Selasa, 17 April 2012

Orang yang Berilmu adalah Orang yang Takut kepada Allah

إنما يخشى الله من عباده العلماء

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah orang-orang berilmu.” (QS. Fathir: 28)

Ibnu Abbas Ra. berkata tentang makna ayat ini, yaitu "orang-orang yang mengetahui bahwa Allah mampu atas segala sesuatu."

Dalam riwayat lain, beliau mengatakan, "Yaitu orang berilmu dengan Ar-Rahman, tidak berbuat syirik walaupun sedikit, menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram, menjaga perintah-Nya, dan dia yakin bahwa dia pasti bertemu dengan-Nya dan akan dihisab semua amalannya."

Rabi’ bin Anas berkata, “Barangsiapa yang tidak merasa takut kepada Allah bukanlah orang yang berilmu.”

Mujahid berkata, “Sesungguhnya orang yang alim adalah orang yang takut kepada Allah.”

Ibnu Mas’ud Ra. berkata, “Cukuplah takut kepada Allah sebagai ilmu dan cukuplah orang yang tertipu dengan amalannya sebagai kejahilan.”

Ditanyakan kepada Sa’ad bin Ibrahim, “Siapakah orang yang paling fakih di antara penduduk Madinah? Dia berkata, “Orang yang paling bertakwa kepada Tuhannya.”

Mujahid berkata, “Sesungguhnya orang yang paling faqih adalah orang yang paling takut kepada Allah.”

Ali bin Abi Thalib Ra. berkata, “Sesungguhnya orang yang benar-benar faqih adalah orang yang tidak berputus asa dari rahmat Allah, tidak bermudah-mudahan untuk bermaksiat kepada Allah, tidak merasa aman dari azab Allah, tidak meninggalkan Al-Qur’an karena lebih mencintai yang lain. Sesungguhnya tidak ada kebaikan dalam ibadah yang tidak ada ilmu tentangnya (ibadah tersebut) dan tidak ada ilmu kecuali harus faqih dan tidak dianggap membaca (Al-Qur’an dengan sebenar-benarnya) kecuali harus merenungkannya.”

Imam Ath-Thabari berkata, “Sesungguhnya orang yang benar-banar takut kepada Allah maka dia akan takut terhadap hukuman-Nya dengan melakukan ketaatan, mereka adalah para ulama’. Allah mampu terhadap segala sesuatu yang Dia kehendaki dan Dia melakukan sesuatu menurut kehendaknya. Orang yang mengetahui hal tersebut maka dia akan yakin dengan hukuman Allah disebabkan maksiatnya. Maka dia takut akan adzab-Nya.”

Said Bin Jubair berkata, “ خشيته (rasa takut) adalah sesuatu yang menjadi penghalang kamu dari mendurhakai Allah.”

Imam Hasan Al Bashri berkata, “Seseorang ulama adalah seseorang yang takut kepada Allah Yang Maha Pemurah padahal dia tidak melihatnya, dia mengharapkan apa yang ada disisi Allah dan menghindari sesuatu yang menjadikan Allah murka.

Ibnu Mas’ud Ra. berkata, “Sesungguhnya ilmu itu bukan karena banyak bicara (riwayat) tetapi ilmu itu karena banyaknya rasa takut kepada Allah.

Imam Malik berkata, “Sesungguhnya ilmu itu bukan karena banyaknya riwayat akan tetapi ilmu itu adalah cahaya yang Allah jadikan di dalam hati hambanya.”

Imam Az Zamakhsyari berkata, “Barangsiapa yang bertambah ilmunya maka bertambah pula rasa takutnya.... di dalam hadits disebutkan :أَعلمُكُم بِاللَّهِ أَشَدُّكُمْ لَهُ خَشْيَةً ‘Siapa di antara kamu yang paling tahu tentang Allah maka dialah yang paling banyak takut kepadaNya.’”

Masruq berkata, “Cukup seseorang dikatakan berilmu apabila dia takut kepada Allah. Dan cukup seseorang dikatakan bodoh apabila dia takjub dengan ilmunya.

Seseorang berkata kepada Imam Sya’bi, “Berilah aku nasehat! Wahai orang yang alim!” Maka Imam Sya’bi menjawab, “Orang yang alim adalah orang yang takut kepada Allah.

Imam Ibnu Asyur berkata dalam tafsirnya, “Kata 'innamaa’ pada ayat itu adalah untuk membatasi, maksudnya bahwa orang-orang yang bodoh itu tidak takut kepada Allah. Dan meraka adalah orang-orang musyrik karena sesungguhnya kekhususan sifat mereka (orang-orang musyrik) adalah bodoh (ketiadaan ilmu). Maka orang-orang yang beriman pada saat ini adalah para ulama. Sedangkan orang-orang musyrik adalah orang-orang jahiliyah dan ditiadakan dari mereka rasa khosyafullah (perasaan takut kepada Allah).”

Subhanallah, apakah sudah pantas disebut orang yang berilmu sementara mereka belum takut kepada Allah? Menurut ayat ini, mereka belumlah pantas. Sesungguhnya yang mereka dapatkan dari ilmu yang mereka pelajari baru sebatas kulit luarnya saja. Sedangkan makna ilmu tidak akan didapat kecuali dengan rasa takut kepada Allah yang dengannya mereka menjalankan perintah dan menjauhi segala larangan-Nya.

Orang-orang saleh sering menangis ketika menemukan ayat seperti ini. Mereka berkata, “Aku masih tidak takut kepada Allah. Aku belumlah pantas disebut orang yang berilmu.” Atau mereka menangis ketika tidak dapat memahami perumpamaan-perumpamaan yang Allah sampaikan dalam ayat-ayat-Nya. Seperti ayat yang menyebutkan, “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (QS. Al-Ankabut: 43) Lantas mereka berkata, “Aku belumlah pantas disebut orang yang berilmu.” Mereka senantiasa mengulang ayat-ayat itu untuk mereka renungkan dan menjadi cambuk agar menjadi hamba-Nya yang dimaksud ayat-ayat tersebut.

Ilmu tidak mungkin berada di hati orang yang senang berbuat maksiat. Jika ia dipelajari oleh mereka, niscaya ilmu itu tidak akan betah atau bertahan lama mendiami jiwa mereka. Dan akhirnya keluar dalam diri mereka guna mencari tempat yang sesuai dengan kedudukan dan keutamaannya.

Akhirnya kita mendapatkan ilmu tidak mampu mencegahnya dari kemungkaran atau mengingatkannya untuk terus beramal. Karena cahaya ilmu telah padam dalam jiwanya. Namun anehnya, orang seperti itu masih menganggap diri mereka berilmu. Mereka baru menyadari kelemahannya ketika bertemu dengan hamba-hamba-Nya yang berilmu dan takut kepada Allah. Maka kecerdasan mereka tidak ada artinya dibanding kecerdasan orang-orang yang bertakwa. Perkataan orang-orang yang bertakwa lebih bertenaga dibanding perkataan orang-orang yang fasik. Bahkan ketika diam pun, orang-orang yang bertakwa memancarkan cahaya kemuliaan yang tidak dimiliki orang-orang fasik meskipun orang-orang fasik itu berbicara dengan suara lantang.

Allah mengarahkan, memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya yang takut kepada-Nya. Allah memberikan keberkahan kepada mereka atas usaha mempelajari ilmu. Setiap ilmu yang dipelajari memberikan energi positif dalam diri mereka. Mereka berilmu kemudian beramal kemudian mendapat hikmah. Sungguh beruntunglah mereka mendapat hikmah itu. Mereka bertambah ilmunya, bertambah pula rasa takut kepada-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar