Rabu, 07 Maret 2012

Berpikir Secara Mendalam

Pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berpikir adalah obor dan semen peradaban dimana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup dengan lebih sempurna.

Berpikir mencirikan hakikat manusia dan karena berpikirlah ia menjadi manusia. Berpikir pada dasarnya merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Gerak pemikiran ini dalam kegiatannya mempergunakan lambang yang berupa abstraksi dari obyek yang sedang kita pikirkan.

Meskipun kelihatannya tampak banyak dan beraneka ragamnya buah pemikiran itu namun pada hakikatnya upaya manusia dalam memperoleh pengetahuan didasarkan pada tiga masalah pokok yakni: Apakah yang ingin kita ketahui (ontology)? Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan (epistemology)? Dan apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita (axiology)?

Maka pengertian mendalam tentang hakikat ilmu, bukan saja akan mengikatkan apresiasi kita terhadap ilmu namun juga membuka mata kita terhadap berbagai kekurangannya. Mereka yang mendewa-dewakan ilmu sebagai satu-satunya sumber kebenaran biasanya tidak mengetahui hakikat ilmu yang sebenarnya. Demikian juga sebaliknya dengan mereka yang memalingkan muka dari ilmu, mereka yang tidak mau melihat kenyataan betapa ilmu telah membentuk peradaban seperti apa yang kita punya sekarang ini, kepicikan seperti itu kemungkinan besar disebabkan karena mereka kurang mengenal hakikat ilmu sebenarnya.

Menghadapi dua pola yang ekstrim ini seyogyanya kita harus berdiri di tengah dengan menyadari bahwa meskipun ilmu memang memberikan kebenaran keilmuwan bukanlah satu-satunya kebenaran dalam hidup kita ini. Terdapat berbagai sumber kebenaran lain yang memperkaya khazanah kehidupan kita, dan semua kebenaran itu mempunyai manfaat asal diletakkan pada tempatnya yang layak. Kehidupan terlalu rumit untuk dianalisis oleh satu jalan pemikiran.

Kunci dari semua itu adalah berpikir secara mendalam. Yang membedakan seorang muslim dengan orang kafir dalam proses berpikir adalah, seorang muslim selalu melibatkan seluruh indera yang ada dalam dirinya, baik indera lahir maupun indera batin. Kita akan dibawa pada inti seluruh permasalahan yang ada (hakikat) dan dengan mudah mampu menyibak tabir yang menyelubungi inti itu.

Kemampuan menyibak tabir ini terdapat banyak sekali dalam lintasan sejarah kehidupan manusia. Nabi Ibrahim as. sebagai salah satu contoh baik dalam hal ini. Ditengah lingkungan masyarakat penyembah berhala, dakwah ilahiah bagai diterpa deburan ombak besar yang siap menelan dirinya. Akan tetapi, Ibrahimlah yang benar karena sejalan dengan fitrahnya. Dengan berpikir secara mendalam ‘membaca’ fenomena alam sederhana berupa terbit dan tenggelamnya bintang, bulan dan matahari, ia mampu melihat isyarat keberadaan Allah Sang Pencipta.

Mari kita dengar kisah yang lain, tentang pengalaman spiritual yang sangat penting yang dialami oleh Abul Hasan al-Asy’ari, diceritakan bahwa selama lima belas hari beliau berdiam diri dirumahnya untuk merenungkan, berpikir, mempelajari dan mohon petunjuk kepada Allah sehingga beliau menemukan kemantapan dan keteguhan dalam jiwanya. Kemudian mengambil keputusan untuk melepaskan diri dari paham Mu’tazilah, adalah suatu dosa dan merupakan sikap kemunafikan belaka oleh karenanya, beliau segera melangkah ke Masjid Jami’ Basrah, mengambil tempat duduk dan kemudian dengan suara lantang beliau berkata: “Barangsiapa telah memanggilku, maka sungguh aku telah mengenalnya. Dan barangsiapa belum kenal aku, maka aku akan memperkenalkan diriku kepadanya. Aku adalah Fulan bin Fulan. Aku telah mengatakan al-Quran adalah makhluk dan bahwa Allah tidak bisa dilihat oleh mata. Sungguh aku telah berbuat kesalahan. Maka kini aku telah bertaubat. Aku mengatakan menolak paham Mu’tazilah dan aku keluar dari golongan mereka”. Sejak itu Imam Abul Hasan al-Asy’ari menjadi pendukung utama Ahlussunnah sekaligus penentang utama Mu’tazilah.

Proses berpikir secara mendalam ini juga dialami oleh pemikir besar dalam sejarah Islam, Imam al-Ghazali. Imam al-Ghazali berkelana menuntut ilmu, menyibak tabir hakikat, meneliti suatu paham secara mendalam kemudian membongkar kesalahan dan kepalsuannya dan jatuh pada satu titik kesimpulan yaitu menjalani proses spiritual sufistik. Dalam tulisannya, al-Ghazali berkata: “Sejak muda hingga saat ini, ketika usiaku menjelang lima puluh tahun, kuarungi ombak lautan yang dalam ini, kutemukan berbagai rahasia aliran semua kelompok. Aku tidak meninggalkan kelompok batiniah kecuali telah kutelaah kebatiniahannya. Aku tidak meninggalkan kelompok zhahiri kecuali telah kutelaah kezhahiriannya. Tidak kutinggalkan kelompok filosof kecuali setelah aku menguasai hakikat filsafatnya. Tidak kutinggalkan kelompok teologis (kalam) kecuali aku telah benar-benar mengkaji puncak teologis dan perdebatannya, tidak kuabaikan kelompok sufi kecuali aku telah menelusuri rahasia kesufiannya, tidak juga kelompok zindik kecuali aku telah meneliti sebab-sebab di balik keberanian dan kezindikannya. Rasa penasaran untuk mengetahui hakikat semua persoalan diatas selalu menghantuiku sejak aku masih muda. Tampaknya, hal itu merupakan instink dan fitrah dari Allah Swt. yang disimpan dalam benakku, bukan karena kemauan dan keinginanku...”

Demikian sedikit contoh dari perjalanan keilmuwan cerdik pandai orang-orang yang tercerahkan hidupnya. Dari sanalah kita ambil hikmah dan pelajaran berharga, bahwa kebijaksanaan itu datang ketika kita mampu berpikir secara mendalam dalam ruang lingkup sunnatullah. Allah SWT berfirman:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنفَعُ النَّاسَ وَمَآأَنزَلَ اللهُ مِنَ السَّمَآءِ مِن مَّآءٍ فَأَحْيَا بِهِ اْلأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِن كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ لأَيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh terdapat tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (Al Baqarah: 164).

Kepada merekalah, yang ingin mendapatkan kepuasan berpikir keilmuwan, mereka yang menganggap berpikir bukan sebagai suatu beban namun petualangan yang mengasyikkan, mereka yang melihat kebenaran sebagai tujuan utama berkehidupan, mereka yang ingin mengkaji hakikat kehidupan dengan lebih mendalam, maka kepada merekalah tulisan ini dipersembahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar