Kamis, 02 Januari 2014

Ulama-Ulama Terkemuka adalah Mujahid Sejati

Saat ini, saya melihat, khususnya di Mesir, ada ulama yang mendukung orang-orang yang zalim untuk berkuasa. Yang lebih parah lagi dukungan itu berupa fatwa untuk membunuh orang-orang saleh yang berbeda pendapat dengan penguasa zalim. Kebencian mereka kepada Ikhwanul Muslimin membuat mereka menjadi buta dari kebenaran meskipun dari segi keilmuan orang-orang menyebutnya ulama. Mereka merekayasa dalil agar sesuai dengan hawa nafsu mereka. Sungguh mengerikan sekali akibatnya.

Saya dapati dalam sejarah, justru ulama-ulama terkemuka yang dicatat dalam sejarah adalah para ulama yang shaleh, teguh pendirian, jauh dari bermuka dua dihadapan para penguasa, dan membela kebenaran walaupun nyawa taruhannya. Sebut saja misalnya Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad, Imam Izz Abdus Salam, Imam Nawawi, Imam Ibnu Al-Jauzy, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Siapa yang tidak mengenal mereka? Di antara mereka ada yang disiksa, dihina, dan dipenjarakan hanya karena mengatakan kalimatul haq dihadapan penguasa zalim saat itu. Tetapi nama mereka senantiasa dikenang, dicatat sejarah dengan tinta emas. 

Sedangkan para ulama penjilat penguasa di mana mereka kini berada? Dalam lembaran sejarah mana nama mereka dipuja dan dipuji? Siapakah ulama dari kalangan mereka yang keahliannya melebihi ulama-ulama yang telah saya sebutkan di atas? 

Alangkah baiknya saya sebutkan tiga contoh ulama yang shalihin, amilin dan mujahidin. Semoga semakin bertambah kuat hujjah di atas.

Imam Abu Hanifah 
Berulang kali beliau menolak tawaran untuk menjadi Qadhi (hakim) dari penguasa setempat. Penguasa tersebut merasa direndahkan oleh penolakan itu. Akibatnya Abu Hanifah pun disiksa dan di penjara. Setiap berganti penguasa, beliau selalu menolak tawaran yang sama. Akibatnya beliau bernasib serupa seperti sebelumnya. Apa yang dikatakan Imam Abu Hanifah ketika menghadapi kezaliman ini? Beliau berkata, “Hukuman dera di dunia lebih ringan daripada hukuman neraka di akhirat nanti.” Hukuman inilah yang mengantarkan beliau pada kesyahidan. 

Mengapa Imam Abu Hanifah menolak tawaran menjadi Qadhi? Karena menjadi Qadhi pada saat itu hanya melegitimasi nafsu sang penguasa. 

Imam Malik bin Anas
Di antara ujian yang dideritanya pada tahun 146 H. adalah Khalifah Abu Ja’far melarangnya menyampaikan hadis yang berbunyi, “Tidak ada thalak bagi orang yang dipaksa.” Diam-diam, ada yang mananyakan kepada Imam Malik tentang hadits tersebut, hal ini mendorong sang Imam menyampaikan hadits ini ke khalayak. Mendengar demikian Ja’far bin Sulaiman, Gubernur Madinah memukul Imam Malik 30 kali, dalam riwayat lain lebih 30 kali dan ada yang mangatakan 70 kali, serta ada pula menyebutkan lebih dari itu. Sebagian perawi menyebutkan, penyebab Imam Malik dipukul dikarenakan fatwa, bahwa pengangkatan Abu Ja’far sebagai Khalifah tidak sah karena melalui paksaan.

Namun hukuman demi hukuman yang diderita, tidak membuat Imam Malik turun derajat, bahkan sebaliknya. Dirinya makin menjadi lebih terhormat dan masyhur di mata umat. Al-Hunaini teman Malik menuturkan, “Setelah menderita hukuman pukul, tangan Imam Malik menjadi kaku tidak dapat diangakat. Demi Allah, setelah ia dipukul, ia menjadi lebih terhormat dan lebih besar sehingga seakan-akan pukulan itu menjadi perhiasan baginya.” 

Al-Qarawi menguatkan, “Ketika Malik bin Anas dipukul dan disiksa, orang-orang datang menjenguknya ketika siuman, ia berkata, “Aku jadikan kalian saksi bahwa orang yang memukuliku aku maafkan.” Al-Qarawi melanjutkan, “Pada hari kedua, kami kembali menjenguk. Ternyata ia sudah dapat berdiri, lalu kami ucapkan sesuatu yang telah kami dengar darinya. Dan kepadanya kami berkata, ‘Engaku telah menderita seperti ini.’ Ia bertutur, “Kemarin aku takut meninggal lalu aku berjumpa dengan Rasulullah, dimana aku sangat malu kepada beliau jika sebagian muslim masuk neraka lantaran aku.” 

Al-Mutharrif berkomentar, “Aku dapati bekas cambukan di punggung Malik, aku telah memeriksanya dan nampaknya saat meraka mencambuknya, mereka membuka baju Imam Malik sehingga ia dapat meluruskan sorbannya karena babak belur pada pundaknya. Imam Malik sangat malu pada dirinya, saat pakaian yang menutupi dada dan pahanya terlepas akibat cambukan. Terbukanya paha lebih berat baginya daripada cambukan yang ia derita, ia lebih merasa sakit karena dadanya kelihatan ketimbang karena cambukan.” Begitulah sekelumit cerita tentang karakter kesabaran, konsistensi, dan perjuangan sang Imam dalam menyebar dan mempertahankan kebenaran, sesuatu yang sangat langka di era pragmatisme saat ini.

Imam Jalaluddin As-Suyuthi
Beliau diberi hadiah raja Ghuuri seorang budak perempuan dan uang banyak sebesar seribu dinar. Maka dikembalikannya uang itu sedangkan budak perempuan itu dimerdekakannya dan menjadikannya sebagai pelayan di hujrah Nabawi. Lalu ia berkata kepada sang penguasa itu, “Jangan berusaha memalingkan hanya dengan memberi hadiah semacam itu karena Allah telah menjadikan aku merasa tidak butuh dari hal-hal semacam itu.”

Oleh karena itu beliau rahimahullah dikenal sebagai seorang yang berani tapi beradab, semangat dalam menegakkan hukum-hukum syari’at dan mengamalkannya tanpa memihak kepada seorang pun. Tidak takut dalam kebenaran celaan orang yang mencela. Ia telah diminta untuk memberikan fatwa serta urusan-urusan yang bersangkutan dengan kehakiman, maka beliau tetap berusaha untuk adil dan menerapkan hukum-hukum dien tanpa memperdulikan kemarahan Umara’ maupun penguasa. Bahkan jika ia melihat ada Qadhi (hakim) yang menta’wilkan hukum sesuai dengan kehendak penguasa, bertujuan menjilat mereka maka beliau menentangnya dan menyatakan pengingkarannya serta cuci tangan darinya. Menerangkan kesalahannya, dan meluruskannya, seperti yang dikemukakannya dalam kitab “al-Istinshaar bil Wahid al-Qahhar.”

Siapapun kita tentu lebih senang dengan orang yang berilmu dan beramal ketimbang orang yang berilmu tapi tidak beramal atau sedikit amalnya. Karena bahasa amal lebih kuat pengaruhnya ketimbang bahasa lisan atau teori semata. Bila kita membaca buku-buku yang ditulis Imam Syafi'i, Imam Nawawi, dan para ulama shaleh lainnya, lihatlah juga sisi perjuangan mereka. Karena buku-buku itu hadir bersamaan dengan hinaan para penguasa yang zalim, siksaan yang mengantarkan syahadah, penolakan pada kebatilan, dan ketundukan hanya pada kebenaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar