Minggu, 26 Mei 2013

Dengan Keledai, Dia Menggetarkan Lawan

Pasukan Romawi terperangah, terkejut sekaligus terpesona. Mereka tidak pernah menyangka sebelumnya orang yang mengendarai keledai dihadapan mereka adalah pemimpin kaum muslimin. Yang mereka rasakan adalah kewibawaan yang terpancar dari wajah dan gerak-geriknya. Kemudian orang tersebut mengambil alih kunci kekuasaan Al-Quds dari tangan mereka. 

Siapa orang ini? Mengapa dia disegani kawan dan ditakuti lawan? Yang ada dibayangan mereka Kaisar-kaisar Romawi yang mengendarai kereta kuda dan berpakaian mewah. Tapi ini? Mereka tidak habis pikir. Kekuasaan mereka jatuh ditangan seorang penunggang keledai yang berpakaian sangat sederhana. Rasa-rasanya tidak mungkin. Tapi itulah kenyataan. Ini seperti era baru yang mengubah paradigma yang sudah ada sebelumnya. Atau katakanlah kesederhanaan itu tidak ada dalam diri seorang pemimpin atau raja.

Siapakah pemimpin kharismatik itu? Dia tidak lain adalah Umar bin Khaththab - semoga Allah meridhainya - yang telah menghadirkan salah satu teladan kepemimpinan di dalam Islam. Umar telah mencotohkan kepada kita, kekuatan Islam bukan terletak pada harta duniawi tapi pada hati yang bersemayam dalam diri. Seringkali kata-kata yang singkat lebih mengena daripada hamburan kata-kata yang tak bermakna. Seringkali tindakan lebih terasa menyentuh hati daripada sekedar ungkapan yang tak bermutu.

Abdurrahman bin Zubair bercerita tentang apa yang ia dengar dari ayahnya, “Tatkala Ciprus ditaklukkan oleh kaum muslimin, tiba-tiba mereka banyak yang menangis. Aku melihat Abu Darda duduk menangis sendirian. Aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Abu Darda, apa yang membuatmu menangis di hari Allah memuliakan Islam dan pemeluknya?’ Ia berkata, ‘Celaka kamu wahai Zubair, betapa hinanya makhluk di sisi Allah jika mereka mengabaikan perintah-Nya. Kamu tahu mereka sebelumnya adalah umat yang kuat dan pemenang, akan tetapi karena mereka meninggalkan perintah Allah, maka kamu lihat seperti apa mereka sekarang’.

Untukku dan bagimu teman, semoga semua ini menjadi pelajaran; menjadi cermin hati. Bila selama ini kita mengejar kekuasaan dengan menggunakan perangkat-perangkat duniawi, lantas apa bedanya kita dengan orang lain yang sama-sama mencari kekuasaan. Kita dengan mereka pada hakikatnya sama hanya saja kita membumbuinya dengan pemanis buatan atas nama agama.

Ketika Kekerasan Dianggap Wajar


Istri saya sering menegur saya ketika saya menyaksikan tayangan kekerasan di TV sementara anak saya berada di sebelah saya ikut menyaksikannya. Awalnya saya menganggap tayangan itu biasa-biasa saja. Hingga pada suatu hari saya menyadari kekeliruan saya itu. Yaitu setelah saya membaca sebuah buku berjudul High Tech High Touch karya John Naisbitt. Bagi saya buku ini sangat menggugah dan mencerahkan. Naisbitt bagai seorang filsuf yang membedah masalah kemanusiaan, agama, sains dan teknologi dalam satu kesatuan. 

Dibuku itu dijelaskan tentang Zona Mabuk Teknologi. Naisbitt menjelaskan beberapa poin penting masalah ini. Salah satunya adalah menganggap wajar kekerasan. Ketika kita menyaksikan tayangan kekerasan tanpa ada rasa bersalah, tanpa ada keinginan kuat untuk menghindarinya, tanpa memedulikan betapa lingkungan turut serta menyaksikannya, berarti kita sudah terperangkap dalam zona mabuk teknologi.

Pada suatu hari kita menyaksikan tawuran antar pelajar. Kita berkata dalam hati, itu hal yang biasa; lumrah di zaman modern ini, berarti kita sudah terjebak dalam zona mabuk teknologi. Namanya juga mabuk, maka hal positif bisa dipandang negatif dan hal negatif bisa dipandang positif. Hingga pada suatu ketika hati kita menganggap semua itu adalah hal yang wajar-wajar saja. 

Ketika kekerasan dianggap wajar, maka wajar pula kita melakukan kekerasan. Sebagai contoh, anak yang sering menyaksikan kekerasan, menurut sebuah penelitian, anak akan melakukan tindak kekerasan pada orang lain. Ia belajar dari pengalaman kemudian bereaksi sesuai yang ia pelajari. 

Studi dalam Ilmu Komunikasi telah mencatat beberapa penelitian dan teori dalam menjelaskan keterkaitan antara kekerasan di televisi dan pengaruhnya terhadap anak-anak. Albert Bandura melalui teori Social Learning and Social Cognitive telah melakukan penelitian eksperimental terhadap dua kelompok anak. Bandura mengumpulkan satu kelompok anak di dalam satu ruangan, dimana di dalamnya anak-anak dapat menonton televisi yang didesain memutar tayangan kekerasan, mereka menyediakan pula boneka yang disebut “Bobo Doll”

Kelompok anak yang lain mendapat satu ruangan dimana di dalamnya ada televisi, tetapi isinya tidak memutar tayangan kekerasan. Setelah beberapa waktu, pengamatan menunjukkan bahwa anak-anak pada kelompok pertama bereaksi dengan memukul “Bobo Doll” tersebut, seperti yang mereka lihat di televisi. Sementara pada kelompok kedua, anak-anak tidak menunjukkan reaksi seperti pada kelompok pertama.

Berdasarkan hasil penelitian eksperimental ini Bandura menyimpulkannya bagaimana kita belajar dari pengalaman langsung seperti halnya dari pengamatan atau permodelan. Dalam hal ini anak-anak telah belajar langsung berdasarkan pengamatan dan model yang mereka lihat di televisi. Saat mereka mengamati dan menyaksikan model di televisi melakukan kekerasan, anak-anak cenderung untuk melakukannya.

Hidayah Itu Mahal, Harus Dijaga Baik-Baik

Saya melihat perubahan yang begitu besar pada diri sahabat saya. Dia dulu pemuda yang jauh dari agama, jarang melaksanakan kewajiban agama, dan sering berkata kasar pada orang lain termasuk teman-temannya. Tapi kini, yang saya lihat adalah pemuda saleh dengan pancaran cahaya kekhusyuan dan kelembutan di wajahnya. Saat azan berkumandang malah dia yang pertama kali mengajak saya untuk shalat berjamaah di masjid. Tampaknya dia selalu seperti itu; bergegas memenuhi kebaikan ketika Allah memanggilnya. Ketika saya bertanya, mengapa dia begitu cepat memenuhi panggilan Allah? Apa jawabnya? "Hidayah itu mahal. Maka harus dijaga baik-baik."

Subhanallah, kata-kata itu sering terngiang dalam benak saya. Betapa banyak orang yang paginya ahli taat, sorenya berubah menjadi ahli maksiat lantaran tidak segera memenuhi panggilan Allah.Tidak segera mengisi waktu-waktunya dengan kebaikan agar ia mampu berbuat kebaikan di menit-menit, jam-jam, dan hari-hari berikutnya.

Ketika kita sudah masuk ke dalam hidayah itu maka hidup yang kita jalani terasa lebih bermakna, mudah, dan indah. Kita akan merasakan manisnya iman ketika kita istiqomah di dalamnya. Walaupun kadang k,ita perlu kerja keras untuk melawan tuntutan hawa nafsu. Tapi setelahnya adalah nikmat yang dirasakan. Berbeda bila hawa nafsu yang dikerjakan, awalnya senang tapi akhirnya menyedihkan dan menyengsarakan.

Allah Swt. berfirman, “Allah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Baqarah: 213)

Artinya, tidak semua manusia meraih hidayah itu. Di sekeliling kita ada orang Nasrani, Yahudi, dan agama-agama kafir lainnya. Bersyukurlah kepada Allah Dia telah memasukkan kita dalam agama-Nya. Di sekeliling kita juga ada orang-orang yang jauh dari agama, senang berbuat maksiat, bersyukurlah kepada Allah hingga kini, dan kita berharap sampai mati, kita berada di jalan yang lurus walau memiliki kekurangan yang ada pada diri kita sendiri.

Allah Swt. dan Rasul-Nya telah mengajarkan kepada kita betapa pentingnya kita berada dalam hidayah-Nya. Di dalam shalat, minimal kita 17 kali memohon hidayah kepada Allah. Bila ditambah shalat sunnah, maka akan lebih dari itu. Bunyinya:

اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ

“Tunjukilah (berilah hidayah) kami kepada jalan yang lurus.” (Al-Fatihah: 6)

Dalam QS. Ali Imran: 8 juga disebutkan doa agar kita tetap berada dalam hidayah Allah:

رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ

Rabbana laa tuzigh qulubana ba'da idz hadaitana wahablana mil ladunka rahmah innaka antal wahhab. "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu; karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi karunia."

Rasulullah Saw. sering membaca doa ini:

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

Ya Muqollibal qulub tsabbit qolbi alaa diinik. "Wahai Tuhan Yang Membolak-balikkan hati, tetapkan hati ini di atas agama-MU."

Imam Ibnu Katsir berkata: "Allah Swt. membimbing hamba-hamba-Nya untuk meminta hidayah, karena setiap insan membutuhkannya siang dan malam. Seorang hamba butuh kepada Allah setiap saat untuk mengokohkannya di atas hidayah, agar hidayah itu bertambah dan terus-menerus dimilikinya. Karena seorang hamba tidak dapat memberikan kemanfaatan dan tidak dapat menolak kemudaratan dari dirinya, kecuali apa yang Allah kehendaki. Allah pun membimbing si hamba agar di setiap waktu memohon kepada-Nya pertolongan, kekokohan, dan taufik. Orang yang bahagia adalah orang yang diberi taufik oleh Allah untuk memohon hidayah, karena Allah telah memberikan jaminan untuk mengabulkan permintaan orang yang berdoa kepada-Nya di sepanjang malam dan di pengujung siang. Terlebih lagi bila si hamba dalam kondisi terjepit dan sangat membutuhkan bantuan-Nya. Ini sebanding dengan firman-Nya:

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya…” (An-Nisa’: 136)

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan orang-orang yang telah beriman agar tetap beriman. Ini bukanlah perintah untuk melakukan sesuatu yang belum ada, karena yang dimaukan dengan perintah beriman di sini adalah hasungan agar tetap tsabat (kokoh), terus-menerus dan tidak berhenti melakukan amalan-amalan yang dapat membantu seseorang agar terus di atas keimanan.