Seorang
kafirun menulis tentang mubahalah dirinya dengan seorang muslim. Memang sudah
sejak lama orang kafir ini menghina Islam. Sehingga tidak heran bila ada yang
mengajaknya untuk bermubahalah.
Beberapa
waktu setelah acara mubahalah itu di internet. Orang kafir ini mengirim email
kepada muslim itu. Sekali dikirim tidak ada jawaban. Dua kali dikirim tidak ada
juga. Hingga kemudian dia mengirim email berikutnya tidak ada jawaban. Lalu dia
berkesimpulan, mungkin muslim itu sudah mati duluan. Artinya, muslim itu
tertimpa mubahalah yang diucapkannya sendiri. Menurut orang kafir ini,
pengertian mubahalah adalah siapa yang mati duluan maka dialah yang salah.
Padahal belum tentu muslim itu mati.
Benarkah
pendapat orang kafir itu tentang mubahalah? Disini saya mencoba sedikit
menjelaskan tentang definisi mubahalah berikut contoh-contohnya mubahalah yang
pernah terjadi dalam sejarah.
Definisi
Mubahalah
Mubahalah
terdiri dari akar kata Al-Ba, Al-Ha, dan Al-Lam atau Al-Bahlu yang
maknanya Al-La'nu (laknat), "Bahalahullah Bahlan",
maknanya: Allah telah melaknatnya dengan laknat. "Wa'alaihi Bahlatullah"
maknanya: Dan atasnya laknat Allah. Dan orang yang melaknat suatu kaum,
sebagian mereka dengan sebagian yang lain, dikatakan mereka saling bermubahalah
apabila mereka saling melaknat. Karena itu, Al-Mubahalah maknanya Al-Mula'anah (saling
melaknat).
Sampai
disini dapat kita lihat, apakah buah dari mubahalah itu orang yang bersalah
akan mati duluan? Belum tentu. Oleh karena itu, kita harus mengetahui
definisi laknat itu seperti apa. Pernah dengar setan itu dilaknat atau dikutuk
oleh Allah? Ya, kita sering membacanya lewat bacaan taawudz, apakah
itu berarti setan itu mati? Ternyata setan masih ada padahal dimana-mana orang
sudah melaknat setan. Hanya saja pengaruh dari bacaan itu setidaknya dapat
memperkecil bisikan setan pada diri kita. Terlebih-lebih bila setan sudah
kesulitan menggoda kita. Hal ini sangat bergantung pada kekuatan iman yang ada
dalam diri kita.
Orang
yang mendapat laknat artinya orang yang tidak mendapat rahmat. Dunia yang
lapang ini akan terasa sempit baginya. Penderitaan demi penderitaan dan
kesedihan demi kesedihan akan menjeratnya sehingga pada akhirnya berputus asa
karena laknat itu. Biasanya setelah mendapat laknat itu, pengaruh orang yang
bersangkutan akan berkurang bahkan semakin habis. Dia tidak lagi dihormati
seolah ada sekat antara dirinya dengan masyarakat.
Menurut
saya, kematian lebih awal seseorang bukan jaminan orang tersebut dilaknat.
Tetapi yang lebih penting adalah apakah kematian itu husnul khatimah atau su'ul
khatimah. Misalnya jika orang tersebut mati tatkala sedang beribadah, masak
disebut mati su'ul khatimah? Orang-orang zalim itu mati secara
menyedihkan. Misalnya Mirza Ghulam Ahmad mati di wc dan terserang kolera.
Hamzah Basyuni mati tertusuk besi. Al-Hajjaj menjelang kematiannya tubuhnya
dipenuhi bisul. Hasan Syahatah yang menderita sakit keras di dalam penjara. Dan
sebagainya.
Acara mubahalah antara Husein Alattas VS Haidar Bawazir
Hukum Mubahalah
Gambaran
pelaksanaan mubahalah seperti yang terjadi pada zaman Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw. mengajak anak dan cucunya untuk menghadiri mubahalah melawan
orang Yahudi Najran. Kehadiran anak dan cucu beliau seolah ingin menegaskan
bila beliau salah maka laknat juga akan menimpa anak dan cucu beliau ini. Hal
ini semakin membuat gentar orang-orang Yahudi sehingga mereka tidak menerima
ajakan mubahalah tersebut. Karena pada hakikatnya mereka sudah mengetahui bahwa
Muhammad adalah seorang Nabi dan Rasul. Jika saja orang Yahudi itu menyanggupi
tantangan itu, niscaya mereka semua akan musnah dari muka bumi ini.
Al-Khotib
Al-Baghdadi telah meriwayatkan sebuah atsar yang sanadnya sampai kepada Ibnu
Abbas Ra., dia berkata, "Aku sangat menyayangkan orang-orang yang
membantahku dalam sebuah perkara yang telah diijmakan, di mana hal itu di sisi
kami merupakan hal yang diwajibkan. Kemudian kami mengajak mereka (yang
membantah) untuk bermubahalah, lalu kami bermubahalah hingga laknat Allah
menimpa orang-orang yang mendustakan." (Al-Faqih wal Mutafaqqih, 2/
63)
Imam
Al-Auza'iy mengajak sebagian ahli ilmu untuk bermula'anah di rukun (di dekat
Hajar Aswad) siapa di antara kita di atas kebenaran dalam hal pengambilan dalil
atas sebagian perkara-perkara furu' (Mahasinul Masa'iy fi Manaqib Al-Auza'iy,
69-72)
Syaikhul
Islam ibnu Taimiyyah -rahimahullah- telah mengajak para syaikh Al-Mutho’ihiyyah
-sebuah kelompok suffiyyah- untuk bermubahalah dalam perkara-perkara yang besar
(dalam dien) yang telah diketahui. Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah
11/445-475. Gambaran dari mubahalah ini dapat dilihat di topik: “Munadloroh
Ibnu Taimiyyah Lithifati Rifa’iyyah”.
Al Hafidz
Ibnu Hajar -rahimahullah- pernah bermubahalah dengan sebagian pengikut Ibnu
Arobiy. Lihat di Mushori’ At Tashuf, karya Al-Baqo’iy, 149-150. Al Alusiy juga
menyebutkannya dalam kitab Ghoyatul Amaniy, 2/374. Dan Al Hafidz juga
menceritakan hal itu dalam kitab beliau Fathul Bariy (Syarah Shahih Bukhoriy)
Imam
Ibnul Qayyim -rahimahullah- telah berkata, dan dia menyebutkan faidah-faidah
dari kisah utusan raja dari Najran. Dari kisah tersebut ada sunnah di dalam
membantah pelaku kebathilan, apabila telah tegak atas mereka hujjah Allah dan
mereka tidak mau menerima (rujuk), bahkan mereka bersikukuh dalam penolakannya,
maka ajaklah mereka untuk mubahalah, karena sungguh Allah telah memerintahkan
hal ini, demikian juga Rasul-Nya. Allah ta’ala tidak berfirman (kepada
Rasul-Nya) : “Sesungguhnya hal ini (mubahalah) tidak berlaku untuk umatmu
setelahmu”.
Anak paman Abdullah bin Abbas juga menyerukan hal ini ketika
ada orang yang mengingkari sebagian masalah-masalah furu’. Dan para
shahabat-shahabat lain tidak mengingkarinya. Demikian juga Imam Al Auza’iy
menyerukan kepada hal ini dan tidak mengingkarinya… Dan ini adalah hujjah yang
sempurna (dalam sunnah mubahalah”. (Zadul Ma’ad, Imam Ibnul Qayyim,
3/643).
Al Hafidz
Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata dalam mengambil manfaat kisah mubahalahnya
(terhadap para pengikut Ibnu Arobiy): “Dan kisah tersebut di dalamnya ada
tuntutan syari’at untuk melakukan mubahalah terhadap orang-orang yang
menyelisihi (al haq) apabila mereka tetap bersikukuh setelah disampaikan
hujjah. Ibnu Abbas telah menyampaikan hal ini, juga Imam Al-Auza’iy, serta
disepakati oleh para ulama. Demikian juga dari pengalaman, bahwa siapa yang
ikut bermubahalah dan dia ada pada posisi kebathilan, maka tidak lewat atasnya
satu tahun dari hari ketika ia ikut mubahalah (ia terkena laknat). Hal itu
didapati pada seseorang yang cenderung pada sebagian orang kafir, maka ia tidak
bisa selamat (dari laknat) setelah mubahalah kecuali hanya dua bulan”. (Fathul
Bariy, 8/95).
Contoh
yang lain di era modern ini misalnya, mubahalah antara Diki Chandra VS Ustadzah
Irena Handono, mubahalah antara Husein Alattas VS Haidar Bawazir, mubahalah
antara Yasir Al-Habib VS Syaikh Muhammad al-Kus. Di Indonesia, pada tahun 1930-an,
A Hassan, tokoh Persatuan Islam (Persis) juga pernah menantang kelompok
Ahmadiyah untuk bermubahalah. Namun tantangan mubahalah itu tak pernah berani
dilakukan oleh Ahmadiyah sampai saat ini. Meski begitu, nabi palsu yang juga
pentolan Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad pernah melakukan mubahalah yang berakibat
pada tewasnya Mirza Ghulam Ahmad dalam keadaan sakit parah di tempat buang
hajat.
Kesimpulan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar