Minggu, 26 Mei 2013

Ketika Kekerasan Dianggap Wajar


Istri saya sering menegur saya ketika saya menyaksikan tayangan kekerasan di TV sementara anak saya berada di sebelah saya ikut menyaksikannya. Awalnya saya menganggap tayangan itu biasa-biasa saja. Hingga pada suatu hari saya menyadari kekeliruan saya itu. Yaitu setelah saya membaca sebuah buku berjudul High Tech High Touch karya John Naisbitt. Bagi saya buku ini sangat menggugah dan mencerahkan. Naisbitt bagai seorang filsuf yang membedah masalah kemanusiaan, agama, sains dan teknologi dalam satu kesatuan. 

Dibuku itu dijelaskan tentang Zona Mabuk Teknologi. Naisbitt menjelaskan beberapa poin penting masalah ini. Salah satunya adalah menganggap wajar kekerasan. Ketika kita menyaksikan tayangan kekerasan tanpa ada rasa bersalah, tanpa ada keinginan kuat untuk menghindarinya, tanpa memedulikan betapa lingkungan turut serta menyaksikannya, berarti kita sudah terperangkap dalam zona mabuk teknologi.

Pada suatu hari kita menyaksikan tawuran antar pelajar. Kita berkata dalam hati, itu hal yang biasa; lumrah di zaman modern ini, berarti kita sudah terjebak dalam zona mabuk teknologi. Namanya juga mabuk, maka hal positif bisa dipandang negatif dan hal negatif bisa dipandang positif. Hingga pada suatu ketika hati kita menganggap semua itu adalah hal yang wajar-wajar saja. 

Ketika kekerasan dianggap wajar, maka wajar pula kita melakukan kekerasan. Sebagai contoh, anak yang sering menyaksikan kekerasan, menurut sebuah penelitian, anak akan melakukan tindak kekerasan pada orang lain. Ia belajar dari pengalaman kemudian bereaksi sesuai yang ia pelajari. 

Studi dalam Ilmu Komunikasi telah mencatat beberapa penelitian dan teori dalam menjelaskan keterkaitan antara kekerasan di televisi dan pengaruhnya terhadap anak-anak. Albert Bandura melalui teori Social Learning and Social Cognitive telah melakukan penelitian eksperimental terhadap dua kelompok anak. Bandura mengumpulkan satu kelompok anak di dalam satu ruangan, dimana di dalamnya anak-anak dapat menonton televisi yang didesain memutar tayangan kekerasan, mereka menyediakan pula boneka yang disebut “Bobo Doll”

Kelompok anak yang lain mendapat satu ruangan dimana di dalamnya ada televisi, tetapi isinya tidak memutar tayangan kekerasan. Setelah beberapa waktu, pengamatan menunjukkan bahwa anak-anak pada kelompok pertama bereaksi dengan memukul “Bobo Doll” tersebut, seperti yang mereka lihat di televisi. Sementara pada kelompok kedua, anak-anak tidak menunjukkan reaksi seperti pada kelompok pertama.

Berdasarkan hasil penelitian eksperimental ini Bandura menyimpulkannya bagaimana kita belajar dari pengalaman langsung seperti halnya dari pengamatan atau permodelan. Dalam hal ini anak-anak telah belajar langsung berdasarkan pengamatan dan model yang mereka lihat di televisi. Saat mereka mengamati dan menyaksikan model di televisi melakukan kekerasan, anak-anak cenderung untuk melakukannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar