Rabu, 07 Maret 2012

Menuntut Ilmu Mempermudah Jalan Ke Surga

Penemuan teknologi yang kita lihat sekarang ini bukanlah hasil penemuan seorang saja. Biarpun kita mendengar, misalnya, pencipta pesawat terbang itu adalah Wright bersaudara. Tetapi Wright bersaudara tidak mungkin mampu menciptakan pesawat terbang tanpa ada inspirasi dari orang-orang yang sebelumnya berusaha menciptakan pesawat terbang. Dan orang-orang sebelumnya, tidak mungkin berusaha menciptakan pesawat terbang kecuali sudah mulai ada orang-orang yang berusaha untuk terbang di udara. Begitupun seterusnya. Manusia sejak pertama kali diciptakan diberi akal untuk berpikir.

Akal pikiran itu adalah anugerah Tuhan yang sangat luar biasa besar manfaatnya. Seorang yang tidak menggunakan anugerah ini dengan baik, berarti ia tidak bersyukur kepada Tuhannya. Ada seorang ilmuwan mengatakan bahwa akal manusia ini hampir tidak terbatas kapasitasnya. Ada ilmuwan yang lain mengatakan bahwa otak manusia tidak pernah mengalami kelelahan. Kalaupun ada hanyalah kelelahan fisik. Jika kelelahan fisik ini dapat kita atasi, selama apa pun kita berpikir, kita tak akan pernah lelah. Konon kabarnya orang sejenius Einstein baru menggunakan 5% dari kemampuan otaknya. Yang lain lagi mengatakan bahwa kita baru menggunakan 20% otak kita, namun sangat sedikit yang mencapai persentase itu, biasanya berkisar dibawah angka itu. Bukan main. Lantas, bagaimana dengan kita yang sering malas membaca dan berpikir?

Imam Abul Wafa bin Aqil al-Hanbali dikenal sebagi ahli fikih dan sastrawan. Dia telah membaca dan menulis banyak buku. Hari-harinya tidak terlepas dari keduanya. Dia berkata, “Tak halal bagiku menyia-nyiakan sejam pun dari umurku. Sampai-sampai bila lidahku sudah tak mampu untuk bertutur kata, dan penglihatanku tak bisa membaca, aku tetap menjalankan daya pikirku meskipun aku berbaring istirahat. Sehingga aku tak akan bangkit kecuali telah terlintas dalam pikiranku apa yang akan kutulis. Pada umur 80 tahun aku amat gemar kepada ilmu, yang tak kualami ketika aku masih berumur 20 tahunan.”

Dari penuturannya ini, Imam Abul Wafa tidak menjadikan kegiatan membaca dan menulis sebagai suatu beban, tetapi ia adalah pekerjaan yang mengasyikkan. Sehingga ia merasakan bahwa pada umur 80 tahun lebih gemar menuntut ilmu ketimbang pada usia 20 tahunan. Bukankah ini sesuatu yang luar biasa? Kisah ini adalah cambuk bagi kita, sampai sejauh mana kita menggunakan waktu yang ada untuk lebih tekun menuntut ilmu. Jangan sampai waktu yang tersedia kita habiskan hanya untuk menonton TV atau mengerjakan sesuatu hal yang tidak bermanfaat.

Pada suatu ketika seorang tabib datang mengobati Abu Bakar al-Anbari, ketika sakitnya amat kritis. Kemudian tabib itu memeriksa air seninya, lalu berkata: “Tuan telah melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh siapapun, sebenarnya apa yang telah tuan lakukan?” al-Anbari menjawab, “Aku membaca setiap pekan sebanyak 10.000 lembar.”

Sepuluh ribu lembar artinya dua puluh ribu halaman. Karena satu lembar sama dengan dua halaman. Suatu pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mencintai ilmu pengetahuan. Bagaimana dengan kita? Berapa halaman buku setiap harinya kita baca?

Saya teringat dengan sebuah kisah yang dituturkan Syaikh Muhammad al-Ghazali tentang ketekunan gurunya, Imam Hasan al-Banna, dalam membaca. Dituturkan bahwa dia melihat seluruh buku gurunya, yang berjumlah ribuan, sudah diberi komentar di pinggir-pinggir buku tersebut. Hal ini menandakan Imam Hasan al-Banna telah merampungkan membaca semua buku-buku tersebut, bahkan mungkin mengulang-ngulangnya kembali sehingga dia mampu memberikan komentar. Dari sini saja kita dapat mengambil pelajaran berharga. Siapa yang tidak mengenal Imam Hasan al-Banna? Di usianya yang masih belia, 23 tahun, dia telah mendirikan organisasi Islam yang kelak menjadi organisasi Islam terbesar dunia, Ikhwanul Muslimun. Untuk mendirikan organisasi tersebut, tentu bukan sebuah gagasan yang datang tiba-tiba, melainkan melalui proses perenungan yang panjang berdasarkan apa yang dia lihat, baca, dan rasakan.

Jika kita berkaca pada ilmu yang dimiliki orang-orang saleh, tentu kita malu karena ilmu mereka sangatlah luas. Di antara mereka ada yang sedikit tidur karena banyak membaca, ada yang diwaktu sakitnya tetap membaca, bahkan ada yang di kamar mandi tetap mendengarkan anaknya membaca. Mereka telah berjalan di atas landasan yang kokoh dan kuat. Jika mereka ditanya, mereka akan menjawabnya dengan ilmu. Jika mereka berkata, yang dikatakannya adalah ilmu. Jika mereka bertindak, didasarkan atas ilmu. Jika diam, karena ilmu menghendakinya diam. Sungguh luar biasa apa yang telah mereka lakukan dan persembahkan untuk kejayaan Islam.

Sudah seharusnya kehidupan yang sedang kita jalani dibangun dengan fondasi ilmu yang kuat, sehingga apabila angin bertiup kencang, kita tidak roboh. Dan apabila banjir menenggelamkannya, kita tidak tercabut dari akarnya. Mari kita menjadi manusia yang rajin membaca dan menuntut ilmu. Jika ada waktu luang, alangkah baiknya kita isi dengan membaca daripada melakukan suatu kegiatan yang tidak bermanfaat. Insya Allah, dengan semakin luas ilmu, mendorong kita untuk semakin banyak beramal yang mengantarkan kita menuju surga-Nya. Nabi Saw. bersabda,

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar