Rabu, 29 Februari 2012

Hiburan Allah untuk Orang yang Sedang Sakit (1)

Pengantar

Saya mempunyai seorang teman yang menderita penyakit LUPUS. Penyakit Lupusdiduga berkaitan dengan sistem imunologi yang berlebih. Tubuh memiliki kekebalan untuk menyerang penyakit dan menjaga tetap sehat. Namun, anehnya justru imunitas itu malah menyerang organ-organ tubuhnya. Penyakit ini tergolong misterius. Para dokter kadang bingung mendiagnosa penyakit ini. Hingga saat ini belum ditemukan obat yang manjur untuk mengatasinya.

Sudah empat tahun lamanya dokter memvonisnya dengan penyakit itu. Pernah selama satu bulan lamanya dia harus dirawat di rumah sakit. LUPUS itu menyerang ginjalnya. Tubuhnya membengkak karena fungsi ginjal terganggu. Dia harus diberi obat dieuretik agar dapat membantu mengeluarkan cairan berlebih yang ada dalam tubuhnya. Bila sudah minum obat itu, beberapa menit sekali pasti buang air kecil hingga dia merasa kelelahan. Tidak hanya itu, di wajahnya terdapat ruam-ruam merah pertanda Lupusnya sedang aktif.

Setelah keluar dari rumah sakit, dia masih harus minum obat dieuretik itu dan obat-obat yang lain. Dalam sehari semalam bisa minum dua puluh hingga tiga puluh enam butir! Bila tidak diminum, tubuhnya mulai merasa sakit. Persendian terasa linu. Tubuhnya mulai membengkak lagi. Ada perasaan lelah di hatinya karena harus minum obat yang banyak itu setiap hari meskipun kini dosis obat sudah mulai berkurang. Ada perasaan putus asa, kapankah dirinya sembuh? Apakah semua ini merupakan azab Tuhan bagi dirinya? Emosinya menjadi labil. Sering marah-marah tanpa sebab, menangis sendiri karena merasa orang-orang pasti menjauhinya, dan merasa kasihan dengan orang-orang sekitarnya yang terus-menerus membantunya sementara dia sendiri tidak berdaya, apalagi membantu mereka.

Saya merasa terpanggil untuk membantu teman saya ini. Sebagai seorang penulis, saya bisa menghiburnya dengan tulisan yang saya buat. Mudah-mudahan dengan tulisan itu, dia semakin termotivasi untuk menjalani kehidupannya. Saya berdoa semoga Allah memberikan kesembuhan kepadanya. Semoga diberi kesabaran. Semoga penyakitnya itu menjadi penggugur dosa-dosanya.Mudah-mudahan tulisan itu bermanfaat bagi mereka yang sedang sakit di manapun mereka kini berada. Allahumma a’inni ala dzikrika wa syukrika wa husni ibadatik.

Abu Farras Mujahid

———————-

Betapa banyak orang yang sebelumnya kuat dan sehat tiba-tiba menjadi lemah. Betapa banyak wanita yang sebelumnya cantik menjadi buruk rupa. Karena terserang suatu penyakit.

Betapa banyak orang menjadi miskin karena hartanya terkuras habis untuk mengobati penyakitnya yang berkepanjangan.

Semua itu realitas yang tidak bisa kita pungkiri. Apatah lagi mengecam dan menghina. Kita menyaksikannya di rumah-rumah sakit, di gubuk derita hingga rumah-rumah mewah, di hotel sederhana hingga berbintang lima.

Bagi mereka yang menyaksikannya hendaklah memandang dengan rasa bersyukur. Bila sehat, dia bersyukur bahwa ternyata Allah masih memberi kesehatan kepadanya. Bagi mereka yang sakit, ternyata ada orang yang jauh lebih menderita dari dirinya dan ia pun bersyukur karenanya. Bagi mereka yang miskin harta, bersyukur atas karunia Allah yang telah diberikan-Nya setelah melihat orang kaya terbaring lemah seolah tak berharga. Dia masih memiliki nikmat, yaitu nikmat sehat. Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?

***

Bagaimana kita bisa menerima itu dengan sabar dan syukur jika hanya diam membisu dan mata tertutup dari kebenaran? Bagi mereka yang sakit hanya bisa menangis dan meringis. Hingga kemudian mati dalam keputus asaan. Sedangkan bagi mereka yang sehat, tidak sedikit pun pernah mau mengambil pelajaran. Kedua kelompok ini adalah orang yang telinga, mata, mulut, hati, telinga, dan kakinya tidak digunakan di jalan yang Allah ridhai.

Kembalilah kepada hukum Allah. Kembalilah kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Itulah kuncinya. Keduanya ibarat perahu Nabi Nuh As. Siapa yang menaikinya, maka dia akan selamat dan bahagia.

Para Nabi dan orang-orang beriman telah mengikuti jalan-Nya. Mereka itu contoh teladan yang dapat kita petik pelajaran.

Mari menatap ke depan dengan layar terkembang penuh harapan. Sesungguhnya hari esok pasti lebih baik daripada hari-hari sebelumnya. Ombak badai menghantam, di tepian sana ada daratan. Naikilah perahu ini agar meraih keselamatan.

***

Iman adalah kekuatan bagi seorang mukmin. Bahkan dia lebih hebat daripada senapan mesin di medan jihad seperti Palestin. Meskipun mereka bersenjatakan ketapel tapi berani menyongsong tank baja Mirkava. Dengan iman seorang mujahid rela berkorban. Apa yang dia ketahui? Ya, masa depan. Nun jauh di sana tapi dekat di hati, ada surga untuk mereka, ada Allah yang akan menolong mereka, ada bidadar-bidadari yang tersenyum menyambut mereka, ada kemuliaan yang sedang menanti mereka.

Bagaimana kalian bisa hidup tanpa iman? Karena akhirnya kalian tidak punya tujuan. Berjalan ke sana kemari tak tentu arah. Menganggap ada padahal fatamorgana.

Manusia tanpa iman tidak paham jika Tuhan sedang memandangnya. Tidak memahami mengapa musibah ini terjadi. Yang dia inginkan hanya keluar dari kesulitan, entah bagaimana caranya!

Manusia tanpa iman tidak berdoa, karena menganggap hasil yang ada adalah dari kerja kerasnya semata.

Ketika penyakit tak kunjung sembuh, apakah yang muncul kemudian adalah keputus asaan? Ya, demikian kata Nabi Ibrahim ketika Allah menguji mereka dengan berbagai cobaan. Orang beriman mempercayai apa yang tidak dipercayai orang selainnya. Yaitu, Allah Tuhan mereka Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Bijaksana, Maha Adil, dan Maha Berkehendak. Tidaklah heran bila Allah mengangkat kemandulan istri Zakaria di usia tua. Lalu Dia memberinya Yahya. Nabi penerus sang ayah tercinta. Tidaklah heran bila Allah mengangkat penyakit Ayyub saat tangan-tangan tabib tak mampu mengobati. Tidaklah heran bila Allah menyembuhkan berbagai penyakit. Hal ini terpampang dengan jelas dalam sejarah. Aneh tapi nyata.

Wahai Bilal, engkau berkulit hitam legam. Nenek moyangmu dari negeri Afrika. Siapa engkau dulu sebelum beriman, sebelum menjadi muadzin di Masjid Kenabian? Ah, engkau hanya budak belian. Tidak dikenal dan dilupakan!

Iman mengangkatmu mulia wahai Bilal! Iman telah bersemayam dalam jiwamu wahai Bilal, bersamaan dengan himpitan batu yang menyesakkan dada. Bersamaan dengan panasnya terik sahara. Bersamaan dengan cambuk majikanmu, Umayyah!

Wahai Umar, siapakah engkau sebelum ada iman? Bukankah engkau dulu hanya seorang preman? Tapi kini menjadi pemimpin orang-orang beriman. Ya, iman telah membimbingmu menuju cahaya-Nya yang terang benderang. Keluar dari kemungkaran menuju kemuliaan. Dari kebengisan menuju kadilan. Dari kemarahan menuju kelembutan.

Wahai sahabat, siapa bilang hidupmu terhina karena sakit di pembaringan? Hidupmu mulia dengan iman. Harta kekayaan dan jabatan bukanlah patokan, apakah engkau hina atau bukan. Tetapi iman. Meskipun engkau berada di pembaringan. Atau berada di rumah yang sangat sederhana. Selama masih ada iman, itulah kemuliaan.

Teman yang Tidak Pernah Meminta, Tetapi Selalu Ingin Memberi

Saya mengoleksi beberapa buku rujukan, seperti Mukhtashar Shahih Bukhari karya Imam Az-Zabidi, Mukhtashar Shahih Muslim karya Imam Al-Mundziri, Mukhtashar Minhajul Qashidin karya Imam Ibnu Qudamah, Riyadhus Shalihin dan Al-Adzkar karya Imam Nawawi, Hujjatullah Balighah karya Syah Waliyullah, Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury, Tarbiyatul Aulad fil Islam karya Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Madarijus Salikin karya Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzhim karya Imam Ibnu Katsir, Tafsir Fidzilalil Qur’an karya Sayyid Quthb, dan Shaidul Khatir karya Imam Ibnu Al-Jauzy.

Setiap ada pameran buku, setidaknya setahun 4 kali, saya selalu membeli beberapa judul buku. Saya beruntung memiliki buku-buku itu. Ketika saya membacanya, buku-buku itu memberikan kesejukan pada batin saya dan mendorong saya untuk segera beramal.

Ketika saya malas membaca, pasti ada sesuatu yang salah pada diri saya. Kalaupun membaca pada saat kondisi seperti itu, hati terasa hambar tak bermakna. Mengapa bisa demikian? Karena buku-buku it mengajak saya untuk berbuat kebaikan dan memerintahkan saya menjauhi kemaksiatan, sementara hati saya menekankan yang sebaliknya. Imam Ibnu Qudamah dalam kitab Mukhtashar Minhajul Qashidin berkata, “Hati yang sakit terlihat dari ketidakmampuannya melaksanakan tugas khusus yang karenanya ia diciptakan, yaitu ilmu, hikmah, ma’rifat, mencintai Allah, dan beribadah kepada-Nya serta mementingkan semua ini daripada setiap bisikan nafsu.”

Allah mendekatkan buku-buku itu dalam hati saya ketika saya berada dalam keadaan khusyu, tenang, dan jauh dari kebisingan duniawi. Imam Ibnu Qudamah menekankan betapa pentingnya kaum muslimin mempelajari ilmu yang berkaitan dengan amal yang merusak sekaligus amal yang memperbaiki kehidupan dunia dan akhiratnya.

Buku-buku itu ibarat cahaya yang kemilaunya menyentuh hati. Ia tidak mungkin menyatu dalam hati orang-orang yang senantiasa berbuat maksiat. Sebuah kisah menceritakan hal ini. Imam Malik merasa kagum dengan kecerdasan dan kekuatan hafalan Syafi’i, muridnya. Beliau menasihati Syafi’i agar senantiasa menjauhi kemaksiatan agar kecerdasan dan kekuatan hafalan itu selalu terjaga.

Ambillah buku-buku yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratmu. Jadikanlah ia sebagai teman sejatimu. Engkau akan temukan dia sebagai pengobar semangat, semakin mendekatkanmu pada Tuhan, pahala yang terus-menerus mengalir, dan wawasan yang semakin bertambah. Dengarlah petuah Al-Jahizh, seorang ilmuwan Islam dan ahli zoologi ternama yang lahir pada abad ke-9 Masehi ini: “Buku adalah teman yang tidak akan menamparmu, tidak akan menipumu, tidak akan membosankanmu, dan tidak akan membuat engkau gelisah. Buku adalah seorang tetangga yang tidak mengganggumu. Buku juga seorang sahabat yang tidak memuji dengan tujuan mengurangi apa yang telah engkau punyai. Buku tidak curang kepadamu, tidak menipumu dengan kemunafikan, dan tidak melancarkan tipu daya kepadamu.”

Dr. Aidh Abdullah Al-Qarni dalam kitab La Tahzan menulis, “Engkau akan mengetahui bahwa sebulan engkau bergaul dengan buku akan lebih baik daripada engkau bergaul dengan orang seumur hidup.”

Sungguh, kebahagiaan akan engkau dapatkan jika engkau menganggap buku sebagai teman sejati. Seorang ilmuwan Islam bernama Ibnu Jahm pernah berkata, “Aku merasa mendapatkan kemenangan setiap kali aku menemukan apa yang kubutuhkan dari buku, sesuatu yang menumbuhkan kebahagiaan yang sejati dalam hatiku dan menghujam menyadarkanku. Dentumannya bergema melebihi ringkikan keledai dan dentuman kehancuran.”

Saya senang membaca buku. Buku adalah hari-hari saya, cinta saya, dan mata saya. Dia telah memberi kebahagiaan bagi saya, cahaya yang menyinari hati dan akal saya. Sungguh, buku telah memberikan kebaikan yang banyak untuk saya. Dia adalah teman sejati yang tidak pernah meminta, tetapi salalu ingin memberi.

Selasa, 28 Februari 2012

Dari Keterpurukan Menuju Kebangkitan

“Janganlah melawan kaidah-kaidah yang berlaku di alam ini sebab ia akan mengalahkanmu. Akan tetapi, tundukkanlah ia, manfaatkanlah ia, alihkan arusnya, dan gunakanlah sebagiannya untuk menaklukan sebagian yang lain. Setelah itu tunggulah kemenangan yang tidak lama lagi akan datang kepadamu.” (Imam Hasan Al-Banna)

Kita tidak mungkin dapat melawan badai yang besar, angin topan yang dahsyat, petir yang menggelegar, banjir bandang yang menghanyutkan, dan gempa bumi yang mengguncangkan. Kita hanya bisa menerima dan kemudian meneliti unsur-unsur yang ada di dalamnya. Setelah itu kita gunakan unsur-unsur itu untuk kemaslahatan umat manusia. Kita dapat menggunakan air, angin, petir, matahari, hingga atom sebagai pembangkit listrik. Intinya, kita dapat menggunakan apa yang ada di alam ini untuk kebaikan kita.

Saya yakin bahwa semua yang terjadi di alam ini adalah sepenuhnya anugerah Allah. Bencana, musibah, ujian, cobaan, penderitaan, dan kebahagiaan tidak pernah dan tidak akan luput dari pengamatan Allah. Rasulullah Saw. merasa kagum dengan akhlak seorang mukmin yang apabila mendapat musibah dia bersabar, dan apabila mendapat kenikmatan dia bersyukur.

Kita dapat menggunakan hinaan, cacian, dan fitnah orang lain kepada kita sebagai bagian dari energi pendorong untuk berbuat yang positif. Kita bersabar dan kita beri mereka air kesejukan di hari-hari panas mereka. Ini jauh lebih baik dan bermanfaat daripada kita menyerang mereka dengan hal yang serupa. Jala kebaikan yang kita tebarkan di tengah air sungai kemarahan dan kebencian, pada hakikatnya akan kembali pada diri kita sendiri. Orang lain akan bahagia dan kita pun akan bahagia dengan apa yang kita lakukan. Kita berhasil menjaring kemarahan dan kebencian orang-orang dan kemudian membuangnya jauh-jauh.

Sebaliknya, kenikmatan yang melimpah bukan berarti hati kita juga turut bahagia. Kenikmatan bisa menjadi bencana apabila kita tidak mau mensyukurinya. Betapa banyak orang yang mengejar harta kekayaan dan kekuasaan dengan jalan yang diharamkan-Nya. Namun, pada akhirnya berbuahkan penderitaan dan kehancuran.

Allah mencintai keindahan dan karena kecintaan-Nya itulah Dia menciptakan alam raya ini dengan sangat indah. Maha Suci Allah dari berbuat zalim kepada hamba-hamba-Nya.

Melepas Belenggu Kesempurnaan


Kebutuhan untuk menjadi sempurna dan keinginan untuk mendapatkan ketenangan batin adalah dua hal yang saling bertentangan. Bukan merasa puas dan bersyukur atas apa yang kita miliki, kita malah terpaku pada kekurangan sesuatu hal dan keinginan untuk memperbaikinya. Bila kita selalu berpikir ada yang kurang, artinya kita selalu kecewa dan tidak puas.

Ketidakpuasan itu bisa berhubungan dengan tulisan yang kita buat. Karena selalu merasa tidak puas, tulisan pun urung dipublish, padahal bisa jadi tulisan itu bermanfaat bagi orang lain. Tulisan-tulisan kita yang kita tulis bertahun-tahun lamanya, hanya menjadi tumpukan sampah yang siap di delete bila hardisk sudah penuh. Sikap untuk selalu meributkan ketidaksempurnaan akan menjauhkan kita dari peningkatan kualitas tulisan yang kita buat.

Ini bukan berarti kita harus berhenti berusaha menghasilkan yang terbaik, tetapi kita sebaiknya tidak terlihat dan terpaku pada apa yang kurang dalam karya tulis kita. Selalu ada cara yang lebih baik dalam melakukan sesuatu, tidak berarti kita tidak bisa menikmati atau menghargai cara yang sudah ada.

Pemecahannya, lepaskan diri kita sebelum terperangkap dalam tingkah laku memaksakan sesuatu yang lebih baik daripada yang sudah ada. Ingatkan diri kita bahwa karya tulis yang kita buat adalah kreativitas kita, di mana orang lain tidak memilikinya. Bahkan, meskipun orang lain meniru gaya menulis kita, tidaklah sama persis dengan gaya menulis kita. Segala sesuatu akan baik-baik saja tanpa penilaian diri kita sendiri. Begitu berhasil menghilangkan keinginan untuk menjadi sempurna, maka menulis akan menjadi suatu kenikmatan tersendiri.

Bagaimana kau akan tahu kesulitan-kesulitannya menjadi manusia
jika kau selalu terbang melayang ke langit yang penuh kesempurnaan?
Di mana kau akan menanam benih kesedihanmu?
Para pekerja membutuhkan lahan untuk dibajak dan dicangkul,
bukan angkasa yang penuh taburan hasrat
(Syair dari Jalaluddin Rumi)

Balajar Sabar dari Sang Nabi

Sikap sabar mampu menjadi salah satu senjata bagi orang beriman. Dengan kesabaran, orang beriman menjadi kokoh, kuat, dan bertindak dengan akal sehat. Dengan kesabaran, Allah bersama kita; menolong, memberikan jalan keluar dan kemudahan. Simaklah kisah teladan tentang kesabaran Nabi akhir zaman berikut ini.

Kesabaran Nabi dalam Menerima Ejekan dan Hinaan

Nabi Muhammad Saw. mengajarkan kebaikan, namun kafir Quraisy memberinya ejekan, hinaan, olokan, dan tertawaan. Mereka berkata, Hai orang yang diturunkan Al-Qur’an kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila.” (QS. Al-Hijr: 6)

“Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: ‘Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta’.” (QS. Shaad: 4)

“Dan sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar Al-Qur’an dan mereka berkata: “Sesungguhnya ia (Muhammad) benar-benar orang yang gila’.” (QS. Al-Qalam: 51)

“Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah kepada mereka?” (QS. Al-An’am: 53)

Kesabaran Nabi dalam Menghadapi Ejekan atas Ajaran-Nya

Nabi mengajarkan kebaikan, namun orang-orang kafir menjelek-jelekkan ajaran beliau, membangkitkan keragu-raguan, menyebarkan anggapan-anggapan yang menyangsikan ajaran-ajaran beliau dan diri beliau. Mereka tiada henti melakukannya dan tidak memberi kesempatan kepada orang-orang untuk menelaah dakwah beliau.

Dan orang-orang kafir berkata: “Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad dan dia dibantu oleh kaum yang lain”; maka sesungguhnya mereka telah berbuat suatu kezaliman dan dusta yang besar. (QS. Al-Furqon: 4)

Dan mereka berkata (tentang Al-Qur’an): “Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang.” (QS. Al-Furqon: 5)

Dan mereka berkata: “Mengapa rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?” (QS. Al-Furqon: 7)

Kesabaran Nabi dalam Menghadapi Halangan dalam Berdakwah

Nabi mengajarkan Al-Qur’an, namun orang-orang kafir berusaha mengimbanginya dengan berbagai macam dongengan, agar orang-orang tidak lagi mau mendengarkan Al-Qur’an.

Mereka menyebutkan bahwa setiap kali An-Nadhr bin Al-Harits berkata kepada orang-orang Quraisy, “Wahai semua orang Quraisy, demi Allah, telah datang suatu urusan yang kalian belum juga mencari alasan untuk menghadapinya. Muhammad adalah seorang pemuda beliau di tengah kalian, yang paling kalian ridhai, paling jujur perkataannya, dan paling besar amanahnya sehingga tatkala kalian melihat uban di kedua pelipisnya dan dia membawa apa yang telah dia bawa kepada kalian, tiba-tiba kalian mengatakan, ‘Dia adalah laki-laki penyihir’. Tidak demi Allah, dia bukanlah laki-laki penyihir. Kita sudah mengetahui penyihir, hembusan, dan buhul talinya. Kalian mengatakan, ‘Dia adalah dukun’. Tidak demi Allah, dia bukanlah dukun. Kita sudah pernah melihat dukun-dukun, yang komat-kamit dan membacakan mantra. Kalian mengatakan, ‘Dia adalah penyair’. Tidak demi Allah, dia bukanlah penyair. Kita sudah mengetahui syair dan mendengar semua jenis-jenisnya, baik yang hazaj maupun rajaz. Kalian berkata, ‘Dia adalah sinting’. Tidak demi Allah, dia bukan orang sinting. Kita sudah mengetahui orang-orang sinting, sementara dia tidak menangis tersedu-sedu, tidak bertindak sekenanya, dan tidak berbisik-bisik layaknya orang sinting. Wahai semua orang Quraisy, lihatlah lagi kedudukan kalian. Demi Allah, kini ada urusan besar yang datang kepada kalian.”

Kemudian, An-Nadhr pergi ke Hirah. Di sana dia mempelajari kisah Raja Parsi, perkataan Rustum dan Asfandiyar. Jika Rasulullah Saw. mengadakan suatu pertemuan untuk mengingatkan kepada Allah dan menyampaikan peringatan tentang siksa-Nya, An-Nadhr menguntit di belakang beliau. Lalu berkata, “Demi Allah, penuturan Muhammad tidak sebagus apa yang kututurkan.” An-Nadhr berkisah tentang Raja Parsi, Rustum, dan Asfandiyar. Setelah itu dia berkata, “Dengan modal apa penuturan Muhammad bisa lebih baik daripada penuturanku?”

Tentang hal ini, turun ayat Al-Qur’an yang berbunyi, “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Luqman: 6)

Kesabaran Nabi dalam Menghadapi Bujuk Rayu

Orang-orang kafir itu menyodorkan beberapa bentuk penawaran. Dengan penawaran itu mereka berusaha untuk mempertemukan Islam dan jahiliyah di tengah jalan. “Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (QS. Al-Qalam: 9)

Ibnu Ishaq meriwayatkan sebuah hadits yang menyiratkan sebab turunnya surat Al-Kafirun, “Selagi Rasulullah Saw. thawaf di Ka’bah, beliau berpapasan dengan Al-Aswad bin Al-Muthalib, Al-Walid bin Al-Mughirah, dan Al-Ash bin Wail As-Sahmy yaitu para tetua kaumnya. Mereka berkata, ‘Wahai Muhammad, ke sinilah! Kami mau menyembah apa yang engkau sembah, dan engkau juga harus menyembah apa yang kami sembah sehingga kita bisa saling bersekutu dalam masalah ini. Jika apa yang engkau sembah ternyata lebih baik dari apa yang kami sembah, kami akan melepas apa yang seharusnya menjadi bagian kami, dan jika apa yang kami sembah ternyata lebih baik dari apa yang engkau sembah, engkau harus melepas bagianmu’.”

Kesabaran Nabi dalam Menghadapi Siksaan

Setelah tidak mempan terhadap segala bentuk hinaan dan bujuk rayu itu, Nabi kembali menghadapi sebuah bentuk tekanan lainnya, yaitu siksaan!

Menurut Ibnu Ishaq, orang-orang yang biasa menyakiti Rasulullah selagi di dalam rumah adalah Abu Lahab, Al-Hakam bin Abul Ash, Uqbah bin Abi Mu’ith, Adi bin Hamra Ats-Tsaqafy, dan Ibnul Ashda Al-Hudzaly yang semuanya tetangga beliau dan sebagiannya masih berkerabat dengan beliau.

Di antara mereka ada yang melemparkan isi perut seekor domba selagi beliau shalat. Di antara mereka ada yang meletakkannya di dalam periuk beliau sehingga beliau perlu memasang bebatuan untuk memberi tanda pembatas agar tidak mereka langgar selagi shalat. Jika beliau dilempari kotoran-kotoran itu, beliau keluar rumah sambil memegangi sepotong dahan. Lalu, beliau berdiri di ambang pintu sambil membersihkannya, seraya bersabda, “Wahai Bani Abdi Manaf, tetangga macam apakah ini?” Kemudian, beliau membuang kotoran-kotoran itu ke jalan.

Uqbah bin Abi Mu’ith meletakkan kotoran di antara pundak Nabi ketika beliau sedang sujud shalat. Uqbah dan kaumnya tertawa terbahak-bahak sehingga badan mereka berguncang-guncang mengenai teman di sampingnya. Saat itu Rasulullah sedang sujud, tetap dalam keadaan sujud dan tidak mengangkat kepala hingga Fathimah datang menghampiri beliau. Dibuangnya kotoran itu dari punggung beliau. Baru setelah itu beliau mengangkat kepala. Kemudian, beliau bersabda, “Ya Allah, hukumlah orang-orang Quraisy ini!” Beliau mengucapkannya tiga kali, sehingga membuat mereka tersentak. Pada waktu perang Badar, semua yang didoakan beliau itu tewas mengenaskan!

Kesabaran Nabi dalam Menghadapi Pemboikotan

Semua usaha yang dilakukan kafir Quraisy kembali menemui jalan buntu. Pendirian Nabi Muhammad Saw. tidak mempan untuk dilenyapkan dari muka bumi. Menurut mereka, ini tidak lain karena Abu Thalib selalu melindunginya. Oleh karena itu, cara efektif untuk menghentikan dakwah beliau adalah dengan memboikot secara menyeluruh Bani Muthalib dan Bani Hasyim.

Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury dalam kitab Sirah Nabawiyah menjelaskan tentang pemboikotan ini, “Pemboikotan ini benar-benar ketat. Cadangan dan bahan makanan sudah habis sementara orang-orang Musyrik tidak membiarkan bahan makanan masuk ke Makkah atau barang yang hendak di jual. Mereka langsung memborong semuanya hingga keadaan Bani Hasyim dan Bani Muthalib benar-benar mengenaskan dan kelaparan. Akhirnya, mereka hanya bisa memakan dedaunan dan kulit binatang. Tidak jarang terdengar suara para wanita dan anak-anak yang merintih kelaparan.”

Wahai, hati siapa yang tidak bergetar haru? Mata mana yang tidak mau mengeluarkan airnya? Wahai mereka yang berselimut duka lara dan kecemasan. Ingatlah juga bahwa beliau juga hamba-Nya; yang berjalan seperti manusia biasa, yang makan seperti kita, menikah seperti mereka yang berkeluarga, bisa menangis seperti kita, bisa marah seperti orang lainnya. Lihatlah dan bersabarlah! Penderitaan Rasulullah ini jauh lebih dahsyat dibanding penderitaanmu.

Mereka Bilang Agama Membawa Kesengsaraan

Dr. T. Campbell, psikolog yang melakukan penelitian tentang hubungan psikologi dengan agama, menyimpulkan bahwa agama memberikan sumbangan yang sangat besar dalam membantu mengatasi penderitaan manusia. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai agama merupakan resep hidup yang telah dikembangkan, diuji, dan ditapis melalui ratusan generasi sejarah sosial umat manusia.

Kehidupan macam apa yang dimasak dengan resep agama? Kehidupan yang bahagia. Di dalam Al-Qur’an, di antara kata yang paling tepat menggambarkan kebahagiaan adalah aflaha. Pada empat ayat Al-Qur’an, yaitu: 20: 64, 23: 1, 87: 14, 91: 9, kata itu selalui didahului kata penegas qad sehingga berbunyi qad aflaha,sungguh telah berbahagia. Kata ini adalah derivasi dari akar kata falah.

Kamus-kamus bahasa Arab klasik merinci makna falah sebagai berikut: kemakmuran, keberhasilan, atau pencapaian apa yang kita inginkan atau kita cari; sesuatu yang dengannya kita berada dalam keadaan bahagia atau baik; terus-menerus dalam keadaan baik; menikmati ketenteraman, kenyamanan, atau kehidupan yang penuh berkah; keabadian, kelestarian, terus-menerus, keberlanjutan.

Kita selalu diingatkan, paling tidak sepuluh kali, muadzin di seluruh dunia meneriakkanhayya ‘alal falah, marilah meraih kebahagiaan. Sebelumnya mengumandangkan katahayya alash shalah, marilah kita shalat. Bahwa di dalam shalat ada kebahagiaan. Jadi, suara muadzin itu sudah cukup jadi bukti bahwa agama Islam memanggil umatnya setiap saat untuk meraih kebahagiaan.

Derivasi selanjutnya dari aflaha adalah yuflihu, yuflih ani, yuflihuna, tuflihu, tuflihani, yuflihna, dan tuflihuna (kata ini disebut beberapa kali dalam Al-Qur’an dan selalu didahului dengan kata la’allakum tuflihuun, agar supaya kamu berbahagia). Dengan melihat ayat-ayat yang berujung dengan la’allakum tuflihuun, kita diberi pelajaran bahwa semua perintah Tuhan dimaksudkan agar kita bahagia. Allah Swt. berfirman:

“…dan bertakwalah kepada Allah agar kamu berbahagia.” (QS. Al-Baqarah: 189)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat kebahagiaan.”(QS. Ali Imran: 130)

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu berbahagia.” (QS. Ali Imran: 200)

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat kebahagiaan.” (QS. Al-Maidah: 35)

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat kebahagiaan.” (QS. Al-Maidah: 90)

Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat kebahagiaan.” (QS. Al-Maidah: 100)

“Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat kebahagiaan.” (QS. Al-A’raf: 69)

“Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu berbahagia.” (QS. Al-Anfal: 45)

Setelah menjelaskan hukum berjilbab, “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu berbahagia.” (QS. An-Nuur: 31)

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu berbahagia.”(QS. Al-Jumu’ah: 10)

Ayat-ayat di atas tidak saja menunjukkan bahwa tujuan akhir dari semua perintah Allah adalah supaya kita berbahagia, tetapi juga rincian perbuatan yang bisa membawa kita kepada kebahagiaan.

Mereka yang Tegar Di Jalan Dakwah

Tulisan berikut ini mencoba mengangkat beberapa tokoh yang telah berjihad dan bersabar dengan jihadnya itu. Berkorban dan bersabar dengan pengorbanannya itu. Hingga kesudahan yang mereka peroleh, setelah kesulitan, adalah kemudahan, kebahagiaan, kekuatan karakter, keteguhan dalam memegang prinsip, dan kemuliaan sejati. Nama mereka terangkat dari lumpur kebodohan menuju cahaya kemuliaan, dari lembah kekafiran menuju puncak keimanan. Setelah mengenal dan memahami Islam, mereka adalah orang yang terdepan dalam membelanya. Walaupun nyawa dan kedudukan mereka taruhannya.

Umar bin Khaththab Mantan Preman Kafir Quraisy

Untuk yang kedua kalinya, dalam kondisi yang sulit, dimana jalan buntu dan tekanan serta penganiayaan berkecamuk, muncul seberkas cahaya yang memberi jalan. Yaitu masuk Islamnya Umar bin Khaththab Ra. Dia masuk Islam pada bulan Dzulhijah tahun keenam dari kenabian.

Sesungguhnya, Nabi Saw. pernah berdoa agar dia masuk Islam. Dari Ibnu Mas’ud dan Anas, bahwa Nabi Muhammad Saw berdoa, “Ya Allah, muliakanlah Islam dengan keislaman salah satu dari dua orang yang engkau cintai, Umar bin Khattab atau Abu Jahal bin Hisyam.” (HR. Thabrani) Ternyata yang dicintai oleh Allah dan dipilih-Nya adalah Umar bin Khaththab.

Umar bin Khaththab Ra. dikenal sebagai orang yang menjaga harga diri dan kehormatan, wataknya temperamental, cepat sekali naik pitam. Sebelum masuk Islam, dia sering menimpakan siksaan kepada orang Islam yang ditemuinya. Tetapi, dapat dipastikan bahwa di dalam batinnya terjadi pergolakan perasaan yang saling bertentangan. Penghormatannya terhadap tradisi nenek moyang, kesukaannya minum khamar bercampur baur dengan ketakjubannya terhadap kaum Muslimin yang rela berkutat dengan bahaya demi mempertahankan akidah. Ditambah dengan kebimbangan di dalam benaknya atau siapa pun yang memiliki akal sehat bahwa apa yang diajarkan di dalam Islam jauh lebih bagus dan sempurna dibanding dengan ajaran apa pun. Demikian perasaan yang menggayuti Umar bin Khaththab selama itu.

Di antara gambaran wataknya yang temperamental serta rasa bencinya terhadap Rasulullah, pada suatu hari dia mencari Rasulullah Saw sambil menghunus pedangnya, dia hendak membunuh Nabi Muhammad Saw di tengah perjalanan dia berjumpa dengan Na’im bin Abdullah an-Nahm al-‘Adwi, dia adalah salah seorang dari bani Zuhrah. Atau seorang dari bani Makhzum. Dia berkata, “Ke mana engkau akan pergi wahai Umar?”

Umar menjawab, “Aku hendak membunuh Muhammad!”

Nu’aim berkata lagi, ‘Bagaimana engkau akan selamat dari pembalasan Bani Hasyim dan Bani Zuhrah jika engkau membunuhnya?”

Umar berkata, “Menurutku engkau telah keluar dari agamamu (memeluk Islam) yang telah engkau anut selama ini.”

Nu’aim berkata lagi, “Bagaimana jika aku beritahukan kepadamu sesuatu yang lebih mencengangkanmu, wahai Umar? Saudarimu dan iparmu juga telah keluar dari agamanya selama ini, dan beralih memeluk Islam.”

Umar bergegas menuju rumah saudarinya dan iparnya. Di sana juga ada Khabbab bin al-Art yang sedang menghadapi lembaran yang bertuliskan surah Thaahaa. Dia tengah membaca surah tersebut di hadapan mereka berdua. Ketika Khabbab mendengar suara kedatangan Umar, dia bergegas menyelinap ke belakang dan Fatimah menyembunyikan lembaran tersebut. Tetapi, Umar telah mendengar apa yang terjadi di sana.

“Suara apa yang aku dengar dari mulut kalian tadi?” bentaknya.

“Kami hanya berbincang-bincang saja,” jawab mereka berdua.

“Kukira, kalian berdua telah keluar dari agama (nenek moyang kita).”

“Wahai Umar, bagaimana seandainya kebenaran yang hakiki itu berada bukan pada agamamu?” Kata adik iparnya.

Seketika umar melompat menghampiri adik iparnya, lalu menginjak-injaknya dengan sangat keras. Melihat hal itu, Fatimah mencoba menolong suaminya dan mengangkat badannya. Namun, Umar malah memukul wajah adiknya sehingga berdarah.

“Wahai Umar,” Fatimah berkata dengan nada tinggi, “Jika kebenaran itu ada pada selain agamamu, maka aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”

Umar merasa putus asa, apalagi melihat darah yang meleleh dari wajah adiknya. Dia menyesal dan merasa malu atas apa yang telah diperbuatnya. Lalu, dia berkata, “Serahkan kitab yang kalian baca, aku akan membacanya.”

Fatimah berkata, “Engkau adalah orang yang tidak suci. Tidak ada yang boleh menyentuhnya, kecuali orang yang suci. Bersucilah dengan mandi, jika engkau mau.” Lalu, Umar berdiri dan mandi. Setelah itu, dia mengambil lembaran tadi seraya membaca,“Bismillahirrahmanirrahiim.” Umar berkata, “Nama-nama yang bagus dan suci.” Lalu, dia membaca, “Thaahaa” sampai pada firman Allah, “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku.” (QS. Thaahaa: 14) “Betapa indah Kalamullahini, tunjukan padaku di mana Muhammad sekarang?”

Setelah Khabbab mendengar itu semua, dia keluar dari belakang rumah, seraya berkata, “Terimalah kabar gembira wahai Umar karena aku berharap doa yang dipanjatkan oleh Rasulullah Saw. pada malam kamis itu jatuh kepadamu. Beliau pernah berdoa ‘Ya Allah, muliakanlah Islam dengan keislaman salah satu dari dua orang yang engkau cintai, Umar bin Khaththab atau Abu Jahal bin Hisyam’. Sekarang beliau berada di kaki bukit Shafa.”

Umar pun pergi dengan pedang ditangannya. Sesampainya di rumah; langsung menggedor pintu. Seseorang melihat dari balik pintu. Dia melihat Umar dengan pedang yang terhunus di tangan. Lalu, dikabarkanlah kepada Rasulullah Saw semua orang berkumpul dengan penuh kewaspadaan. Hamzah datang dan berkata, “Ada apa dengan kalian?”

Mereka menjawab, “Umar datang.”

“Umar?” kata Hamzah heran, “Bukakan pintu, jika dia datang dengan maksud baik kita menerimanya, tetapi jika dia datang dengan maksud buruk kita bunuh dia dengan pedangnya sendiri.”

Rasulullah Saw. berada di situ seraya memberi isyarat kepada Hamzah. Dengan gagah berani Hamzah keluar menghadapi Umar. Lalu, membawanya ke hadapan Rasulullah di suatu ruangan, lalu beliau memegang gagang pedang serta menarik baju Umar sambil berkata dengan keras, “Apakah engkau tidak mau menghentikan tindakanmu wahai Umar?! Atau engkau menunggu Allah menurunkan bencana yang menghinakan kepadamu seperti yang menimpa al-Walid bin Mughirah?!” Beliau berseru lagi, “Ya Allah, inilah Umar bin Khaththab, muliakanlah Islam dengan keislamannya.”

Kemudian Umar berkata, “Aku Bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah.”

Umar pun telah masuk Islam. Seluruh yang hadir di sana mengumandangkan takbir dengan suara yang keras sehingga terdengar oleh penduduk di Masjidil Haram.

Umar memiliki karakter yang keras dan temperamental, keinginannya sulit untuk dihalang-halangi. Keislamannya membuat kaum Musyrikin terguncang dan menorehkan kehinaan pada diri mereka, sedangkan bagi kaum Muslimin hal itu mendatangkan kehormatan, kekuatan sekaligus kebahagiaan.

Umar berkata, “Ketika aku telah masuk Islam aku teringat siapa orang yang paling keras terhadap Rasulullah Saw, yakni Abu Jahal. Lalu, aku mendatanginya sesampainya di sana aku menggebrak pintu rumahnya, maka dia pun keluar sambil berkata, ‘Selamat datang, Apa yang engkau bawa, wahai Umar?’

‘Aku datang untuk mengabarimu bahkan aku telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu Muhammad, dan aku membenarkan apa yang beliau bawa.’ Lalu, Abu Jahal menggebrak pintu rumahnya sambil menghardik, ‘Semoga Allah memburukkan rupamu dan memburukkan apa yang engkau bawa’.

Ibnu Mas’ud mengatakan, “Kami tidak pernah bisa melaksanakan sholat di hadapan Ka’bah, hingga Umar masuk Islam.”

Suhaib bin Sinan ar-Rumi Ra. berkata, ketika Umar bin Khaththab telah masuk Islam, maka Islam mulai tampak ke permukaan. Dakwah pun secara terang-terangan. Kami dapat membuat halaqah di sekitar Ka’bah, bisa melakukan Thawaf dan bisa mengambil tindakan kepada orang yang berlaku keras terhadap kami atau kami membalasnya.

Abdullah bin Mas’ud berkata, “Kami merasa kuat setelah Umar bin Khaththab masuk Islam.”

Bilal bin Rabbah Al-Habsyi Bekas Budak Umayyah

Bilal adalah seorang sahabat Nabi yang terkenal. Dia adalah seorang muadzin di Masjid Nabawi. Dia seorang budak yang memeluk Islam milik seorang kafir Quraisy. Keislamannya telah menyebabkan Bilal mengalami banyak penderitaan dan kesengsaraan akibat perbuatan orang-orang kafir. Bilal dibaringkan di atas padang pasir yang panas membakar ketika matahari sedang terik sambil menindihkan batu besar di atas dadanya. Bilal tidak dapat menggerakan badannya sedikit pun. Umayyah bin Khalaf, majikannya, berkata, “Apakah kamu bersedia mati dalam keadaan seperti ini? Ataukah kamu mau terus hidup dengan syarat kamu tinggalkan agama Islam?”

“Ahad! Ahad! Ahad! timpal Bilal.

Pada malam hari, Bilal diikat dengan rantai, dicambuk terus-menerus hingga badannya penuh luka. Pada siang hari, dia dibaringkan kembali di atas padang pasir yang panas. Umayyah berharap Bilal akan mati dalam keadaan seperti itu. Orang kafir menyiksa Bilal silih berganti. Suatu kali Abu Jahl menyiksanya, terkadang Umayyah dan orang lain pun turut menyiksanya juga. Mereka berusaha untuk menyiksa Bilal dengan siksaan yang lebih berat lagi.

Kemudian, datanglah Abu Bakar Ash-Shiddiq, dia berkata, “Apakah kalian akan membunuh seorang laki-laki karena mengatakan bahwa Tuhanku ialah Allah?!” Kemudian katanya kepada Umayyah bin Khalaf, “Terimalah ini untuk tebusannya, lebih tinggi dari harganya, dan bebaskanlah dia…!”

Umayyah berkata, “Bawalah dia! Demi Latta dan Uzza, seandainya harga tebusannya tak lebih dari satu ugia, pastilah ia akan kulepas juga!”

Abu Bakar pun menjawabnya dengan lantang, “Demi Allah, andainya kalian tak hendak menjualnya kecuali seratus ugia, pastilah akan kubayar juga!”

Abu Bakar – orang yang beriman – memandang Bilal dengan kemuliaan. Sedangkan Umayyah – kafir Quraisy – memandang Bilal dengan kehinaan. Disinilah Bilal mulai merasakan detik-detik kemuliaan akan berada disisinya. Sesudah kesulitan pasti akan datang kemudahan.

Khabbab bin Al-Arats Orang Miskin Makkah

Dia adalah sahabat Nabi yang tubuhnya penuh luka akibat siksaan kafir Quraisy. Ketika Umar bin Khaththab menjadi khalifah, beliau pernah bertanya kepada Khabbab mengenai penderitaannya pada awal dia memeluk Islam. Sebagai jawabannya, dia memperlihatkan parut-parut luka bagian belakang badan yang demikian rupa. Melanjutkan ceritanya, Khabbab mengatakan, bahwa dia pernah diseret di atas timbunan bara api sehingga lemak dan darah yang mengalir dari badannya memadamkan bara api tersebut.

Ketika Islam telah menyebar di segala penjuru, Khabbab sering duduk menangis sambil berkata, “Tampaknya Allah sedang memberi ganjaran atas segala penderitaan yang telah kita alami. Mungkin di akhirat nanti tidak ada ganjaran yang akan kita terima.”

Khabbab meninggal pada usia 37 tahun. Dia merupakan sahabat yang pertama kali dikebumikan di Kuffah. Pada suatu hari Ali bin Abi Thalib Ra. melewati makamnya, beliau berkata, “Ya Allah, rahmatilah Khabbab. Dengan semangatnya dia telah memeluk Islam, dan dengan ikhlas dia telah menghabiskan waktunya untuk berhijrah, berjihad, dan mengalami segala penderitaan.”

Keluarga Yasir Keluarga Miskin dari Makkah

Yasir, Sumayyah, dan Ammar termasuk ke dalam golongan kaum muslimin yang telah mengalami berbagai penderitaan akibat siksaan yang dilakukan oleh kafir Quraisy. Mereka disiksa di atas batu-batu dan pasir yang panas membakar. Yasir, ayah Ammar, mati syahid setelah disiksa tanpa perikemanusiaan. Ibu Ammar, yaitu Sumayyah Ra. yang sudah tua pun syahid setelah ditikam dengan tombak oleh Abu Jahl. Mereka tida mau meninggalkan agama Allah walaupun disiksa dengan pedih. Sumayyah adalah wanita pertama yang gugur sebagai syahidah karena mempertahankan agamanya.

Melihat kejadian itu semua, Ammar merasa terpukul dan bersedih sehingga Rasulullah Saw. merasakan kesedihan itu. Kemudian, Rasul menghampiri Ammar dengan bersabda, “Ya Ammar, bersabarlah, sesungguhnya ayah-ibumu ada di surga.” Mendengar sabda Rasulullah Saw. itu, hati Ammar pun menjadi tenang dan jiwanya merasakan kebahagiaan.

Zainab Al-Ghazali Muslimah Aktivis Dakwah

Beliau adalah sosok mujahidah terkemuka yang lahir di abad ke-20. Aktivis Ikhwanul Muslimin ini pernah mengalami berbagai bentuk siksaan dan penderitaan yang mengerikan, sebagaimana diceritakannya dalam bukunya yang berjudul Ayyamun Min Hayati (Hari-Hari dalam Kehidupanku). Buku tersebut menggambarkan hari-hari yang dilakukan oleh si penulis selama di balik terali besi.

Setiap huruf, kata, kalimat, dan lembar yang terdapat di dalam buku tersebut adalah refleksi dari perasaan yang mendalam. Proses penyiksaan demi penyiksaan yang dialaminya, semua ia ungkap dalam buku tersebut. Dari buku itu terungkap, bahwa orang-orang yang telah menjalani masa penahanan, lebih mampu mengungkapkan penderitaan, kesabaran, dan ujian yang dihadapinya. Bahkan, ia adalah orang yang paling mampu menggambarkan berbagai tragedi yang dialaminya melalui penanya yang ikut terluka.

Orang yang mengatakan “aku cinta padamu” kepada orang yang dicintainya, belumlah menunjukkan orang itu mencintainya. Jika kata-kata itu menunjukkan cinta, akan banyak orang mudah mengatakannya. Karena cinta butuh pengorbanan, bukan sekedar kata-kata. Begitupun dengan orang yang ingin hidup dibawah naungan nilai-nilai agama, maka dia harus siap berkorban untuk menjalankan nilai-nilai tersebut. Bila dia temukan kesulitan, kesusahan, dan perjuangan di dalamnya, maka semua itu hanya sebagai batu loncatan untuk mendapatkan berbagai kemudahan dan kebahagiaan. Bagaimana mungkin seorang ilmuwan dikatakan “ilmuwan” jika sebelumnya dia tidak berusaha dengan tekun dan giat mendalami ilmu pengetahuan. Dan, bagaimana pula seorang yang mengaku dirinya muslim memandang agama sebagai sebelah mata. Mau enaknya sendiri. Ketika melihat bahwa agama mengandung nilai-nilai yang tidak sepandangan dengan hawa nafsunya, maka dia pun menolak nilai-nilai tersebut. Dan, ketika melihat agama sebagai sesuatu yang menguntungkan bagi hawa nafsunya, lalu ia terima dengan senang hati. Padahal, apa yang tidak dia sukai mengandung kemaslahatan yang besar.

Kita akan Kembali Seperti Semula

Bila dibayangkan, hidup ini seperti sebuah lingkaran. Ketika lahir dalam keadaan lemah, ketika sakit dan tua pun kembali menjadi lemah. Manusia mengalami peristiwa kembali pada awal penciptaannya.

“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Ar-Ruum: 54)

“Dan barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian(nya). Maka apakah mereka tidak memikirkan?” (QS. Yasin: 68)

Siklus kehidupan ini begitu cepat bahkan sangat cepat terjadi. Tak terasa usia kita terus bertambah. Semakin bertambah umur, semakin dekat dengan kematian. Duhai hati yang keras membatu, sadarilah hal ini. Pergunakanlah sehatmu sebelum datang sakitmu. Bila sudah terkena sakit, beramal pun menjadi sulit. Hanya bisa diam, tidur mendengkur. Bila sudah terasa sakit, ingatlah disaat sehatnya dulu. Betapa meruginya hidup bila masa sehat tidak dipergunakan dengan sebaik-baiknya.

Pergunakan waktu luangmu sebelum datang waktu sibukmu. Waktu yang Allah berikan kepada kita adalah kesempatan terbaik kita, walaupun dinamakan waktu luang. Para salafus shalih menggunakan waktu luangnya sama seperti menggunakan waktu sibuknya. Ada yang ketika menunggu seseorang, dia melaksanakan shalat sunah. Ada yang mempergunakan waktu luang dengan membaca Al-Qur’an, menulis, membaca, berdzikir, membantu pekerjaan rumah tangga, dan sebagainya. Bila waktu luang kita satu jam dalam sehari, bisa saja dengan waktu itu kita dapat mengkhatamkan Al-Qur’an dalam sebulan. Bahkan nyata-nyata waktu luang kita lebih banyak daripada satu jam, jadi apa yang telah hasilkan dalam waktu luang itu? Sebuah karya tuliskah? Puluhan halaman bukukah? Atau kita hanya bisa bermalas-malasan sambil tidur-tiduran pada waktu kita sedang tidak mengantuk?

Pergunakan masa muda sebelum datang masa tua. Masa tua kita adalah cerminan masa muda kita. Akankah kita habiskan masa muda kita dengan perbuatan sia-sia, sehingga di masa tua hanya menjadi manusia terlunta-lunta? Ada orangtua yang gelisah karena dimasa mudanya hanya membuat resah. Kenyataan ini adalah cambuk bagi kita, untuk segera kembali pada fitrah kita, yakni beribadah kepada-Nya dengan penuh keikhlasan.

Bilakah masa-masa itu sudah berada dihadapan kita dan nyata-nyata kita tidak bisa berbuat apa-apa setelahnya. Bahkan yang tersisa hanya tangisan penyesalan. Mari kita mulai hari ini untuk berbuat yang terbaik, untuk masa depan kita. Bila kita mati hari ini, maka kita dalam keadaan husnul khatimah. Bila kita mati esok, maka kita telah menabung dengan tabungan amal yang banyak. Dan, sebaik-baik balasan adalah surga.

Ketika Naskah Kita Ditolak

Beberapa waktu yang lalu naskah buku saya ditolak oleh sebuah penerbit. Ini bukan kali pertama naskah saya ditolak. Memang, ada perasaan sedih. Bagaimana tidak? Sudah bertahun-tahun saya menulis naskah buku itu, tapi hasilnya mengecewakan saya. Artikel saya juga pernah ditolak belasan kali oleh sebuah surat kabar.

Saya sempat berpikir untuk berhenti menjadi penulis. Tapi kemudian saya merenungkan kembali, apakah itu keputusan yang terbaik atau hanya emosi sesaat?

Saya kemudian berkaca pada para penulis terkenal yang karya-karya mereka beberapa kali ditolak oleh penerbit. Bukan hanya dua atau tiga kali, bahkan sampai ratusan kali. Apa yang terjadi? Mungkin mereka sempat merasa putus asa. Tapi perasaan itu tidak lama. Yang mereka lakukan adalah kembali menulis dan menulis, dengan perasaan yang lebih segar dan cara yang lebih baik. Hasil karya mereka adalah paduan antara akal dan hati, logika dan perasaan, hafalan dan intuisi, sehingga jika orang bertanya kepada mereka apa yang mereka tulis, mereka akan menjelaskannya dengan gamblang, karena merekalah yang menulis buku itu. Mereka merasa memiliki hasil karya mereka sendiri. Tidak heran ada yang menuntut orang yang menjiplak hasil karyanya, dengan hukuman pidana atau perdata. Karena si plagiator ibarat seorang perampok yang merampas harta miliknya yang sangat berharga.

Berbeda dengan mereka yang menjiplak hasil karya orang lain. Ketika di baca, tulisannya tampak hambar, malas sekali membacanya karena toh hasil karya orang lain. Mereka tidak mampu menjelaskannya dengan baik dan berusaha keras mengingat-ingat isi bukunya. Karena mereka menulis hanya dengan dengan main comot sana comot sini. Tulisan mereka kering. Mungkin saja mereka mendapat uang dari cara itu, tapi itu tidak akan bertahan lama. Jika Allah membongkar aib mereka di depan umum, maka segalanya akan berakhir. Allah bisa saja menggunakan cara lain, seperti menyempitkan pintu rezekinya sehingga hasil karyanya tidak laku dipasaran.

Mungkin kita perlu memperhatikan fakta-fakta berikut ini, yang saya kutip dari artikel Wilson Nadeak yang di muat Surat Kabar Pikiran Rakyat:

Konon, seorang pengarang terkenal, yang dibesarkan di Tiongkok, namanya Pearl S. Buck, menulis naskah The Good Earth (Tanah yang Baik) dan mengirimkannya ke penerbit. Malang baginya, naskah itu ditolak. Mungkin ia memperbaiki kembali naskahnya dan mengirimkannya ke penerbit lain, tetapi tidak lama kemudian, naskah itu kembali. Ia tidak putus asa, ia terus mencoba sampai empat belas kali! Empat belas kali! Setelah itu, ia mengirimkannya ke penerbit lain, dan untunglah penerbit itu mau menerbitkannya. Setelah beredar, buku itu mendapat hadiah tertinggi di Amerika Serikat, hadiah Pulitzer Prize.

Norman Mailer mengirimkan karangannya yang kemudian terkenal The Naked and the Dead, (Yang Mati Telanjang) ditlak dua belas kali sebelum berhasil diterbitkan. Patrick Dennis dengan novelnya yang berjudul Auntie Mame (Tante Mame) yang bersifat autobiografis itu, beredar-edar lima tahun dalam bentuk naskah di lorong-lorong penerbit yang menolaknya, sampai ia menemukan penerbit yang kelima belas yang bersedia menerbitkannya. Richard Bach mengalami penolakan dua puluhkali sebelum bukunya yang kemudian terkenal dan beredar jutaan eksemplar, Jonathan Livingston Seagul.Joseph Heller memberi judul kepada naskahnya Catch-22 karena naskah tersebut ditolak sekian puluh kali, sehingga penerbit Doubleday bertanya mengapa diberi judul seperti itu. Heller menerangkan bahwa penerbit Doubleday adalah penerbit yangke-22 yang dihubunginya yang mau menerbitkan naskah tersebut! Dua puluh satu penerbit yang dihubunginya lebih dahulu menolaknya. Namun, kemudian buku itu beredar 10 juta eksemplar, sukses yang luar biasa!

Mary Higgins mengalami penolakan 40 kali. Sesudah itu naskahnya diterbitkan 30 juta eksemplar, padahal sebelumnmya editor yang menolak memberi komentar atas naskah tersebut: ringan, kurang berbobot dan membosankan! Yang lebih mengherankan lagi, pengarang populer Alex Haley, dengan naskahnya Roots (Asal-usul), ditolak 200 kali sebelum terbit. Robert Pirsig dengan bukunya yang terkenal Zen and the Art of Motorcycle Maintenance terbit pada penerbit yang ke-21. Ia mengalami penolakan naskah sampai 120kali! Novel pertama John Grisham, A Time to Kill (Saat untuk Membunuh) ditolak penerbit lima belas kali dan oleh biro naskah tiga puluh! Setelah terbit, buku itu diterbitkan 60 juta eksemplar!

Tiga puluh tiga penerbit menolak naskah Chiken Soup for the Soul yang dikumpulkan oleh Jack Canfield dan Mark Victor Hansen. Nyatanya, setelah buku itu terbit, menjadi buku terlaris dan bahkan menjadi buku yang berseri. Penerbit Indonesia pun tertarik menerbitkannya dan mendapat sambutan khalayak pembaca! Buku Baltimore Sun yang berjudul Naked in Deccan selama lebih tujuh tahun ditolak oleh 375 penerbit, setelah terbit buku tersebut dinilai “klasik” dari segi mutunya dan diterima orang banyak.

Pengalaman pengarang Amerika terkenal F.Scott Fitzgerald agak lucu. Pacarnya, Zelda tidak mau menikah dengannya sebelum ada karangannya yang terjual. Ia menempeli dinding kamarnya dengan slip (kertas) penolakan naskah dari berbagai penerbit, sebelum ia memenangkan hati pacarnya.

Buku pertama karangan Dr.Seuss ditolak oleh editor 24 kali. Setelah naskahnya berhasil diterbitkan, buku anak-anak itu beredar 100 juta eksemplar! Louis L’Amour menerima surat penolakan naskah 200 kali atas naskah novelnya yang pertama. Namun, setelah terbit selama 40 tahun, penerbit Bantam telah menjual hampir 200 juta dari buku karangannya, yang menempatkannya sebagai pengarang yang tetap bertahan selaku pengarang paling laris.

Jika Anda mengunjungi tempat tinggal Jack London di Sonoma County, San Francisco, Anda akan melihat 600 surat penolakan naskah sebelum ia berhasil menerbitkan karangannya yang pertama. Rekor yang tercatat paling tinggi penolakan naskah dialami oleh pengarang Inggris, John Creasy, menerima penolakan naskah sebanyak 774 kali sebelum karyanya yang pertama berhasil dijual. Ia menulis buku kemudian sebanyak 564 judul dengan menggunakan nama 14 buah nama!

Jadi? Jangan berputus asa! Allah tidak akan menyia-nyiakan hasil kerja keras kita jika kita ingin terus belajar dan belajar. Jika satu kali gagal, belajar lagi. Jika dua kali gagal, introspeksi mengapa bisa gagal. Jika tiga kali gagal, bagian-bagian mana yang bisa diperbaiki. Dan seterusnya, tiada hari tanpa belajar, hingga kita menemukan format yang terbaik. Kegagalan bukanlah kegagalan. Tetapi kegagalan adalah awal dari kesuksesan. Jika kita gagal hari ini, bisa jadi esok hari kita akan sukses, seperti yang terjadi pada penulis-penulis terkenal di atas. Selamat menulis kembali!

Keseimbangan adalah Akhlak Allah

Apabila kita selesai mengerjakan sesuatu, lalu kita lihat kembali pekerjaan itu, maka akan tampaklah kesalahannya di sana-sini. Kemudian kita lihat lagi dan lagi, masih saja ada kesalahan itu seolah tidak akan pernah tertutupi.

Ketika membandingkan karya dan kreasi Allah Swt., berupa ayat-ayat kauniyah dan Qur’aniyah. Niscaya tak satu pun ada yang cacat! Bahkan, Allah menantang kita untuk melihat-Nya secara berulang.

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah.” (QS. Al-Mulk: 3-4)

Tidak! Lihatlah orang-orang yang cacat tubuhnya, bukankah itu bukti ketidakseimbangan karya Allah? Allah mengajak kita untuk melihat dan merenungkannya lagi. Ternyata setelah diselidiki, ada hikmah tersembunyi yang menunjukkan bahwa Allah telah mencipta alam ini dengan seimbang.

Bukankah dengan adanya orang-orang yang cacat, tergerak hati kita untuk menolong mereka? Maka tumbuhlah benih-benih kasih sayang di antara kita. Allah menyayangi hamba-Nya yang menyayangi hamba-hamba-Nya yang kekurangan.

Seringkali kita terlalu memaksakan diri mengatakan tentang ketidakadilan Allah berdasarkan sudut pandang kita sendiri. Kita menganggap diri kita sudah sangat hebat dari segi keilmuwan sehingga dengan sangat sombongnya mengatakan bahwa Allah itu kejam dan tidak adil. Jika ia mau rendah hati dan memiliki adab atas apa yang tidak diketahuinya, itu lebih mulia baginya; lebih berakhlak dan lebih beradab. Dengan bertambahnya ilmu dan wawasan, akan bertambah pula kearifan dan kedewasaan. Dengan izin Allah, dia akan memperoleh hikmah yang selama ini dia cari-cari.

Sesuai dengan pesan Rasulullah, “Berakhlaklah dengan akhlak Allah.” Keseimbangan adalah salah satu akhlak Allah. Oleh karena itu, hiduplah dengan seimbang di dunia ini! Kelak akan terlihat keindahan terpancar dari situasi dan kondisi yang kita alami saat ini.

Doa Rasulullah Ketika Menghadapi Kesulitan dan Kekhawatiran

Manusia memiliki kelemahan dan kekurangan. Tanpa pertolongan-Nya, manusia tidak mungkin dapat berdiri dan melangkah dengan pasti. Salah satu pintu mendapat pertolongan-Nya adalah melalui doa. Doa mencitrakan ketundukan dan kepasrahan kepada Yang Maha Mengabulkan Doa. Justru ketundukan itu bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan yang bersinar terang.

Rasulullah Saw. bersabda, “Doa itu adalah senjata orang beriman, sendi agama, dan cahaya langit serta bumi.” (HR. Al-Hakim)

“Tidak ada gunanya menghindar dari qadar, sedangkan doa mendatangkan manfaat terhadap apa yang sudah turun dan terhadap apa yang belum turun. Sesungguhnya, musibah itu benar-benar turun. Lalu, doa menghadangnya hingga keduanya saling menyerang sampai hari kiamat.” (HR. Al-Hakim)

Disebutkan di dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. berdoa saat ditimpa kesusahan, Laa ilaahailallahul adziimul haliim, laa ilaahailallahu rabbul arsyil adziim, laa ilaahailallahu rabbus samaa waati wa rabbul ardhi rabbul arsyil kariim. “Tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Agung lagi Maha Pemurah. Tiada Tuhan selain Allah Tuhan Arsy yang agung. Tiada Tuhan selain Allah Tuhan langit, Tuhan bumi, Tuhan Arsy yang mulia.”

Dari Anas Ra., bahwa jika ada sesuatu yang membuat Nabi Saw. bersedih, beliau membaca, Ya hayyu ya qayyum birahmatika astaghiits. “Wahai Yang Maha Hidup, wahai Yang Maha Berdiri Sendiri, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Sunni)

Dari Abu Bakrah, bahwa Rasulullah Saw. bersabda, doa orang yang kesusahan adalah, Allahumma rahmataka arjuu, falaa takilnii ilaa nafsii tharfata aynin, wa ashlih lii sya’nii kulluh, laa ilaahailla anta. “Ya Allah, rahmat-Mu yang kuharapkan. Jangan biarkan aku sekejap mata pun, dan perbaikilah urusanku semuanya, tiada Tuhan selain Engkau.” (HR. Abu Daud, Ibnu Hibban, dan Ibnu Sunni)

Dari Asma binti Umais dia berkata, Rasulullah Saw. bersabda, “Ketahuilah, akan kuajarkan kepadamu beberapa kalimat yang dapat engkau baca saat kesusahan, yaitu, Allah, Allah, Rabbi, aku tdak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya.” (HR. Abu Daud)

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash dia berkata, Rasulullah Saw. bersabda, “Doa Dzun-Nun (Nabi Yunus As.) yang dibaca saat dia berada di dalam perut ikan paus adalah, Laa ilaahailalla anta subhanaka inni kuntu minazh zhaalimiin. (Tiada Tuhan selain Engkau, sesungguhnya aku termasuk golongan orang-orang yang zalim) (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

Dari Abdullah bin Mas’ud, dari Nabi Saw., beliau bersabda, “Tidak ada kekhawatiran dan kesedihan yang menimpa seorang hamba hingga dia mengucapkan, Allahumma inni abdukabnu abdikabnu amatik, naa shiyatii biyadik, maa dhin fiyya hurmuk, adlun fiyya qadha’uk, as aluka bikullismin huwa lak, sammayta bihi nafsak, aw anzaltahu fii kitabik, aw allamtahu ahadan min khalqika awis ta’tsarta bihi fii ‘alimil ghaibi indak, ant taj’ alal qur’aana rabbi’a qalbii, wa nuura basharii, wa jilaa ‘a huznii wa dzahaaba hammiy. melainkan Allah menghilangkan kekhawatiran dan kesedihannya serta mengubahnya menjadi kegembiraan’.”

‘Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu yang laki-laki, anak hamba-Mu yang perempuan. Ubun-ubunku ada di tangan-Mu. Pengadilan-Mu terhadap diriku telah berlaku. Qadha’-Mu terhadap diriku adil. Aku memohon kepada-Mu dengan setiap asma yang menjadi milik-Mu, yang Engkau namakan diri-Mu dengannya, atau seperti yang Engkau turunkan di dalam Kitab-Mu, atau seperti yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau seperti yang Engkau khususkan di sisi-Mu dalam ilmu ghaib, agar Engkau jadikan Al-Qur’an sebagai musim semi hatiku, cahaya pandanganku, terangnya kesedihanku dan hilangnya kekhawatiranku. (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim)

Jalan yang Sulit dan Rumit Lebih Mereka Sukai Daripada Jalan Islam

Orang yang tidak beragama tidak akan tahu jalan mana yang harus mereka tempuh, kecuali jalan berdasarkan dugaan mereka belaka. Sedangkan bagi orang-orang yang taat beragama, di hadapan mereka ada petunjuk-petunjuk suci melalui Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya. Mereka merenungkannya dan mengamalkannya. Lalu, mereka merasakan kebahagiaan yang tiada terkira. Jalan lurus itu pendek dan singkat. Begitu mudah dan sederhana. Tapi ternyata yang sulit dan rumit lebih disukai orang yang tidak beragama. Sehingga, jalan mereka lalui pun menjadi sulit.

Bisa saja kita menemukan orang-orang yang bahagia di kalangan orang yang tidak beragama, tetapi kebahagiaan mereka tidak akan bisa menyamai kebahagiaan orang-orang yang taat beragama. Orang yang yakin dengan pertolongan Allah, ketika mendapat ujian dan cobaan tidak membuatnya goyah dari keyakinan itu. Seperti halnya yang dialami para Nabi dan Rasul, orang-orang saleh, dan para syuhada.

Sesungguhnya kita belum mendapatkan contoh teladan kesabaran dari orang-orang yang tidak beragama. Seberapa panjang dan kuatkah kesabaran mereka. Bisakah mereka melampaui kesabaran Nabi dan Rasul atau yang dibawahnya atau bahkan yang dibawahnya lagi. Apakah kita mendapati para Nabi dan Rasul serta orang-orang saleh adalah orang-orang yang berputus asa? Justru ajaran Islam selalu membimbing mereka. Selalu mengarahkan mereka ke arah kebaikan, kemudahan, dan kebahagiaan. Apa yang mereka lakukan dan tinggalkan, semata-mata untuk kebahagiaan mereka.

Mari kita tadaburi salah satu ayat berikut:

Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)

Yang dimaksud dengan melampaui batas adalah berbuat dosa yang begitu banyak. Saking banyaknya, seolah-olah mereka menganggap bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa-dosanya itu. Lalu, Allah pun memberikan harapan kepada mereka: Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Selagi nyawa dikandung badan dan selagi engkau mau bertaubat, Allah masih bersedia mengampuni dosa-dosamu itu walaupun dosa-dosa itu sebanyak buih dilautan, pasir di pantai atau bintang-bintang dilangit. Karena, Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Maka tampaklah baginya fajar yang menyingsing menghadirkan pahala dan berlalulah malam yang mengusung bala. Tatkala matahari pahala mulai menyingsing, ia telah sampai pada tujuan dengan selamat, melewati segala bencana dengan penuh kesabaran.

Bukankah nilai-nilai spiritual ini adalah nilai-nilai yang mulia, yang lebih tinggi daripada nilai-nilai manapun? Tapi, mengapa mereka meremehkannya, menjauh darinya, bahkan mengatakan tidak beriman kepadanya? Bukankah hal ini berarti mereka menganggap diri mereka lebih hebat daripada Tuhan? Mereka menganggap bahwa mereka mampu membuat konsep yang lebih hebat daripada konsep Tuhan. Padahal yang ada, mereka hanya menunjukkan kebodohan mereka namun mereka tidak menyadarinya.

Al-Qur'an yang Menyembuhkan

"Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadi obat penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman..." (QS. Al-Isra: 82)

"Al Quran itu adalah petunjuk dan obat penawar bagi orang-orang yang beriman..." (QS. Fushshilat: 44)

Para dokter dan psikolog dewasa ini sering mengaitkan antara hati dan tubuh. Penyakit-penyakit hati bisa menimbulkan penyakit pada fisik. Stres yang berlebihan dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh dari menghadapi penyakit yang datangnya dari luar. Sebaliknya, ketika kita merasakan kebahagiaan, sistem kekebalan tubuh kita semakin meningkat.

Allah Swt. telah memberi petunjuk tentang salah satu obat mujarab bagi hati yang sakit. Yaitu dengan membaca Al-Qur'an secara teratur. Sekalipun pada saat itu pikiran kita sedang kacau, hati terasa lalai, Al-Qur'an akan memberikan penawarnya. Karena, Al-Qur'an adalah obat penawar (syifa) bagi hati-hati yang gelisah.

Dalam hal ini, Syaikh Sa'id Hawwa dalam buku Jundullah Tsaqafatan wa Akhlaqan berkata, "Bahwa seorang Mukmin, meskipun hatinya lalai dan berpaling dari kitabullah, tetapi jika mereka membiasakan serta memperbanyak baca Al-Qur'an secara teratur dan baik, maka penyakit yang diidapnya akan hilang dengan sendirinya. Sebab, sebagaimana Allah nyatakan, Al-Qur'an adalah obat bagi penyakit hati."

Benarlah apa yang dikatakan Syaikh Sa'id Hawwa itu, sesungguhnya saya juga merasakannya. Ketika saya jauh dari Al-Qur'an, hati saya semakin jauh dari kebenaran. Seolah-olah ada yang hilang dalam diri saya. Tetapi ketika saya membaca Al-Qur'an, meskipun kadang memulainya dengan rasa malas, timbullah semangat dalam diri saya. Allah membimbing saya ke arah jalan yang Dia ridhai. Dia memberi saya dorongan untuk beramal saleh yang lainnya. Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.