Senin, 13 Januari 2014

Ketika Penyeru Kebajikan Dikatakan Sebagai Orang Munafik

dakwatuna.com – Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama tidak mengerti mengapa PP Muhammadiyah menolak usulan pembangunan lokalisasi prostitusi di DKI.
Pria yang akrab disapa Ahok ini pun mengaku tidak setuju dengan legalisasi prostitusi. Namun, menurutnya masyarakat DKI tidak perlu munafik menutupi keberadaan prostitusi yang kian menjamur di Ibukota.

“Saya juga nggak setuju ada legalisasi prostitusi. Persoalannya, jangan munafik, emang nggak ada prostitusi di DKI?? ngapain munafik? itu aku nyindir aja,” ujar Ahok di Balaikota, Jakarta Pusat, Selasa (31/12).

Sebelumnya, Koordinator Divisi Dakwah Khusus Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Agus Tri Sundari mengatakan, Muhhamdiyah menolak keras ide Ahok membangun lokalisasi prostitusi di Jakarta. Menurutnya, prostitusi seharusnya tidak dikembangkan, melainkan diberantas hingga ke akarnya.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/01/02/44180/muhammadiyah-tolak-lokalisasi-prostitusi-ahok-jangan-munafik/#ixzz2qJFbAo78 

Komentar:

Ketika ada seorang muslim mengingatkan atau melarang seseorang atau sekelompok orang dari berbuat maksiat, tapi kemudian ditanggapi dengan perkataan, "Jangan munafik!", sesungguhnya mereka sedang berburuk sangka kepada penyeru itu. Betapa tidak? Mereka menganggap semua orang meskipun saleh, pasti pernah melakukan maksiat serupa.

Kata-kata "Jangan munafik!" pada hakikatnya lebih karena ingin menghentikan nasehat si penyeru itu. Kalau mereka punya hati yang tulus dan niat yang baik, semua nasehat itu ia terima dengan lapang dada. Bukan dengan perkataan seperti itu. Allah berfirman: “Dan apabila dikatakan kepadanya: 'Bertakwalah kepada Allah', bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka jahannam. dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya.” (QS. 2: 206)

Atau juga perkataan itu bisa ditafsirkan, "Kalian ini bisanya hanya menyeru orang untuk menjauhi kemaksiatan tetapi diam-diam suka melakukan kemaksiatan itu. Kalian ini benar-benar munafik!"

Jadi menurut mereka, orang yang berbuat maksiat terang-terangan masih lebih baik daripada orang yang diam-diam berbuat maksiat. Apakah anggapan ini benar? Jelas tidak. Karena orang yang berbuat maksiat diam-diam dosanya lebih kecil dibanding orang yang berbuat dosa terang-terangan. Orang yang berbuat dosa terang-terangan bisa dicontoh orang yang melihatnya. Akibatnya dosanya jauh lebih besar daripada jika dilakukan diam-diam.

Rasulullah Saw. bersabda, "Barangsiapa yang mempelopori suatu jalan keburukan, lalu ditiru orang lain setelahnya, maka ditulis baginya setiap dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa orang yang mengikutinya." (HR. Muslilm)

Jika demikian, betapa banyak dosa mereka itu!

Rasulullah Saw. bersabda, "Semua umatku dimaafkan dosanya (mu'afa) kecuali orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa (mujaharah). Dan termasuk mujaharah adalah orang yang berbuat di waktu malam yang gelap kemudian pagi harinya diceritakan pada orang lain padahal semalaman itu Allah menutupinya sedangkan pagi harinya ia membuka sendiri apa yang ditutupi oleh Allah." (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan dalam kitabnya, Fathul Bari: "Ada dua pendapat ulama berkaitan dengan maksud kata mu’afa di dalam hadits ini. Pertama, dimaafkan dosanya oleh Allah. Yaitu, setiap orang dari umat ini dimaafkan dosanya dan tidak akan disiksa, kecuali orang fasik yang secara terang-terangan melakukan kemaksiatan. Kedua, setiap umat Islam tidak boleh dighibah, kecuali orang yang secara terang-terangan melakukan kemaksiatan."

Imam Al-Khirmani ra turut menjelaskan hadits tersebut bahwa, "Setiap orang dari umat ini diampuni dosanya dan tidak disiksa karenanya, kecuali orang fasik yang memamerkan dosanya."

Orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa berarti juga telah kehilangan rasa malunya. Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya di antara yang didapatkan manusia dari perkataan para Nabi adalah, apabila kamu tidak memiliki rasa malu, maka berbuatlah sesukamu." (HR. Bukhari)

Sungguh sabda Nabi ini adalah teguran yang sangat keras bagi orang-orang yang menyadarinya. Seolah beliau mengatakan orang yang tidak punya malu bukanlah orang yang beriman karena orang yang beriman selalu mengontrol dirinya dari berbuat semaunya sendiri. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi, "Iman dan malu merupakan pasangan dalam segala situasi dan kondisi. Apabila rasa malu sudah tidak ada, maka iman pun sirna." (HR. Al-Hakim).

Jadi, perkataan "jangan munafik" yang diarahkan kepada para penyeru kebajikan adalah perkataan yang batil, dosa, dan seorang mukmin sudah seharusnya menjauhi perkataan seperti ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar