Rabu, 25 Desember 2013

Ahli Multidisiplin Ilmu: Pelajaran dari Ulama Zaman Keemasan Islam

Hampir tidak mungkin orang yang belajar ilmu ekonomi tidak mengenal Paul A. Samuelson. Dialah penulis buku Economics yang kesohor itu. Tapi mungkin banyak orang yang tidak tahu jika dia adalah seorang profesor matematika dan bekerja di Laboratorium Radiasi universitas paling terkemuka saat ini, MIT.

Sejarah penulisan buku Economics dimulai saat Samuelson berusia 30 tahun. Saat itu atasannya menyuruhnya untuk menulis buku teks ilmu ekonomi mahasiswa MIT. Ilmu matematika sangat membantunya untuk menguasai ilmu ekonomi. Justru berkat pendekatan matematika dalam ilmu ekonomi, Samuelson berhasil meraih hadiah nobel ekonomi pada tahun 1975, menyingkirkan ilmuwan ekonomi lainnya yang notabene adalah guru besar "asli" ekonomi.

Jika Samuelson mampu menguasai dua bidang ilmu sekaligus, di zaman keemasan Islam, para ulama mampu menguasai lebih dari itu. Imam Abu Hanifah pernah berkata, "Bila memakai sandal adalah ilmu pengetahuan, maka aku akan mempelajarinya." Seperti itulah semangat kaum muslimin mempelajari ilmu pengetahuan. Mereka akan mempelajari seluruh cabang ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat itu.

Imam Syafi'i selain ahli dibidang fikih, ushul fikih, dan hadits, ternyata ahli juga dibidang sastra, ilmu firasat, hingga ilmu kedokteran. Untuk mempelajari sastra Arab, tak segan-segan ia berguru pada orang-orang Arab Badui dan bermukim bersama mereka selama beberapa bulan lamanya. Karena baginya, orang suku badui masih menguasai bahasa Arab yang murni (fushah). Bila menguasai bahasa Arab yang murni dengan sendirinya mudah memahami nash-nash agama yang notabene berbahasa Arab murni. Untuk masalah penguasaan ilmu kedokteran, seorang tabib pernah berdiskusi dengan Imam Syafi'i. Dia kaget, ternyata Imam Syafi'i sangat menguasai ilmu kedokteran yang berkembang saat itu.

Ahli fikih lain semisal Imam Al-Ghazali adalah pakar filsafat, mantiq, psikologi, politik, hingga ekonomi. Yang lain seperti Imam Ibnu Rusyd yang di Barat dikenal Averous, selain ahli fikih mazhab Maliki dan penulis Kitab Fikih Bidayatul Mujtahid, beliau juga dikenal ahli fisika, kimia, matematika, filsafat, dan kedokteran. Begitupun juga seperti Imam Ibnu Khaldun yang di Barat lebih dikenal sebagai pakar sosiologi, ternyata adalah seorang ulama dan ahli fikih di zamannya. Para ahli fikih itu banyak menguasai ilmu pengetahuan agar mereka dapat menjelaskan masalah-masalah keagamaan dengan jawaban yang benar dan tepat. 

Mengapa para ulama itu begitu bersemangat dalam mempelajari ilmu pengetahuan tak terkecuali? Jawabannya: awalnya mereka belajar ilmu agama. Mereka menghafal Al-Qur'an dan hadits. Mereka dapatkan di dalamnya banyak sekali keutamaan seputar menuntut ilmu. Jadilah mereka bersemangat karenanya. Semakin menjalankan syariat-Nya, semakin kuat dorongan untuk menuntut ilmu. 

Imam Ibnu Al-Jauzy berkata, "Orang-orang salaf pada zaman dulu, jika mempunyai anak, mereka mengajari anak-anak mereka dengan menghafal Al-Qur'an dan mendengarkan hadits. Jadilah iman anak-anak itu kokoh dan kuat. Akan tetapi, kini manusia tidak lagi demikian. Anak-anaknya banyaknya disibukkan dengan ilmu-ilmu orang kuno dan menjauhi hadits Rasulullah."

Rasulullah Saw. bersabda, "Didiklah anak-anakmu dengan tiga hal: mencintai Nabimu, mencintai keluarganya dan membaca Al-Qur'an. Sebab, orang-orang yang ahli Al-Qur'an itu berada dalam lindungan singgasana Allah pada hari tidak ada perlindungan selain daripada perlindungan-Nya beserta para Nabi dan orang-orang yang disucikan-Nya." (HR. Thabrani)

Dr. Abdullah Nashih Ulwan menjelaskan kandungan hadits ini dalam buku Tarbiyatul Aulad fil Islam jilid 1, "Rahasianya adalah agar anak-anak mampu meneladani perjalanan hidup orang-orang terdahulu, baik mengenai gerakan, kepahlawanan maupun jihad mereka; agar mereka juga memiliki keterkaitan sejarah, baik perasaan maupun kejayaannya; dan juga agar mereka terikat dengan Al-Qur'an baik semangat, metode maupun bacaannya."

Salah seorang sahabat Nabi yang bernama Sa'ad bin Abi Waqqash juga berkata, "Kami mengajar anak-anak kami tentang peperangan Rasulullah Saw. sebagaimana kami mengajarkan surah Al-Qur'an kepada mereka."

Filsuf muslim kenamaan, Imam Al-Ghazali di dalam kitabnya, Ihya Ulumuddin, memberikan wasiat sebagai berikut, "Dengan mengajarkan Al-Qur'an Al-Karim kepada anak-anak, hadits-hadits, hikayat orang-orang baik, kemudian beberapa hukum agama."

Sejarawan terkemuka, Imam Ibnu Khaldun, di dalam Muqadimah-nya, mengisyaratkan akan pentingnya mengajarkan dan menghafalkan Al-Qur'an kepada anak-anak. Ia juga menjelaskan bahwa pengajaran Al-Qur'an merupakan dasar bagi seluruh kurikulum sekolah di berbagai dunia Islam. Sebab, Al-Qur'an merupakan salah satu syiar agama yang dapat menguatkan akidah dan keimanan.

Ahli kedokteran muslim terkemuka, Ibnu Sina, dalam buku As-Siyasah memberikan nasihat agar seorang anak sejak kecil sudah mulai diajari Al-Qur'an. Hal ini dimaksudkan agar ia mampu menyerap bahasa Al-Qur'an serta tertanam dalam hati mereka ajaran-ajaran tentang keimanan.

Oleh karena itu, masa keemasan Islam tidak bisa dilepaskan dari pendidikan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sebagaimana hasil penelitian Dr. Osman Bakar -- filsuf dan ilmuwan Malaysia -- dalam bukunya yang berjudul Tauhid dan Sains, "Tak diragukan bahwa, secara relijius dan historis, asal-usul dan perkembangan semangat ilmiah dalam Islam berbeda dari asal-usul dan perkembangan hal yang sama di Barat. Tak ada yang lebih baik dalam mengilustrasikan sumber relijius semangat ilmiah dalam Islam ini daripada fakta bahwa semangat ini pertama kali terlihat dalam ilmu-ilmu agama."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar