Senin, 30 Desember 2013

Tawadhu

Saya pertama kali bertemu dengan ustadz Yusuf Mansur sekitar tahun 2005 pada sebuah acara. Saya ingat, saat itu, ustadz Yusuf Manshur datang bersama dengan istri dan seorang anak perempuannya yang masih kecil. Bukan sebagai pembicara melainkan sebagai pengunjung biasa. Sempat ngobrol sejenak tapi saya anggap angin lalu saja. Saat itu saya tidak menyangka bila kelak beliau menjadi seorang ustadz terkenal. Dalam hati saya saat itu dan mungkin kebanyakan orang yang ada di tempat itu, tidak menganggapnya seorang ustadz. Buktinya, banyak orang tidak begitu memperhatikan beliau. 

Di kesempatan lain, pada suatu hari saya pernah mengikuti sebuah pengajian. Saat sang ustadz baru datang, saya mencurigai dalam hati, orang seperti ini ustadz? Sudah pendek, hitam, pendiam lagi. Tapi ketika ustadz tersebut mulai bicara di atas mimbar, saya dibuat kaget. Begitu memukau sekali ustadz tersebut dalam berceramah; menggetarkan sanubari, penuh dengan muatan ilmu, dan disampaikan dengan gaya berceramah yang sangat bagus. Orang-orang antusias sekali dalam mendengarnya. Tak terkecuali saya. Saya merasa malu kepada diri saya sendiri. Belum apa-apa saya sudah mencurigai dan menganggapnya bukan seorang ustadz. Padahal ustadz ini memiliki ilmu dan gaya penyampaian yang sangat memukau. 

Rasulullah Saw. "Barangsiapa bertawadhu karena Allah maka Allah meninggikannya." (HR. Abu Nu’aim dengan sanad hasan)

Mengenai hakikat tawadhu’ Imam Hasan Al Bashri menyampaikan, "Yakni ketika seseorang keluar dari rumahnya, maka ia tidak bertemu seorang Muslim pun kecuali ia menyangka bahwa ia (yang dijumpai itu-pent.) lebih baik dari dirinya sendiri (Az Zuhd karya Imam Ahmad, hal. 298).

Imam Al Ghazali menyampaikan mengenai tawadhu lebih terperinci, beliau berpesan, "Jika engkau melihat anak kecil, katakanlah dalam hatimu, ‘Ia belum pernah bermaksiat kepada Allah. Sedangkan aku telah bermaksiat. Tidak diragukan lagi bahwa ia lebih baik dariku.’ Jika engkau melihat orang yang lebih tua katakanlah, 'Orang ini telah beribadah sebelum aku melakukannya. Tidak diragukan lagi bahwa ia lebih baik dariku.’ Jika melihat orang alim (pandai), katakan, 'Orang ini telah memperoleh apa yang belum aku peroleh. Maka, bagaimana aku setara dengannya.’ Jika dia bodoh, katakan dalam hatimu, 'Orang ini bermaksiat dalam kebodohan, sedangkan aku bermaksiat dalam keadaan tahu. Maka, hujjah Allah terhadap diriku lebih kuat, dan aku tidak tahu bagaimana akhir hidupnya dan akhir hidupku.’ Jika orang itu kafir, katakan, 'Aku tidak tahu, bisa saja dia menjadi Muslim dan akhir hidupnya ditututup dengan amalan yang baik dan dengan keislamannya dosanya diampuni. Sedangkan aku, dan aku berlindung kepada Allah dari hal ini, bisa saja Allah menyesatkanku, hingga aku kufur dan menutup usia dengan amalan keburukan. Sehingga ia kelak termasuk mereka yang dekat dengan rahmat sedangkan aku jauh darinya.’” (Maraqi Al Ubudiyah, hal.79)

Merujuk dari Ibnu Al Athaillah, Al Allamah Al Munawi menyampaikan bahwa tawadhu’ hakiki adalah tawadhu’ yang timbul dari persaksian akan kebesaran Allah. Sehingga, tawadhu kepada manusia dengan berkeyakinan bahwa dirinya besar, maka hal itu bukanlah tawadhu’, namun serupa dengan takabur (Faidh Al Qadir, 6/141).

Semua dalil-dalil ini membuat saya semakin sadar dan malu kepada Allah, bahwa apa yang telah saya lakukan selama ini salah. Saya terlalu memperhatikan penampilan lahiriah seseorang dan hanya menghormati orang yang saya anggap terkenal dan terpandang. Akibatnya saya terjebak pada prasangka negatif yang pada akhirnya tidak terbukti kebenarannya. Semoga Allah mengampuni dosa saya ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar