadz Hasan Al Hudhaibi pun mengambil langkah tegas dengan memecat beberapa anggota, termasuk sebagian anggota Dewan Pendiri, setelah memperoleh persetujuan Maktab Irsyad. Pemecatan mereka bukan karena meragukan agama dan keluhuran akhlaq mereka. Mereka dipecat karena melanggar konstitusi jama’ah. Kondisi seperti ini tidak akan membawa keuntungan bagi setiap jamaah, partai ataupun lembaga.

Bahkan, Abdurahman As Sindi yang saat itu menjabat sebagai pimpinan Nizham Khash dan beberapa anggota oposan datang langsung ke rumah Ustadz Hasan Al Hudhaibi, mereka mencabut kabel telepon rumahnya dan memintanya turun dari jabatan Mursyid. Mereka kemudian pergi meninggalkan rumah Mursyid ‘Amm dan menuju kantor Maktab Irsyad. Mereka mendudukinya. Mereka menutup dan mengunci kantor dengan rantai besi. Penyegelan ini berhasil diselesaikan dengan lobi dari Ustadz Umar Tilmisani dan Ustadz Abdul Aziz Jalal kepada para oposan melalui sambungan telepon.

Dalam masa panjang dan berkali-kali terjadinya tribulasi terhadap Ikhwan inilah Ustadz Shalih Asymawi pernah turut terlibat, menjadi oposan bagi kepemimpinan Mursyid ‘Amm. Saat itu, segala urusan menjadi penuh cobaan dan hawa nafsu seringkali menguasai. Salah satu faksi di dalam tubuh jamaah menjadikan Ustadz Shalih Asymawi sebagai pemimpin mereka. Ustadz Shalih Asymawi pun mengiyakan dan sempat menjadi salah satu pengobar bara fitnah di dalam internal jamaah Ikhwan. Hawa nafsu mendorongnya menginginkan kekuasaan.

Masa pun berganti, dan badai fitnah terhadap Jamaah Ikhwan pun berlalu. Ustadz Shalih Asymawi pun menyesal atas apa yang telah dilakukannya. Beliau bersedia kembali menjadi tentara dakwah, tapi beliau hanya mau berada di barisan shaf paling akhir. Beliau bersikeras bahwa itulah kesempatannya untuk bertaubat. Beliau memilih menjadi penjaga pintu. Ya, penjaga pintu kantor Majalah Ad Dakwah, hanya penjaga pintu. Dari wakil pimpinan jamaah, menjadi penjaga pintu.

Ustadz Umar At Tilmisani, tulis Syaikh Muhammad Ahmad Rasyid dalam Fadhaihul Fitan, yang kemudian menjadi Mursyid ‘Amm ketiga mengatakan, “Kami berdoa untuknya dan kami ajak dia agar menjadi seorang akh yang ikut serta (bekerjasama mengurus jamaah) seperti orangorang yang lain. Dan Allah akan mengampuni mereka yang telah bertaubat, tetapi dia tetap enggan dan menolak.  Kami terus berusaha keras untuk meyakinkannya, tapi dia tetap tidak beranjak dari upaya menghukum dirinya dengan berada di barisan paling akhir.”

Dan beberapa tahun kemudian Ustadz Umar At Tilmisani berkata, “Ustadz Shalih `Asymawi telah bertaubat dengan satu taubat, yang saya anggap, kalau ia dibagikan ke semua da’i Islam di Kairo, ia akan mencakup mereka semua.”

Komentar: 
Tulisan di atas ditulis oleh Priyo Kuncoro di situs fimadani.com. Saya sangat terkesan dengan kisah ini. Menurut saya kisah ini penuh inspirasi dan sangat bermanfaat untuk direnungkan. Kisah ini menggambarkan pengorbanan, kesungguhan dalam beramal, ketaatan kepada qiyadah, kedisiplinan dalam manhaj, dan pelaksanaan fikrah yang konsisten. Kisah ini menunjukkan karakteristik seorang ikhwah yang telah ditarbiyah langsung oleh Imam Hasan Al-Banna. Tarbiyah itu begitu mengena dalam diri mereka sehingga membentuk kepribadian mereka. Saya menemukan kisah tentang kader-kader Ikhwan lainnya yang menunjukkan fenomena cemerlang serupa. Sungguh, kisah-kisah itu sulit sekali dicari tandingannya di zaman modern ini. Sungguh kebaikan yang kita lakukan adalah untuk diri kita sendiri, apalagi jika kebaikan itu diikuti oleh orang lain, maka pahalanya akan terus mengalir untuk diri kita. Semoga Allah merahmati Syaikh Shalih Asymawi.   

Beriman Tanpa Rasa Takut


“Yang merasakan manisnya iman ialah orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabb, kepada Islam sebagai agama dan kepada Muhammad sebagai rasul.”

Hadits ini merupakan inti kedudukan agama dan sekaligus merupakan puncaknya, yang di dalamnya terkandung ridha terhadap Rububiyah dan Uluhiyah Allah, ridha kepada Rasul-Nya, ketundukan, ridha kepada agama-Nya dan kepasrahan kepada-Nya. Siapa yang menghimpun empat perkara ini, maka dia adalah orang yang shiddiq. Memang hal ini mudah diucapkan, tapi termasuk sulit dan berat jika datang cobaan, apalagi jika ada sesuatu yang bertentangan dengan nafsu dan keinginannya, sehingga akan tampak apakah ridha itu hanya sekedar di lisan atau memang merupakan keadaan dirinya.

Ridha kepada Rububiyah Allah mengandung ridha terhadap pengaturan-Nya terhadap hamba, juga mengandung pengakuan terhadap kesendirian-Nya dalam tawakkal, keyakinan, penyandaran dan permintaan pertolongan. Sedangkan ridha kepada Rasul-Nya mengandung kesempurnaan kepatuhan dan kepasrahan kepadanya, sehingga keberadaan Rasul-Nya lebih penting daripada keberadaan dirinya, tidak mengambil petunjuk kecuali dari kalimat-kalimatnya, tidak ridha kepada selain hukumnya, dalam masalah apa pun, zhahir maupun batin. Sedangkan ridha kepada agama-Nya berarti patuh kepada hukum, perintah dan larangan agama, sekalipun mungkin bertentangan dengan kehendaknya atau pendapat guru dan golongannya.

Yang pasti dalam masalah ini, ridha adalah sesuatu yang bisa diupayakan ditilik dari sebabnya, dan merupakan pemberian jika ditilik dari hakikatnya. Jika memang sebab-sebabnya dimungkinkan dan pohonnya dapat ditanam, maka buah ridha juga bisa dipetik. Sebab ridha merupakan akhir dari tawakkal. Siapa yang pijakan kakinya mantap pada tawakkal, penyerahan diri dan kepasrahan, tentu akan mendapatkan ridha. Tapi karena sulitnya mendapatkan ridha ini, maka Allah tidak mewajibkannya kepada makhluk-Nya, sebagai rahmat dan keringanan bagi mereka. Namun begitu Allah menganjurkannya kepada mereka, memuji pelakunya dan mengabarkan bahwa pahala yang mereka terima adalah keridhaan Allah terhadap mereka, dan ini merupakan pahala yang lebih agung daripada surga dan seisinya.

Siapa yang ridha kepada Rabb-nya, maka Dia juga ridha kepadanya. Karena itu ridha ini merupakan pintu Allah yang paling besar, surga dunia, kehidupan orang-orang yang mencintai dan kenikmatan orang-orang yang banyak beribadah. Di antara faktor yang paling besar mendatangkan ridha ialah mengikuti apa yang Allah ridha kepadanya, karena inilah yang akan menghantarkan kepada ridha. Yahya bin Mu'adz pernah ditanya, "Kapankah seorang hamba mencapai kedudukan ridha?" Maka dia menjawab, "Jika dia menempatkan dirinya pada empat landasan tindakan Allah kepadanya, lalu dia berkata, "Jika Engkau memberiku, maka aku menerimanya. Jika Engkau menahan pemberian kepadaku, maka aku ridha. Jika Engkau membiarkanku, maka aku tetap beribadah. Jika Engkau menyeruku, maka aku memenuhinya."

Tawakkal merupakan tempat persinggahan yang paling luas dan menyeluruh, yang senantiasa ramai ditempati orang-orang yang singgah di sana, karena luasnya kaitan tawakkal, banyaknya kebutuhan penghuni alam, keumuman tawakkal, yang bisa disinggahi orang-orang Mukmin dan juga orang-orang kafir, orang baik dan orang jahat, termasuk pula burung, hewan liar dan binatang buas. Semua penduduk bumi dan langit berada dalam tawakkal, sekalipun kaitan tawakkal mereka berbeda-beda.

Para wali Allah dan hamba-hamba-Nya yang khusus bertawakkal kepada Allah karena iman, menolong agama-Nya, meninggikan kalimat-Nya, berjihad memerangi musuh-musuh-Nya, karena mencintai-Nya dan melaksanakan perintah-Nya. Sedangkan selain mereka bertawakkal kepada Allah karena kepentingan dirinya dan menjaga keadaannya dengan memohon kepada Allah. Ada pula di antara mereka yang bertawakkal kepada Allah karena sesuatu yang hendak didapatkannya, entah rezeki, kesehatan, pertolongan saat melawan musuh, mendapatkan istri, anak dan lain sebagainya. Ada pula yang bertawakkal kepada Allah justru untuk melakukan kekejian dan berbuat dosa. Apa pun yang mereka inginkan atau yang mereka dapatkan, biasanya tidak lepas dari tawakkal kepada Allah dan memohon pertolongan kepada-Nya. Bahkan boleh jadi tawakkal mereka ini lebih kuat daripada tawakkalnya orang-orang yang taat. Mereka menjerumuskan diri dalam kebinasaan dan kerusakan sambil memohon kepada Allah agar menyelamatkan mereka dan mengabulkan keinginan mereka.

Tawakkal yang paling baik ialah tawakkal dalam kewajiban memenuhi hak kebenaran, hak makhluk dan hak diri sendiri. Yang paling luas dan yang paling bermanfaat ialah tawakkal dalam mementingkan faktor eksternal dalam kemaslahatan agama, atau menyingkirkan kerusakan agama. Jni merupakan tawakkalnya para nabi dalam menegakkan agama Allah dan menghentikan kerusakan orang-orang yang rusak di dunia. Ini juga tawakkalnya para pewaris nabi. Kemudian tawakkal manusia setelah itu tergantung dari hasrat dan tujuannya. Di antara mereka ada yang bertawakkal kepada Allah untuk mendapatkan kekuasaan dan ada yang bertawakkal kepada Allah untuk mendapatkan serpihan roti.

Siapa yang benar dalam tawakkalnya kepada Allah untuk mendapatkan sesuatu, tentu dia akan mendapatkannya. Jika sesuatu yang diinginkannya dicintai dan diridhai Allah, maka dia akan mendapatkan kesudahan yang terpuji. Jika sesuatu yang diinginkannya itu dibenci Allah, maka apa yang diperolehnya itu justru akan membahayakan dirinya. Jika sesuatu yang diinginkannya itu sesuatu yang mubah, maka dia mendapatkan kemaslahatan dirinya dan bukan kemaslahatan tawakkalnya, selagi hal itu tidak dimaksudkan untuk ketaatan kepada-Nya.

Ketahuilah bahwa ada beberapa hamba Allah yang ridha dengan pengaturan Allah Swt.. Mereka menerima baik maupun “buruk” yang datangnya dari Allah. Cahaya telah melenyapkan hasrat mereka untuk ikut mengatur. Makrifat dan rahasia telah menyirnakan kuasa mereka untuk ikut memilih. Mereka ridha dan merasakan nikmatnya ridha.

Ketahuilah, putra Nabi Nuh As. binasa karena ia mengikuti keinginannya sendiri dan tidak meridhai pengaturan Allah yang dipilihkan untuk Nuh As. dan para pengikutnya di kapal. Nabi Nuh As. berkata kepada anaknya, “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.”

Anaknya menjawab: “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” Nuh berkata: “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang.” (QS. Hud: 42-43).

Maknanya, putra Nuh As. itu mencari perlindungan kepada gunung akalnya. Gunung tempat berlindungnya itu menggambarkan keadaan dirinya yang sebagaimana dikatakan oleh Allah, “Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.”

Secara lahir, yang menenggelamkannya adalah banjir. Secara batin, ia karam karena terhalang dari Allah. Perhatikanlah kisah ini dan ambillah pelajaran darinya. Apabila gelombang takdir menujumu, jangan bersandar pada gunung akalmu agar kau tidak termasuk golongan yang tenggelam dalam lautan keterputusan. Tetapi, naiklah ke bahtera perlindungan dan kebergantungan kepada Allah. Allah Swt. berfirman, “Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali Imran: 101).

Apabila kau patuh, kapal keselamatan akan membawamu berlabuh di bukit keamanan. Kemudian kau, dan orang-orang yang bersamamu, akan mendarat dengan selamat di negeri pendekatan kepada Allah dan tiba di daratan keselamatan seraya diberkati. Itulah alam wujudmu. Pahamilah hal ini dengan baik dan jangan termasuk golongan yang lalai.

Kau telah mengetahui bahwa sikap tidak mengatur dan tidak memilih merupakan keutamaan yang dimiliki orang-orang yang yakin. Sikap itulah yang merupakan perhiasan utama para arif.

Seseorang pernah bertanya kepada seorang arif dalam perjalanan menuju Ka’bah, “Kemanakah Anda akan pulang?” Ia menjawab, “Aku telah terbiasa bersama Allah dan tidak membiarkan keinginanku mendahului langkah kakiku.”

Itulah keadaan hamba yang tak punya pilihan dan keinginan. Keinginannya adalah apa yang Dia inginkan. Seorang ulama mengatakan hal yang serupa, “Pagi ini keinginanku berada dalam ketentuan Allah.”

Abu Hafsh al-Haddad berkata, “Sejak empat puluh tahun yang lalu, tidak pernah Allah menempatkanku dalam satu keadaan lalu aku membencinya dan mengalihkan ke keadaan yang lain lalu aku tidak menyukainya.”

Hati mereka telah dipelihara oleh Allah Swt. dan mereka layak mendapatkannya. Tidakkah kau mendengar firman Allah, “Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka.” (QS. al-Hijr: 42).

Mengapa? Karena orang yang telah mencapai kedudukan penghambaan akan pasrah sepenuhnya kepada pilihan Allah, enggan berbuat dosa, serta tidak mau terjerumus ke dalam aib dan kesalahan.

Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya.” (QS. an-Nahl: 99).

Hati yang tidak bisa dikuasai setan tidak mungkin bisa direcoki dan diganggu oleh godaan untuk mengatur. Ayat di atas menjelaskan bahwa orang yang meluruskan keimanan dan tawakalnya kepada Allah niscaya tidak akan bisa dikuasai setan. Pasalnya, setan hanya bisa menggoda dengan dua cara, yaitu dengan membuat ragu seseorang akan keyakinannya atau dengan membuatnya bergantung kepada makhluk. Upaya untuk meragukan keyakinan bisa dibentengi dengan keimanan, sedangkan sikap cenderung dan bergantung kepada makhluk bisa dibentengi dengan tawakal kepada-Nya.

Komentar:
Tulisan di atas ditulis oleh Imam A'thaillah As-Sakandari salah seorang ulama sufi penulis kitab Al-Hikam yang tersohor itu. Beliau telah menjelaskan bahwa setiap mukmin haruslah tunduk dan patuh terhadap syariat Islam. Tidak terkecuali bagi mereka yang mengaku sebagai sufi atau bagi mereka yang saat ini mencari kebenaran. Karena dengan tunduk dan patuh itulah maka akan merasakan manisnya iman. Oleh karena itu, sungguh aneh apabila ada orang yang ingin meraih kebebasan sejati, ingin meraih kebahagiaan sejati, menjadi mukmin yang pemberani, yang ditakutkan hanya Allah Swt., ingin meraih cinta sejati, tanpa melaksanakan syariat Islam. 

Mereka yang kabarnya telah menggapai hakikat tetapi nyatanya menjauhi syariat ibarat membangun istana pasir yang kemudian diterpa ombak besar. Mereka yang berkata ini dan itu tapi di bawah timbangan syariat, jauh sekali dari kebenaran. Para wali Allah, orang-orang saleh, dan mereka yang meniti jalan Allah telah membuktikannya. Tidak akan sampai kepada Allah kecuali mereka menghukumi diri mereka berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Imam Junaid Al-Baghdadi berkata: “Semua jalan tertutup bagi manusia selain orang yang mengikuti jejak Rasulullah Saw.”

Imam Ahmad bin Hanbal pernah menjelaskan berbagai masalah. Lalu dia bertanya kepada Abu Hamzah Al-Baghdadi, seorang pemuka tasawuf, “Apa pendapatmu wahai orang sufi?” Maka Abu Hamzah menjawab, “Siapa yang mengetahui jalan yang benar, maka perjalanannya pun menjadi mudah. Tidak ada bukti petunjuk jalan kepada Allah selain dari mengikuti Rasulullah Saw., dalam perbuatan, perkataan dan keadaannya.”

Abu Yazid al-Bistami pernah berkata, “Jika kalian melihat seseorang yang diberi karomah, sehingga dia dapat terbang di angkasa, maka janganlah kalian terpedaya, hingga kalian tahu bagaiamana orang itu menempatkan dirinya pada perintah dan larangan, menjaga hukum dan melaksanakan syariat.”

Salah seorang dari orang-orang saleh itu mengatakan barangsiapa yang ingin mendapatkan hikmah, maka hendaklah lahir dan batinnya mengikuti sunnah Rasulullah. Bagaimana mereka bisa mendapatkan kebenaran sementara mereka sendiri menjauhi sunnah Rasulullah? Bagaimana mereka bisa meraih kedudukan yang mulia di sisi Allah sementara mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah? Bagaimana mereka bisa meredam hawa nafsu sementara mereka justru memperturutkan hawa nafsu?

Ketika jiwa sudah tunduk dan patuh kepada Allah Swt., maka tidak ada yang ditakuti kecuali Allah Swt. Dia senantiasa berpegang teguh pada tali agama Allah walaupun orang-orang disekitarnya membencinya. Baginya cukuplah Allah sebagai penolong dan pelindung. 

Senin, 28 Mei 2012

Mengenal Nabi dengan Membaca Sirah Nabawiyah


Judul : Shahih Sirah Nabawiyah 
Penulis : Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury
Tebal : XX + 648 hlm.
Cetakan : Ke-4 2011 
Harga: 95.000

Pada awalnya, kita mendengar orang-orang memujinya karena kebaikannya akhlaknya. Kemudian timbullah keinginan yang besar untuk mengenalnya lebih dekat. Kita mendengarkan para ulama bertutur tentang orang baik tersebut. Kita juga membaca tulisan tentang perjalanan hidup beliau. Sehingga semakin dekatlah kita kepadanya, dan kita merasa yakin bahwa apa yang disampaikannya adalah kebenaran yang datangnya dari Allah Swt.

Orang baik tersebut adalah Rasulullah Saw. Namanya disebut oleh berjuta-juta orang sebagai nama orang yang terpercaya, berakhlak baik lagi terpuji. Hanya orang-orang yang suka berbuat jahat dan berhati dengki saja yang tidak menyukainya. Hal ini adalah sunnatullah. Karena, orang yang baik akan dikumpulkan bersama orang yang baik pula. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.” Dan sabdanya yang lain menyebutkan, “Umat Islam tidak mungkin bersepakat dalam kemungkaran.”

Di dalam Al-Quran disebutkan bahwa Rasulullah adalah contoh teladan terbaik (qudwah hasanah) umat manusia dan rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil alamin). Aisyah r.a. menyebut beliau sebagai “Al-Quran yang berjalan.” Karena, beliau telah mengaplikasikan seluruh isi Al-Quran dengan sempurna.

Di dalam buku ini terlihat jelas betapa kehidupan Nabi Muhammad Saw. dipenuhi dengan perjuangan. Seolah saya tidak melihat Nabi berleha-leha. Nabi terus berjuang dan berjuang hingga maut memisahkan beliau. Inilah yang hebat dari sosok Nabi. Saya pun bertanya di dalam hati, apakah yang menyebabkan Nabi Muhammad begitu dan senantiasa bersemangat dalam berjuang? Dari satu perang ke perang berikutnya sangat pendek jaraknya, belum lagi kesibukan beliau dalam berdakwah dan memberi fatwa. Pertanyaan inilah yang seharusnya kita jawab. Perjuangan adalah ujung dari sebuah proses. Bagaimana Nabi memulai proses itu?   

Jika seorang ulama atau orang saleh dijadikan teladan, itu baik bagi kita. Tapi, tidak ada teladan yang lebih sempurna selain daripada Rasulullah Saw. Karena Rasulullah Saw adalah utusan Allah, yang langsung mendapat bimbingan Allah. Jika beliau melakukan tindakan yang keliru, maka Allah langsung menegurnya. Selain itu, beliau juga terus-menerus dibimbing-Nya ke jalan yang lurus, sehingga beliau banyak bertaqarub kepada Allah melalui ibadah amaliah dan setan tidak mampu membelokkan ajarannya atau menyimpangkan pemikiran dan tingkah lakunya.

Orang-orang dikenal karena kesalehannya karena mereka adalah pengikut setia Rasulullah Saw. Kesalehan mereka bersumber dari risalah yang disampaikan Rasulullah Saw. Jika tidak demikian, tentu banyak orang yang mengaku-ngaku sebagai orang yang saleh. Mereka mengatakan sebagai orang yang saleh, tetapi sangat sedikit yang ia ketahui tentang diri Rasulullah Saw.  Jika tidak mengikuti (ittiba’) Rasulullah Saw, mereka pasti mengambil ajaran selain yang beliau sampaikan. Sedangkan Rasulullah Saw mengatakan bahwa keselamatan hidup di dunia dan akhirat hanya ada jika manusia mengikuti Al-Quran dan Al-Hadits. Artinya, pemikiran, akhlak, dan ibadah mereka menyimpang. Dan, kehidupan mereka pun jauh dari keselamatan.

Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mempelajari sejarah kehidupan Rasulullah Saw. Dengan cara itu, kita akan dapat mengambil pelajaran dan gambaran yang utuh dari akhlak, dakwah, ibadah, dan syariat yang beliau sampaikan. Buku ini mengajak pembaca untuk menelusuri jejak kehidupan Rasulullah. Buku ini memiliki kelebihan di banding buku sejenis lainnya. Di antara kelebihan itu adalah, buku ini meraih penghargaan tertinggi dari lembaga Islam terkenal di Arab Saudi, Rabithah Alam Islami. Dengan penghargaan ini, berarti telah mendapat pengakuan dari dunia internasional.

Kelebihan lainnya dari buku ini adalah dimuatnya peta-peta penyebaran Islam, peta pertempuran, dan peta Arab di zaman Rasulullah Saw. Peta-peta tersebut diambil dari kitab Sirah Khatamil Mursalin karya Abdul Jamal Abdul Hadi Muhammad Mas’ud dan buku Atlas Sejarah Islam karya Dr. Husain Mu’nas. 

Minggu, 27 Mei 2012

Bagaimana Cara Mengendalikan Kemarahan?


Siapapun diri kita pasti pernah marah. Marah kepada istri, marah kepada anak, marah kepada kedua orangtua kita, marah kepada saudara kita, marah kepada teman-teman kita, bahkan marah kepada diri kita sendiri. Marah pada satu sisi adalah hal yang lumrah selama tidak berlebihan dan mudah dikontrol. Namun di antara kita ada yang kesulitan dalam mengendalikan marah, sehingga yang keluar dalam dirinya perkataan yang menghina dan kasar atau perbuatan tercela seperti membanting barang, dan sebagainya. 

Imam Ibnu Qudamah berkata, ketahuilah bahwa marah itu merupakan bara dari api neraka. Selagi manusia disusupi marah, berarti dia disusupi setan, yang pernah berkata, "Engkau ciptakan saya dari api sedang Engkau ciptakan dia dari tanah." (QS. Al-A’raf: 12).

Sifat keadaan tanah adalah diam dan tenang, sedangkan sifat keadaan api membara, menyala, bergerak-gerak dan meliuk-liuk. Di antara dampak yang diakibatkan marah adalah iri dan dengki. Di antara hal yang menunjukkan celaan terhadap marah adalah sabda Nabi Saw. kepada seseorang yang berkata kepada beliau, “Berilah aku nasihat!” Maka beliau bersabda, “Janganlah engkau suka marah.” Beliau mengulanginya hingga beberapa kali. Hal ini menunjukkan betapa sangat berbahayanya marah bagi jiwa.

Imam Nawawi rohimahulloh mengatakan, “Makna jangan marah yaitu janganlah kamu tumpahkan kemarahanmu. Larangan ini bukan tertuju kepada rasa marah itu sendiri. Karena pada hakikatnya marah adalah tabi’at manusia, yang tidak mungkin bisa dihilangkan dari perasaan manusia.”

Dalam sabdanya tang lain disebutkan, "Orang yang kuat itu bukanlah karena bergulat, tetapi orang yang kuat itu ialah yang dapat menguasai diri saat marah." (HR. Bukhari dan Muslim)

Diriwayatkan dari Ikrimah tentang firman Allah, "Menjadi ikutan dan menahan diri." (QS. Ali Imran: 39), “Artinya dapat menahan diri saat marah dan tidak lepas kontrol.”

Hakikat amarah adalah darah di dalam hati yang mendidih karena mencari pelampiasan. Selagi seseorang marah, maka api amarahnya berkobar dan membuat darah di hatinya mendidih, lalu menyebar ke seluruh nadi dan naik ke seluruh badan, sebagaimana air yang naik ketika mendidih. Karena itu wajah, mata dan raut mukanya terlihat memerah. Semua itu mencerminkan merah darah yang tersembunyi di baliknya, seperti kaca bening yang memperlihatkan apa yang ada dibaliknya. Darahnya mulai turun jika marahnya tertumpah kepada orang lain dan dia pun merasa tenang kembali.

Selagi api amarah semakin kuat berkobar, maka ia akan membuat orangnya menjadi buta dan tuli untuk mendengarkan nasihat. Sebab amarahnya itu sudah naik ke otak dan menutupi inti pikirannya, yang boleh jadi juga akan menutupi inti indera, hingga mata menjadi gelap, tidak bisa melihat apa-apa, dunia terasa kelam dalam penglihatannya. Otaknya pun seperti lorong gua yang sempit, yang di dalamnya dinyalakan api yang berkobar-kobar, hingga udaranya pun menjadi hitam, panas dan penuh dengan asap. Kalau pun di dalamnya hanya ada pelita yang kelap-kelip, tentu ia akan cepat padam. Siapa yang ada di dalamnya tentu tidak kuat bertahan lama, tidak bisa mendengar kata-kata secara jelas, tidak bisa melihat gambaran sesuatu secara jelas, tidak mampu memadamkan api. Begitu pula yang terjadi dengan hati dan otak. Jika marah benar-benar menggelegak, orang lain pun bisa dibunuhnya.

Tanda-tanda marah yang bisa dilihat adalah adanya perubahan rona, anggota badan gemetaran, tingkah laku tidak terkontrol, muncul tindakan yang aneh-aneh dan ada kemiripan dengan tingkah polah orang yang gila. Andaikan orang yang sedang marah melihat keadaan dirinya saat marah itu di cermin, tentu dia akan mengolok-olok dirinya sendiri. Padahal keburukan batin itu lebih besar tingkatannya.

Apakah kita tidak boleh marah? Marah tidak diharamkan secara mutlak. Yang diharamkan adalah ketika kita tidak mampu mengendalikannya. Sehingga yang keluar kemudian keburukan dalam dirinya. Di samping itu ada marah yang diperbolehkan. Yaitu marah karena Allah dan Rasul-Nya. Marah ketika agama Allah dihina dan dilecehkan. Maka kita pun tergerak untuk memperbaikinya dan melenyapkan segala bentuk kebatilan sesuai dengan apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan. Rasulullah Saw. tidak pernah marah jika celaan hanya tertuju pada pribadinya dan beliau sangat marah ketika melihat atau mendengar sesuatu yang dibenci Allah maka Beliau tidak diam, beliau marah dan berbicara.

Ketika Nabi Saw. melihat kelambu rumah Aisyah ada gambar makhluk hidupnya (yaitu gambar kuda bersayap) maka merah wajah Beliau dan bersabda: "Sesungguhnya orang yang paling keras siksaannya pada hari kiamat adalah orang membuat gambar seperti gambar ini." (HR. Bukhari Muslim)

Nabi Saw. juga marah terhadap seorang sahabat yang menjadi imam shalat dan terlalu panjang bacaannya dan beliau memerintahkan untuk meringankannya. Tetapi Rasulullah Saw. tidak pernah marah karena pribadinya. Al Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits Anas Ra.: "Anas membantu rumah tangga Rasulullah Saw. selama 10 tahun, maka tidak pernah beliau berkata kepada Anas: "ah", sama sekali. Beliau tidak berkata terhadap apa yang dikerjakan Anas: "Mengapa kamu berbuat ini." Dan terhadap apa yang tidak dikerjakan Anas: "Tidakkah kamu berbuat begini." (HR. Bukhari dan Muslim)

Al Imam Ath Thabari rahimahullah meriwayatkan hadits Anas: Tiga hal termasuk akhlak keimanan yaitu: orang yang jika marah kemarahannya tidak memasukkan ke dalam perkara batil, jika senang maka kesenangannya tidak mengeluarkan dari kebenaran dan jika dia mampu dia tidak melakukan yang tidak semestinya."

Maka wajib bagi setiap muslim menempatkan nafsu amarahnya terhadap apa yang dibolehkan oleh Allah Swt., tidak melampaui batas terhadap apa yang dilarang sehingga nafsu dan syahwatnya menyeret kepada kemaksiatan, kemunafikan apalagi sampai kepada kekafiran.

Kesempatan baik ini untuk melatih diri kita menuju sifat kesempurnaan dengan menghilangkan sifat pemarah dan berupaya menjadi orang yang tidak mudah marah. 

Lantas, bagaimana cara mengatasi kemarahan agar dapat kita kendalikan? Pertama, membaca ta'awudz. Yaitu membaca Audzubillahiminasy syaithanirrajiim. Ada dua orang saling mencela di sisi Nabi Saw. dan kami sedang duduk di samping Nabi Saw.. Salah satu dari keduanya mencela lawannya dengan penuh kemarahan sampai memerah wajahnya. Maka Nabi Saw. bersabda: "Sesungguhnya aku akan ajarkan suatu kalimat yang kalau diucapkan akan hilang apa yang ada padanya. Yaitu sekiranya dia mengucapkan: 'Audzubillahiminasy syaithanirrajiim'." 

Kedua, mengetahui keutamaan dari mengendalikan marah. Misalnya dengan merenungkan  keutamaan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi yang berkaitan dengan sabar dan mengendalikan kemarahan berikut ini: 
1. Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Anas Al Juba'i , bahwa Rasulullah Saw. bersabda: "Barangsiapa yang mampu menahan marahnya padahal dia mampu menyalurkannya, maka Allah menyeru pada hari kiamat dari atas khalayak makhluk sampai disuruh memilih bidadari mana yang mereka mau." (HR. Ahmad) 

2. Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw. bersabda : "Tidaklah hamba meneguk tegukan yang lebih utama di sisi Allah Swt., dari meneguk kemarahan karena mengharap wajah Allah Swt." (HR. Ahmad) 

3. Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari seseorang dari sahabat Nabi Saw., dia berkata: Aku berkata: "Ya Rasulullah Saw., berwasiatlah kepadaku." Beliau bersabda: "Jangan menjadi pemarah." Maka berkata seseorang: "Maka aku pikirkan apa yang beliau sabdakan, ternyata pada sifat pemarah itu terkumpul seluruh kejelekan." (HR. Imam Ahmad)

Mengomentari hadits ini,  Ibnu Ja'far bin Muhammad Rahimahullah berkata: "Marah itu pintu seluruh kejelekan."

Imam Ahmad menafsirkan hadits ini dengan mengatakan: Akhlak yang mulia itu dengan meninggalkan sifat pemarah.

Imam Ibnu Rajab menerangkan maksud hadits ini dengan mengatakan bahwa hadits ini mengandung dua kemungkinan makna: Pertama, hadits ini mengandung perintah melakukan sebab-sebab yang menjadikan akhlak yang mulia seperti bersikap lembut, pemalu, tidak suka mengganggu, pemaaf, tidak mudah marah. Kedua, hadits ini mengandung larangan melakukan hal-hal yang menyebabkan kemarahan, mengandung perintah agar sekuat tenaga menahan marah ketika timbul/berhadapan dengan penyebabnya sehingga dengan demikian dia akan terhindar dari efek negatif sifat pemarah.

Ketiga, dengan merubah posisi. Bila posisi semula berdiri, maka hendaklah kita duduk. Bila duduk, hendaklah berbaring. Dengan cara itu, mudah-mudahan mampu meredam emosi kita yang sedang naik. Rasulullah Saw. bersabda, "Apabila salah seorang diantara kalian marah dalam keadaan berdiri duduklah, jika belum hilang maka berbaringlah." (HR. Ahmad dan Abu Dawud) Hal ini karena marah dalam berdiri lebih besar kemungkinannya melakukan kejelekan dan kerusakan daripada dalam keadaan duduk. Sedangkan berbaring lebih jauh lagi dari duduk dan berdiri.

Keempat, dengan diam. Rasulullah Saw. bersabda, "Apabila di antara kalian marah maka diamlah." Beliau ucapkan tiga kali. (HR. Ahmad) Diam tidak berbicara ketika marah merupakan obat yang mujarab untuk menghilangkan kemarahan, karena banyak berbicara dalam keadaan marah tidak bisa terkontrol sehingga terjatuh pada pembicaraan yang tercela dan membahayakan dirinya dan orang lain.

Kelima, dengan berwudhu. "Sesungguhnya marah itu dari setan dan setan itu dicipta dari api, dan api itu diredam dengan air maka apabila diantara kalian marah berwudhulah." (HR. Ahmad)

Keenam, rajin berpuasa. Puasa adalah ibadah yang mengarahkan jiwa kita untuk bersabar. Di dalam puasa, nafsu diredam sedemikian rupa sehingga yang hadir adalah ketenangan, kesabaran, dan sifat lemah lembut. Rasulullah Saw. bersabda: "Bukanlah puasa itu sekedar menahan makan dan minum. Sesungguhnya puasa itu (adalah puasa) dari perbuatan keji dan sia-sia. Apabila ada orang yang mencelamu atau membodohimu maka katakanlah: sesungguhnya aku sedang berpuasa, sesungguhnya aku sedang berpuasa." (HR. Ibnu Huzaimah dengan sanad shahih)

Kemarahan yang tidak terkendali membuat pelakunya menjadi hina di mata orang lain. Ketika si pemarah harus memulihkan keadaan seperti sediakala, dia harus meminta maaf terlebih dahulu dan itu pun masih ada kemungkinan orang yang dimarahi masih menyimpan dendam dan marah. Apalagi bila si pemarah tidak meminta maaf, permusuhan masih saja akan berkobar walaupun secara lisan orang yang dimarahi tidak menunjukkan permusuhan itu. Tetapi ketika si pemarah mendapat celaka, orang yang dimarahi merasa gembira, dan hatinya berkata, “Rasakanlah akibat kemarahanmu kepadaku!”

Segala puji bagi Allah yang telah mengutus Rasul-Nya. Dan, dengan lisan Rasul-Nya telah memberikan kepada kita kiat-kiat ampuh agar kita mampu keluar dari penyanderaan amarah.