Rabu, 01 Januari 2014

Kristenisasi Di Tanah Jawa

Sewaktu di China, saya bertemu dengan beberapa orang dari Indonesia. Mereka ada yang muslim, dan kebanyakan non muslim. Dalam satu kesempatan, kami makan bersama dalam satu restoran. Antara meja makan muslim dan non muslim terpisah. Sebabnya, kami yang muslim hanya mau memakan makanan yang halal. Sedangkan yang non muslim bebas makan apa saja termasuk makan daging babi dan minum minuman keras.

Pada acara makan bersama itu, seseorang datang bergabung bersama kami. Kami bertanya mengapa tidak bergabung dengan keluarganya. Dengan logat jawanya yang khas dia menjawab jika dirinya adalah seorang muslim tapi istri dan saudaranya beragama Kristen. Mendengar hal itu saya tidak terkejut tapi saya diam. Sementara teman-teman saya yang lain terkejut dan bertanya lebih lanjut, apa agama istri bapak saat menikah dengan bapak. Jawabannya kembali mengejutkan mereka, Islam. Bagaimana dengan anak-anak bapak? Tanya mereka kembali. Penasaran. Jawabannya lagi-lagi mengejutkan, ada yang Islam ada yang Kristen. Jadi dalam satu keluarga ada yang Islam dan ada pula yang Kristen. Teman-teman saya tidak bertanya lebih lanjut mungkin karena takut menyinggung perasaan orang yang bersangkutan.

Saya tidak terkejut mendengar pengakuan orang jawa tersebut karena sudah sering mendengar hal yang serupa, tapi di sisi lain saya sangat sedih. Artinya, bertambahlah di negeri ini orang yang murtad. Saya pernah tinggal di Jawa Tengah tepatnya di Kabupaten Rembang selama lima tahun. Dua tahun lamanya saya beserta keluarga mengontrak rumah milik seorang Nasrani yang dulunya adalah muslim. Kami mengontrak di rumah itu karena rumah itu dekat dengan masjid. Hanya terhalang satu rumah yang notabene adalah rumah si empunya kontrakan. Bayangkan di depan masjid se arah kiblat dan dindingnya berdempetan dengan masjid, tinggal satu keluarga Nasrani. Tidak hanya itu, di belakang rumah saya juga tinggal sekeluarga murtadin lainnya. Orangnya miskin, rumahnya semi permanen. Kabarnya, keluarga itu murtad dengan diiming-imingi imbalan materi. Saat itu saya tidak terlalu peduli karena mungkin masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Tapi semakin beranjak usia, saya merasa sedih dan semakin sedih ketika wawasan dan keilmuan saya tentang Kristenisasi dan Kristologi bertambah.

Mengapa kristenisasi di tanah jawa begitu mudah dilakukan oleh para misionarisnya? Mengapa kristenisasi sulit dilakukan pada orang melayu dan sunda? Setelah saya pelajari ditambah dengan sedikit pengalaman saya dalam berinteraksi dengan murtadin, saya berkesimpulan sebagai berikut:

Pertama, masih mengakarnya tradisi kejawen pada orang-orang jawa. Walaupun identitas di KTP tertulis "Islam" tapi mereka tidak pernah melaksanakan ajaran Islam, misalnya seperti Shalat dan berpuasa di bulan Ramadhan. Bagi mereka yang paling utama adalah berakhlak baik kepada sesama. Akibatnya mereka tidak punya akidah yang kuat. Mau dibawa kemana pun mereka mau. Ketika para misionaris menyerukan agama Kristen kepada mereka dan mengatakan kepada mereka bahwa seruan itu sesungguhnya sangat berkesesuaian dengan keyakinan mereka. Bila mereka menaruh patung di rumah mereka sebagai pajangan ataupun sesajian, di dalam agama Kristen juga ada patung, yaitu patung Yesus Kristus dan Bunda Maria.

Kedua, salah satu siasat kaum misionaris adalah menjauhkan bahasa dan budaya melayu pada orang-orang jawa. Karena menurut mereka, bahasa dan budaya melayu sangat dekat dengan orang Islam. Dalam buku ”Mengkristenkan Jawa: Dukungan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap Penetrasi Misi Kristen” karya Muhammad Isa Anshory disebutkan bahwa J.D. Wolterbeek mengatakan, “Bahasa Melayu yang erat hubungannya dengan Islam merupakan suatu bahaya besar untuk orang Kristen Jawa yang mencintai Tuhannya dan juga bangsanya.”

Senada dengan ini, Imam Yesuit Frans van Lith berpendapat, dua bahasa di sekolah-sekolah dasar (yaitu bahasa Jawa dan Belanda) adalah batasannya. Bahasa ketiga hanya mungkin bila kedua bahasa yang lain dianggap tidak memadai. Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara. Jadi, sangat berbahaya jika orang-orang jawa juga berbahasa dan berbudaya melayu. Orang Sumatra Barat yang melayu, misalnya, punya slogan leluhur, "Adat Basandi Syara, Syara Basandi Kitabullah." Sangat jauh berbeda dengan orang Jawa yang tidak punya slogan seperti itu.

Ketiga, kultur jawa yang nrimo, sopan, dan lemah lembut dimanfaatkan oleh para misionaris untuk menyebarkan agama Kristen. Beragama apapun yang penting sopan dan lemah lembut. Meskipun di dalam satu keluarga ada yang beragama Islam dan ada yang beragama Kristen. Siapa tahu pada gilirannya nanti yang beragama Islam ikut-ikutan murtad. Berbeda sekali, misalnya, dengan orang Sunda atau Betawi. Bila ada satu anggota keluarga yang murtad maka keluarga yang muslim akan menjauhi keluarga yang murtad itu. Karena bagi orang sunda, bila ada orang sunda bukan muslim maka bukan orang sunda namanya. Orang Betawi pun hampir sama. Meskipun pemabuk atau preman, misalnya, kalau sudah menyangkut masalah agama, mereka akan segera bertindak. Karakter orang betawi bisa kita lihat pada organisasi semacam FPI dan FBR.

Ketiga hal inilah menurut saya yang menyebabkan orang Jawa begitu mudah di Kristenkan. Bukannya orang melayu dan sunda saat ini tidak ada yang murtad, tapi apa yang terjadi di Jawa, pemurtadan itu terlihat dengan jelas dan tidak takut. Sedangkan kristenisasi yang terjadi pada orang melayu dan sunda mereka lakukan secara sembunyi-sembunyi. Bila ketahuan belangnya, maka tidak segan-segan umat Islam akan segera bertindak, seperti yang pernah terjadi pada sebuah acara di Kota Bandung beberapa tahun yang lalu. Kristenisasi dibungkus dengan sebuah acara yang diberi nama "Bandung Festival".

Dari segi perpolitikan Indonesia pun dapat terlihat, Partai Islam Masyumi menang di basis-basis melayu, sunda, dan betawi. Sedangkan jawa dikuasai oleh PNI yang sekuler dan PKI yang ateis. Peta perpolitikan seperti itu hingga saat ini belum bergeser. Melihat hal ini saja para misionaris itu dapat dengan mudah melakukan kristenisasi. Mengutip kesimpulan seorang anggota muda Yesuit, Karel Steenbrink mengatakan: "Barangkali tidak ada wilayah misi lain di seantero dunia dimana imam pribumi dikembangkan sedemikian cepat dan berhasil seperti di Jawa Tengah.”

Semoga kita, khususnya muslim di jawa tengah, segera menyadari bahaya kristenisasi dilingkungan kita. Bila salah satu dari pasangan suami istri ada yang murtad maka otomatis pernikahannya menjadi batal menurut syara, serta anak-anaknya yang ikut murtad, tidak berhak mendapatkan harta warisan dari orangtuanya. Bila anak-anaknya murtad, orangtua tidak akan mendapatkan amal jariyah, yaitu amal saleh yang tetap mengalir hingga hari kiamat meskipun orang yang beramal itu wafat. Karena sebaik dan sebanyak apapun doa orang kafir untuk orangtuanya tetap saja tidak akan bermanfaat sama sekali. Oleh karena itu, sangat menyedihkan bila ada muslim yang murtad. Mereka menderita di dunia dan akhirat.

4 komentar:

  1. saya malah bersyukur bahwa suku Jawa yang mayoritas di Indonesia ini,punya nilai yang tidak mudah diarabkan. Kebanggaan sebagai jawa merupakan benteng dari radikalisasi yang menguat akhir2 ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukankah basis wali Sanga itu di Jawa ya, sunan kalijaga, sunan Bonang, sunan Kudus, sunan Ampel, dll, sedangkan ditanah Sunda cuma satu wali yaitu sunan gunung jati

      Hapus
  2. saya malah bersyukur bahwa suku Jawa yang mayoritas di Indonesia ini,punya nilai yang tidak mudah diarabkan. Kebanggaan sebagai jawa merupakan benteng dari radikalisasi yang menguat akhir2 ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. goblok kowe. teroris ki akeh wong jawa. justru karena akeh wong jawa sing pemahaman Islam kurang sehingga wong jawa banyak yang murtad atau jadi teroris

      Hapus