“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar, dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajdah: 24)
Karena mereka bersabar dalam menjalankan perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya, membenarkan para Rasul-Nya dan mengikuti apa yang mereka bawa. Maka, sebagian mereka menjadi pemimpin yang menunjukkan manusia kepada kebenaran dengan perintah-Nya; pemimpin yang menyeru kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran.
Namun, ketika mereka mengganti, mengubah, dan menyelewengkan maka kedudukan itu dirampas dari mereka, lalu hati mereka menjadi keras. Mereka mengubah firman dari ketentuan pemakaiannya sehingga tiada lagi amal saleh dan keyakinan yang benar.
Demikian penjelasan singkat ayat ini yang disampaikan Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya. Penjelasan ini mengajak saya untuk merenungkannya lebih dalam lagi. Bahwa kemaksiatan dan kelalaian kita dari menegakkan ayat-ayat Allah dalam diri kita, menyebabkan keyakinan kita kepada janji-janji Allah semakin berkurang, dan akhirnya hilang sama sekali. Kita menjadi putus asa dan lemah semangat. Kita melangkah dengan langkah gontai; tanpa tujuan dan merasa ragu.
Mari kita mengambil ibrah dari sejarah hidup orang-orang saleh, bagaimana waktu yang panjang tidak memalingkan mereka dari kebenaran. Karena, mereka yakin dengan janji-janji Allah atas diri mereka. Mereka yakin bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan mereka karena telah berbuat apa yang Allah perintah dan menjauhi apa yang Dia larang. Allah pasti akan menunaikan janji-Nya. Allah lebih tahu kapan janji-Nya itu akan terlaksana. Seperti halnya kesabaran Nabi Nuh As. yang mendakwahi kaumnya selama 950 tahun. Di antara kaumnya hanya sedikit yang beriman. Serahkan hasilnya kepada Allah karena Allah tahu mana yang terbaik untuk kita. Jika setiap proses kita lalui dengan penuh kesabaran dan keyakinan maka hasilnya terlihat dari kebijaksanaan dan kearifan Nabi Nuh.
Lihat juga kesabaran Nabi Ibrahim dan Nabi Zakaria memohon kepada Allah dalam menanti kehadiran buah hati. Hingga usia tua mereka sabar dan berdoa. Allah akhirnya memberikan apa yang mereka inginkan. Kesabaran dan kesalehan orangtua menjadi teladan bagi anak-anaknya. Dari rahim istri Nabi-Nabi tersebut, lahirlah Nabi Ishaq dan Nabi Yahya. Nabi Ibrahim berkata, berputus asa dari rahmat Allah hanya ada pada diri orang-orang kafir.
Apa yang terjadi pada istri Nabi Ibrahim dan istri Nabi Zakaria sulit dipahami oleh akal, tetapi apa yang Allah inginkan sangat mudah Dia wujudkan. Tidak ada yang menghalangi kebesaran dan kekuasaan-Nya meskipun seluruh makhluk-Nya mencegahnya. Itulah kehendak Allah terjadi berkat kesabaran kedua Nabi tersebut. Keyakinan mereka begitu kuat, ibarat karang di tengah lautan. Meskipun diterpa ombak yang dahsyat, mereka tidak bergeming dan ingin berpindah pada wujud keyakinan lain. Bagaimana mungkin Dia melupakan mereka, sedang Dia Maha Melihat dan Maha Mendengar. Bagaimana mungkin Dia dapat dikalahkan, sedang Dia Maha Perkasa lagi Maha Gagah.
Lihat juga kesabaran Nabi Ayyub yang ditimpa penyakit yang membuatnya payah. Seluruh harta bendanya habis, dan istri-istrinya meninggalkannya kecuali seorang. Kemudian istri yang satu ini lama kelamaan tidak tahan dengan penderitaan yang dialami suaminya. Ia ingin berpisah dari Nabi Ayyub. Nabi Ayyub bertanya kepada istrinya, “Sudah berapa lama kita hidup makmur dan bergelimang kenikmatan?” Istrinya menjawab, “Delapan puluh tahun.” Nabi Ayyub bertanya lagi, “Lalu, berapa lama kita hidup dalam penderitaan?” Istrinya menjawab, “Tujuh tahun.”
Pertanyaan Nabi Ayyub memberi kita pelajaran berharga bahwa jika dibandingkan dengan kenikmatan yang telah Allah berikan, jumlahnya jauh lebih banyak daripada penderitaan yang kita rasakan. Mengapa orang menyibukkan diri dengan hilangnya satu kenikmatan, tetapi ia melupakan nikmat lain yang jumlahnya jauh lebih banyak. Sesungguhnya, hal itu terjadi karena sebagian besar kita bukanlah orang yang pandai bersyukur. Kita menutup mata dari melihat kenikmatan-kenikmatan itu, dan membuka mata dari melihat penderitaan yang menimpa kita. Seolah-olah kita hendak mengatakan, “Diriku adalah penderitaan itu sendiri. Setiap hari aku menderita.” Dia menderita bukan karena penderitaan itu sendiri, tetapi dia menderita karena kufur nikmat.
Nabi Ayyub tetap yakin dan pendiriannya tidak goyah oleh penderitaan yang dirasakannya. Dia tidak mengeluh kecuali hanya kepada Allah Tuhan semesta alam. Dia berkata, “Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.” (QS. Yusuf: 86). Ya, sungguh tepat apa yang dilakukan Nabi Ayyub. Semoga kita dapat meneladaninya. Ketika kita mengeluh kepada teman-teman kita, kadang ada rasa bosan dihati mereka, kadang keluhan kita tidak didengarkan, kadang juga bisa membuat mereka marah, dan membuat mereka muak dengan diri kita. Tetapi jika kita mengeluh kepada Allah, sepanjang apapun keluhan itu tidak akan membuat-Nya bosan. Bahkan kitalah yang justru bosan sendiri. Dia akan mendengarkan setiap keluhan kita karena Dia Maha Mendengar. Setiap keluhan kita yang disertai tangisan, kerendahan diri dan kehinaan diri membuat-Nya menaruh belas kasihan kepada kita. Karena, Dia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dia malu ketika hamba-Nya menengadahkan tangan tetapi tidak memberinya apapun.
Karena kesabaran dan ketaatannya kepada Allah, kemudian Dia angkat Nabi Ayyub dari lembah penderitaan ke puncak kemuliaan. Allah kembalikan semua yang hilang darinya, bahkan Allah memberinya nikmat yang jauh lebih banyak daripada sebelumnya. Bukankah Allah akan menambah nikmat orang-orang yang bersyukur? Allah juga memuji Nabi Ayyub dalam firman-Nya, “Kami mendapati dia (Ayyub) seorang yang sabar.” (QS. Shaad: 44). Inilah takdir Allah yang baik. Sedangkan usaha kita sebagai hamba-Nya hanyalah berusaha bersabar dan terus berlatih kesabaran agar kita memperoleh kesabaran itu sendiri.
Coba kita juga renungkan kisah Nabi Yusuf. Sejak usia remaja harus berpisah dari kedua orangtuanya yang sangat mencintainya. Dibuang ke dalam sebuah sumur oleh saudara-saudaranya yang iri kepadanya. Kemudian dijual sebagai budak oleh orang yang telah menemukannya di sumur itu. Setelah itu difitnah dan dimasukkan ke dalam penjara karena dituduh hendak memperkosa seorang wanita. Padahal wanita itulah yang sangat menginginkannya, sedangkan Nabi Yusuf adalah orang yang sangat takut kepada Allah. Biarkan aku masuk penjara jika penjara itu lebih baik bagiku, demikian Nabi Yusuf berkata.
Lihatlah, betapa banyaknya penderitaan yang dialami oleh Nabi Yusuf. Jika dibandingkan dengan penderitaan kita tentu tak sebanding. Karena ujian dan cobaan yang diberikan Allah kepada para Nabi adalah yang terberat yang pernah diberikan kepada hamba-hamba-Nya. Tetapi mengapa sebagian kita mengeluh jika penderitaan yang dirinya alami, seolah penderitaan terberat yang pernah dialami umat manusia dan seolah hidupnya adalah penderitaan itu sendiri?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar