Selasa, 20 Maret 2012

Bagaimana Bermuhasabah?

Orang yang cerdas adalah orang yang menghisab dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian. Orang yang lemah adalah yang mengikuti hawa nafsunya dan hanya berangan-angan kepada Allah.

Imam al-Qurthubi merasa sedih. Konsentrasinya buyar. Ia merasa bahwa yang terjadi ini karena tidak mengerjakan shalat tahajud semalam. Imam Ibnu Taimiyah merasakan apabila tidak berdzikir, separuh badannya terasa lumpuh. Beliau mengibaratkan dirinya dengan dzikir seperti ikan dengan air. Fudhail bin Iyadh merasakan bahwa akibat dari maksiat yang beliau lakukan dapat dilihat dari tingkah laku pembantu dan hewan tunggangannya.

Seorang ulama saleh bernama Taubah bin ash-Shimmah biasa mengintrospeksi dirinya sendiri. Suatu hari dia menghitung-hitung, selagi sudah berumur enam puluh tahun. Dia menghitung-hitung hari-hari yang pernah dilewatinya, yaitu sebanyak sebelas ribu hari lebih lima ratus hari. Tiba-tiba saja dia tersentak dan berkata, "Aduhai celaka aku! Apakah aku harus bertemu Allah dengan membawa sebelas ribu limaratus dosa?" Setelah itu dia langsung pingsan dan seketika itu pula dia meninggal dunia. Pada saat itu orang-orang mendengar suara, "Dia sedang meniti ke surga Firdaus."

Sahabatku, begitulah kepekaan seorang mukmin. Mereka senantiasa menghadirkan muhasabah dalam kehidupan mereka. Mereka melihat ke dalam diri mereka; adakah yang salah atau kurang dalam amal mereka. Airmata mereka tumpah ketika mengingat dosa-dosa dimasa lalu, adakah Allah mengampuninya? Ataukah kelak Allah akan mengazabnya? Hingga kemudian mereka melakukan perbaikan-perbaikan.

Boleh jadi seseorang mempunyai anggapan bahwa ia telah memanfaatkan waktunya dengan optimal. Boleh jadi ia merasa bekal untuk hari esok telah dipersiapkan cukup banyak. Akan tetapi, ketika hari kebangkitan terjadi, ternyata tidak sebagaimana yang di duga.

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِاْلأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً {103} الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

"Katakanlah: 'Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?' Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." (QS. al-Kahfi: 103-104).

Imam Hasan al-Bashri berkata, ”Seorang mukmin adalah pemimpin bagi jiwanya. Ia dapat melakukan muhasabah terhadap jiwanya karena Allah. Perhitungan pada hari kiamat akan lebih ringan bagi orang yang telah melakukannya ketika di dunia, dan perhitungan saat itu menjadi lebih berat bagi orang yang tidak menjadikan masalah ini dalam perhitungannya.”

Tiga Pilar Penopang Muhasabah

1. Membandingkan antara Nikmat Allah dan Kejahatanmu

Maksudnya, kita harus membandingkan apa yang berasal dari Allah dan apa yang berasal dari diri kita. Dengan begitu kita akan mengetahui letak ketimpangannya, dan kita juga akan mengetahui bahwa di sana hanya ada ampunan dan rahmat Allah di satu sisi, dan di sisi lain adalah kehancuran dan kerusakan.

Kemudian kita juga bisa membandingkan antara kebaikan dan keburukan. Sehingga dengan membandingkan ini kita bisa mengetahui mana yang lebih banyak dan mana yang lebih dominan di antara keduanya. Perbandingan yang kedua ini merupakan perbandingan antara perbuatan kita dan apa yang datang dari diri kita secara khusus. Seseorang tidak bisa membuat perbandingan ini jika dia tidak memiliki tiga indikator:

a. Cahaya hikmah

Cahaya hikmah merupakan cahaya yang disusupkan Allah ke dalam hati orang-orang yang mengikuti para rasul. Dengan kata lain, cahaya hikmah adalah ilmu yang dimiliki seseorang sehingga dia bisa membedakan antara yang haq dan batil, petunjuk dan kesesatan, mudharat dan manfaat, yang sempurna dan yang kurang, yang baik dan yang buruk.

Dengan cahaya hikmah ini seseorang bisa melihat tingkatan-tingkatan amal, mana yang harus dipentingkan dan mana yang tidak dipentingkan, mana yang harus diterima dan mana yang ditolak. Jika cahaya ini kuat, maka muhasabah juga akan kuat dan sempurna.

b. Buruk sangka terhadap diri sendiri

Buruk sangka terhadap diri sendiri amat diperlukan, sebab baik sangka terhadap diri sendiri akan menghalangi koreksi dan kerancuan, sehingga dia melihat keburukan sebagai kebaikan, aib sebagai kesempumaan.

c. Membedakan antara nikmat dan ujian.

Membedakan nikmat dari ujian, artinya membedakan nikmat yang dilihatnya sebagai kebaikan dan kasih sayang Allah, serta yang bisa membawanya kepada kenikmatan yang abadi, dan membedakannya dengan nikmat yang hanya sekedar sebagai tipuan. Sebab berapa banyak orang yang tertipu dengan nikmat, sementara dia tidak menyadarinya, tertipu oleh pujian orang-orang bodoh, terpedaya oleh limpahan Allah, dan justru kebanyakan manusia termasuk dalam kelompok yang kedua ini.

2. Membedakan antara Bagian dan Kewajiban

Harus ada pemilahan antara hak-hak yang harus kita penuhi, seperti kewajiban-kewajiban ibadah, ketaatan dan menjauhi kedurhakaan, dan hak yang menjadi bagian kita. Apa yang menjadi bagian kita adalah mubah menurut ketetapan syariat, dan apa yang menjadi kewajiban kita harus kita penuhi dan kita harus memberikan hak kepada siapa pun yang berhak menerimanya.

3. Tidak Ridha terhadap Ketaatan Yang Dilakukan

Kita harus tahu bahwa setiap ketaatan yang kita ridhai, akan menjadi beban dosa bagi kita, dan setiap kedurhakaan yang dituduhkan saudara kita kepada kita, maka terimalah tuduhan itu dan anggaplah bahwa memang itulah yang benar. Sebab keridhaan seorang hamba terhadap ketaatan dirinya merupakan bukti baik sangka terhadap diri sendiri dan kebodohannya terhadap hak-hak ubudiyah serta tidak tahu apa yang dituntut Allah darinya, lalu akhirnya melahirkan takabur dan ujub, yang dosanya lebih besar dari dosa-dosa besar yang nyata, seperti zina, minum khamr, lari dari medan peperangan dan lain-lainnya.

Orang-orang yang memiliki bashirah justru lebih meningkatkan istighfar setelah mengerjakan berbagai macam ketaatan, karena mereka menyadari keterbatasannya dalam melaksanakan ketaatan itu dan merasa belum memenuhi hak-hak Allah sesuai dengan keagungan-Nya. Allah juga memerintahkan agar Rasulullah Saw. senantiasa memohon ampunan dalam setiap kesempatan dan sehabis melaksanakan tugas-tugas risalah atau setelah melaksanakan suatu ibadah.

Sahabatku, mari sejenak kita bermuhasabah tentang apa yang telah terjadi; tentang musibah-musibah dan kesedihan-kesedihan yang menimpa kita. Adakah kesalahan yang pernah kita lakukan? Tentang banyaknya kenikmatan, sudahkah kita mensyukurinya? Tentang mata, mulut, telinga, dan seluruh indera ini, yang pernah durhaka kepada-Nya, sudahkah kita menginsafinya? Semoga kerisauan menjadi ketenangan dan kehilangan menjadi anugerah.

1 komentar: