Sabtu, 22 Februari 2014

Malu dan Kehidupan

Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah berkata, “Al-Hayaa’ (malu) merupakan pecahan dari kata al-Hayaat (hidup). Hal ini karena sesuai dengan hidupnya hati seseorang yang mendorong untuk berperangai dengan sifat malu. Sedikitnya rasa malu merupakan tanda matinya hati dan ruh. Maka apabila hati itu hidup, rasa malunya akan lebih sempurna.” (Madarijus Salikin, 2/270)

Apa yang dikatakan Imam Ibnul Qayyim menunjukkan bahwa rasa malu timbul karena adanya adab yang baik, dan adab yang baik timbul karena hidupnya hati. Sedangkan hidupnya hati timbul dari tazkiyatun nafs. Tidak mungkin sesuatu yang hidup tanpa sesuatu itu diberi makan. Maka makanan bagi jiwa adalah dengan melakukan amal-amal yang mensucikan jiwanya. 

Benarlah hadits Rasulullah Saw. yang menyebutkan, "Sesungguhnya di antara apa yang didapati manusia dari kalam nubuwwah yang terdahulu adalah 'apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah semaumu'." (HR. Bukhari)


Sebuah sindiran yang tajam. Seolah beliau mengatakan orang yang tidak punya malu itu orang yang tidak baik; jauh dari kebaikan dan gemar pada kemaksiatan. Sebaliknya, orang yang punya malu itu orang yang baik; dekat pada kebaikan dan menjauhi kemaksiatan. Bagaimana tidak? Apakah orang yang berjilbab untuk menutup auratnya, menjaga kehormatannya disamakan dengan orang yang mengumbar auratnya? Apakah seorang pemuda yang rajin beribadah di masjid disamakan dengan pemuda yang gemar pergi ke diskotik? Apakah seorang beriman yang mengajak pada kebaikan disamakan dengan preman yang suka berbuat kerusakan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar