Jumat, 19 Oktober 2012

Pelajaran dari Kisah Penarik Becak di India

Tawaran bantuan mengalir ke BBC Hindi pasca laporan mengenai seorang penarik becak India yang terpaksa mengayuh becak sambil menggendong bayi perempuannya yang baru berusia satu bulan setelah istrinya meninggal dunia.


Bablu Jatav, menggendong anaknya dengan cara mengalungkan tali selimut pembungkus si anak ke lehernya.

Istri Bablu, Shanti, meninggal pada 20 September setelah melahirkan anak pertama mereka di negara bagian Rajashtan.

Bablu, 38, mengatakan ia tidak memiliki siapa siapa yang dapat membantunya mengasuh si bayi.

Kini sebuah yayasan amal lokal bersedia membantu Jatav merawat bayinya.

"Shanti meninggal setelah melahirkan di rumah sakit. Tidak ada seorang pun yang dapat mengasuh anak perempuan saya, saya mengasuhnya sambil bekerja," kata Bablu pada BBC.


"Kami dikaruniai bayi setelah menikah 15 tahun, istri saya sangat bahagia ketika kami akhirnya diberkati dengan seorang anak perempuan tapi saya sangat sedih karena ia pergi."

Menarik becak sambil mengasuh anak melahirkan permasalahan baru. Selasa lalu ia harus dibawa ke rumah sakit untuk dirawat karena dehidrasi.

Bablu mengatakan hidup terasa sangat berat baginya dan ia berusaha untuk bertahan.
"Saya harus membayar 500 rupee (Rp 55 ribu) sebulan untuk membayar sewa rumah dan 30 rupee sehari untuk menyewa becak itu," kata dia.

Bablu mengatakan ia takut untuk menikah lagi karena "prioritas pertama saya adalah merawat dan membesarkan anak saya."

Sementara itu setelah kisah tentang Bablu dimuat di situs BBC Hindi kemarin, banyak sekali tawaran bantuan dari India dan dari luar negeri.

Hari ini, sebuah NGO di Bharatpur sepakat untuk membantu Bablu mengasuh anaknya.

Ketika membaca berita ini, saya merasa sedih. Di sisi lain, saya mendapatkan pelajaran darinya. Pertama, kisah ini memberikan motivasi kepada saya. Jika saya ditimpa suatu kemalangan, sesungguhnya masih ada yang lebih malang daripada saya. Begitupun dengan orang India tersebut; masih akan ada orang yang lebih malang darinya. Allah menghadirkan kisah-kisah ini sebagai penguat dan hiburan bagi orang yang ditimpa musibah sekaligus sebagai peringatan bagi orang yang kufur.

Kedua, kisah ini mengabarkan realitas kepada saya bahwa ada orang-orang yang tidak mampu, dan memberikan dorongan kepada saya untuk membantu orang-orang seperti mereka. Seolah kisah seperti ini banyak bertebaran di sekitar saya dan kisahnya menjadi berita yang kita dengar dan lihat sehari-hari. Dan mungkin saja kita lupa bahwa masih ada kisah yang lebih tragis daripada kisah ini. Namun karena kesibukan kita pada dunia, kita lupa kisah itu pernah ada, jadilah kita bersedih hati kembali setelah mendapat suatu musibah. Lalu Allah hadirkan kembali kisah-kisah lain yang kita anggap kisah yang baru ini sebagai kisah yang menyentuh hati dan menguatkan pikiran. 

Ketiga, kisah seperti ini tampaknya seperti gunung es. Kita hanya mampu melihat realitasnya di atas yang sedikit sedangkan hakikatnya bakalan masih banyak lagi. Hal ini menyadarkan kepada saya untuk peduli terhadap orang-orang yang tidak mampu disekitar saya. Tidak perlu jauh-jauh. Mungkin dia satu RT dengan kita. Bila tidak, mungkin dia satu RW dengan kita. Bila tidak, mungkin dia satu kecematan dengan kita.  Begitu seterusnya.

Keempat, ada orang yang melihat kisah seperti ini dengan kacamata nafsunya sendiri. Menurutnya Tuhan tidak adil. Di satu sisi Dia menciptakan orang yang kaya, di sisi lain Dia menciptakan orang miskin. Di satu sisi Dia menciptakan orang dengan fisik sempurna, di sisi lain Dia menciptakan orang dengan fisik yang cacat. Mengapa Tuhan tidak menciptakan semua orang menjadi kaya, bahagia, dan berfisik sempurna agar semua makhluk ciptaan-Nya tidak menderita?

Untuk menjawab pertanyaan seperti ini, saya berkata: Pernahkah kita menyadari bahwa kemampuan akal kita ini terbatas? Bahwa kenyataannya masih ada orang yang lebih cerdas dan berilmu daripada kita? Apakah bila kita sampai pada taraf "Tuhan tidak adil", menunjukkan bahwa kita manusia paling cerdas, paling tahu hikmah penciptaan? Kenyataannya masih ada dan masih akan ada orang yang lebih cerdas daripada kita dan mereka justru mengatakan jika Tuhan Maha Adil. Bila dirinya kritis kepada Tuhan, lalu mengapa dia tidak kritis terhadap dirinya sendiri? Mungkin dia memandang jika dirinya lebih agung dan lebih hebat daripada Tuhan. Dia memandang satu kejadian dari satu sisi, sementara di sisi lain tidak dia perhatikan. Padahal kenyataannya, sisi yang tidak dia perhatikan itulah yang bisa menjadi hakikat apa yang dipikirkannya.

Untuk menutup tulisan ini, saya nukilkan beberapa hadits yang berkaitan dengan bahasan di atas:

Rasululah Saw. bersabda, “Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya kemewahan dunia (harta), akan tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa (hati).” (HR. Bukhari dan Muslim)

“…Ridhahlah (terimalah) pembagian yang Allah tetapkan bagimu maka kamu akan menjadi orang yang paling kaya (merasa kecukupan).” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

Rasulullah Saw. berdoa, “Ya Allah, jadikanlah rezeki (yang Engkau limpahkan untuk) keluarga (Nabi) Muhammad Quutan." (HR. Bukhari dan Muslim) Menurut Imam Nawawi, arti Quutan adalah sekedar bisa memenuhi kebutuhan hidup/seadanya.

“Lihatlah kepada orang yang lebih rendah daripada kalian dan jangan melihat orang yang lebih di atas kalian. Yang demikian ini (melihat ke bawah) akan membuat kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang diberikan-Nya kepada kalian.” (HR. Muslim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar