Minggu, 27 Mei 2012

Bagaimana Cara Mengendalikan Kemarahan?


Siapapun diri kita pasti pernah marah. Marah kepada istri, marah kepada anak, marah kepada kedua orangtua kita, marah kepada saudara kita, marah kepada teman-teman kita, bahkan marah kepada diri kita sendiri. Marah pada satu sisi adalah hal yang lumrah selama tidak berlebihan dan mudah dikontrol. Namun di antara kita ada yang kesulitan dalam mengendalikan marah, sehingga yang keluar dalam dirinya perkataan yang menghina dan kasar atau perbuatan tercela seperti membanting barang, dan sebagainya. 

Imam Ibnu Qudamah berkata, ketahuilah bahwa marah itu merupakan bara dari api neraka. Selagi manusia disusupi marah, berarti dia disusupi setan, yang pernah berkata, "Engkau ciptakan saya dari api sedang Engkau ciptakan dia dari tanah." (QS. Al-A’raf: 12).

Sifat keadaan tanah adalah diam dan tenang, sedangkan sifat keadaan api membara, menyala, bergerak-gerak dan meliuk-liuk. Di antara dampak yang diakibatkan marah adalah iri dan dengki. Di antara hal yang menunjukkan celaan terhadap marah adalah sabda Nabi Saw. kepada seseorang yang berkata kepada beliau, “Berilah aku nasihat!” Maka beliau bersabda, “Janganlah engkau suka marah.” Beliau mengulanginya hingga beberapa kali. Hal ini menunjukkan betapa sangat berbahayanya marah bagi jiwa.

Imam Nawawi rohimahulloh mengatakan, “Makna jangan marah yaitu janganlah kamu tumpahkan kemarahanmu. Larangan ini bukan tertuju kepada rasa marah itu sendiri. Karena pada hakikatnya marah adalah tabi’at manusia, yang tidak mungkin bisa dihilangkan dari perasaan manusia.”

Dalam sabdanya tang lain disebutkan, "Orang yang kuat itu bukanlah karena bergulat, tetapi orang yang kuat itu ialah yang dapat menguasai diri saat marah." (HR. Bukhari dan Muslim)

Diriwayatkan dari Ikrimah tentang firman Allah, "Menjadi ikutan dan menahan diri." (QS. Ali Imran: 39), “Artinya dapat menahan diri saat marah dan tidak lepas kontrol.”

Hakikat amarah adalah darah di dalam hati yang mendidih karena mencari pelampiasan. Selagi seseorang marah, maka api amarahnya berkobar dan membuat darah di hatinya mendidih, lalu menyebar ke seluruh nadi dan naik ke seluruh badan, sebagaimana air yang naik ketika mendidih. Karena itu wajah, mata dan raut mukanya terlihat memerah. Semua itu mencerminkan merah darah yang tersembunyi di baliknya, seperti kaca bening yang memperlihatkan apa yang ada dibaliknya. Darahnya mulai turun jika marahnya tertumpah kepada orang lain dan dia pun merasa tenang kembali.

Selagi api amarah semakin kuat berkobar, maka ia akan membuat orangnya menjadi buta dan tuli untuk mendengarkan nasihat. Sebab amarahnya itu sudah naik ke otak dan menutupi inti pikirannya, yang boleh jadi juga akan menutupi inti indera, hingga mata menjadi gelap, tidak bisa melihat apa-apa, dunia terasa kelam dalam penglihatannya. Otaknya pun seperti lorong gua yang sempit, yang di dalamnya dinyalakan api yang berkobar-kobar, hingga udaranya pun menjadi hitam, panas dan penuh dengan asap. Kalau pun di dalamnya hanya ada pelita yang kelap-kelip, tentu ia akan cepat padam. Siapa yang ada di dalamnya tentu tidak kuat bertahan lama, tidak bisa mendengar kata-kata secara jelas, tidak bisa melihat gambaran sesuatu secara jelas, tidak mampu memadamkan api. Begitu pula yang terjadi dengan hati dan otak. Jika marah benar-benar menggelegak, orang lain pun bisa dibunuhnya.

Tanda-tanda marah yang bisa dilihat adalah adanya perubahan rona, anggota badan gemetaran, tingkah laku tidak terkontrol, muncul tindakan yang aneh-aneh dan ada kemiripan dengan tingkah polah orang yang gila. Andaikan orang yang sedang marah melihat keadaan dirinya saat marah itu di cermin, tentu dia akan mengolok-olok dirinya sendiri. Padahal keburukan batin itu lebih besar tingkatannya.

Apakah kita tidak boleh marah? Marah tidak diharamkan secara mutlak. Yang diharamkan adalah ketika kita tidak mampu mengendalikannya. Sehingga yang keluar kemudian keburukan dalam dirinya. Di samping itu ada marah yang diperbolehkan. Yaitu marah karena Allah dan Rasul-Nya. Marah ketika agama Allah dihina dan dilecehkan. Maka kita pun tergerak untuk memperbaikinya dan melenyapkan segala bentuk kebatilan sesuai dengan apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan. Rasulullah Saw. tidak pernah marah jika celaan hanya tertuju pada pribadinya dan beliau sangat marah ketika melihat atau mendengar sesuatu yang dibenci Allah maka Beliau tidak diam, beliau marah dan berbicara.

Ketika Nabi Saw. melihat kelambu rumah Aisyah ada gambar makhluk hidupnya (yaitu gambar kuda bersayap) maka merah wajah Beliau dan bersabda: "Sesungguhnya orang yang paling keras siksaannya pada hari kiamat adalah orang membuat gambar seperti gambar ini." (HR. Bukhari Muslim)

Nabi Saw. juga marah terhadap seorang sahabat yang menjadi imam shalat dan terlalu panjang bacaannya dan beliau memerintahkan untuk meringankannya. Tetapi Rasulullah Saw. tidak pernah marah karena pribadinya. Al Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits Anas Ra.: "Anas membantu rumah tangga Rasulullah Saw. selama 10 tahun, maka tidak pernah beliau berkata kepada Anas: "ah", sama sekali. Beliau tidak berkata terhadap apa yang dikerjakan Anas: "Mengapa kamu berbuat ini." Dan terhadap apa yang tidak dikerjakan Anas: "Tidakkah kamu berbuat begini." (HR. Bukhari dan Muslim)

Al Imam Ath Thabari rahimahullah meriwayatkan hadits Anas: Tiga hal termasuk akhlak keimanan yaitu: orang yang jika marah kemarahannya tidak memasukkan ke dalam perkara batil, jika senang maka kesenangannya tidak mengeluarkan dari kebenaran dan jika dia mampu dia tidak melakukan yang tidak semestinya."

Maka wajib bagi setiap muslim menempatkan nafsu amarahnya terhadap apa yang dibolehkan oleh Allah Swt., tidak melampaui batas terhadap apa yang dilarang sehingga nafsu dan syahwatnya menyeret kepada kemaksiatan, kemunafikan apalagi sampai kepada kekafiran.

Kesempatan baik ini untuk melatih diri kita menuju sifat kesempurnaan dengan menghilangkan sifat pemarah dan berupaya menjadi orang yang tidak mudah marah. 

Lantas, bagaimana cara mengatasi kemarahan agar dapat kita kendalikan? Pertama, membaca ta'awudz. Yaitu membaca Audzubillahiminasy syaithanirrajiim. Ada dua orang saling mencela di sisi Nabi Saw. dan kami sedang duduk di samping Nabi Saw.. Salah satu dari keduanya mencela lawannya dengan penuh kemarahan sampai memerah wajahnya. Maka Nabi Saw. bersabda: "Sesungguhnya aku akan ajarkan suatu kalimat yang kalau diucapkan akan hilang apa yang ada padanya. Yaitu sekiranya dia mengucapkan: 'Audzubillahiminasy syaithanirrajiim'." 

Kedua, mengetahui keutamaan dari mengendalikan marah. Misalnya dengan merenungkan  keutamaan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi yang berkaitan dengan sabar dan mengendalikan kemarahan berikut ini: 
1. Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Anas Al Juba'i , bahwa Rasulullah Saw. bersabda: "Barangsiapa yang mampu menahan marahnya padahal dia mampu menyalurkannya, maka Allah menyeru pada hari kiamat dari atas khalayak makhluk sampai disuruh memilih bidadari mana yang mereka mau." (HR. Ahmad) 

2. Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw. bersabda : "Tidaklah hamba meneguk tegukan yang lebih utama di sisi Allah Swt., dari meneguk kemarahan karena mengharap wajah Allah Swt." (HR. Ahmad) 

3. Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari seseorang dari sahabat Nabi Saw., dia berkata: Aku berkata: "Ya Rasulullah Saw., berwasiatlah kepadaku." Beliau bersabda: "Jangan menjadi pemarah." Maka berkata seseorang: "Maka aku pikirkan apa yang beliau sabdakan, ternyata pada sifat pemarah itu terkumpul seluruh kejelekan." (HR. Imam Ahmad)

Mengomentari hadits ini,  Ibnu Ja'far bin Muhammad Rahimahullah berkata: "Marah itu pintu seluruh kejelekan."

Imam Ahmad menafsirkan hadits ini dengan mengatakan: Akhlak yang mulia itu dengan meninggalkan sifat pemarah.

Imam Ibnu Rajab menerangkan maksud hadits ini dengan mengatakan bahwa hadits ini mengandung dua kemungkinan makna: Pertama, hadits ini mengandung perintah melakukan sebab-sebab yang menjadikan akhlak yang mulia seperti bersikap lembut, pemalu, tidak suka mengganggu, pemaaf, tidak mudah marah. Kedua, hadits ini mengandung larangan melakukan hal-hal yang menyebabkan kemarahan, mengandung perintah agar sekuat tenaga menahan marah ketika timbul/berhadapan dengan penyebabnya sehingga dengan demikian dia akan terhindar dari efek negatif sifat pemarah.

Ketiga, dengan merubah posisi. Bila posisi semula berdiri, maka hendaklah kita duduk. Bila duduk, hendaklah berbaring. Dengan cara itu, mudah-mudahan mampu meredam emosi kita yang sedang naik. Rasulullah Saw. bersabda, "Apabila salah seorang diantara kalian marah dalam keadaan berdiri duduklah, jika belum hilang maka berbaringlah." (HR. Ahmad dan Abu Dawud) Hal ini karena marah dalam berdiri lebih besar kemungkinannya melakukan kejelekan dan kerusakan daripada dalam keadaan duduk. Sedangkan berbaring lebih jauh lagi dari duduk dan berdiri.

Keempat, dengan diam. Rasulullah Saw. bersabda, "Apabila di antara kalian marah maka diamlah." Beliau ucapkan tiga kali. (HR. Ahmad) Diam tidak berbicara ketika marah merupakan obat yang mujarab untuk menghilangkan kemarahan, karena banyak berbicara dalam keadaan marah tidak bisa terkontrol sehingga terjatuh pada pembicaraan yang tercela dan membahayakan dirinya dan orang lain.

Kelima, dengan berwudhu. "Sesungguhnya marah itu dari setan dan setan itu dicipta dari api, dan api itu diredam dengan air maka apabila diantara kalian marah berwudhulah." (HR. Ahmad)

Keenam, rajin berpuasa. Puasa adalah ibadah yang mengarahkan jiwa kita untuk bersabar. Di dalam puasa, nafsu diredam sedemikian rupa sehingga yang hadir adalah ketenangan, kesabaran, dan sifat lemah lembut. Rasulullah Saw. bersabda: "Bukanlah puasa itu sekedar menahan makan dan minum. Sesungguhnya puasa itu (adalah puasa) dari perbuatan keji dan sia-sia. Apabila ada orang yang mencelamu atau membodohimu maka katakanlah: sesungguhnya aku sedang berpuasa, sesungguhnya aku sedang berpuasa." (HR. Ibnu Huzaimah dengan sanad shahih)

Kemarahan yang tidak terkendali membuat pelakunya menjadi hina di mata orang lain. Ketika si pemarah harus memulihkan keadaan seperti sediakala, dia harus meminta maaf terlebih dahulu dan itu pun masih ada kemungkinan orang yang dimarahi masih menyimpan dendam dan marah. Apalagi bila si pemarah tidak meminta maaf, permusuhan masih saja akan berkobar walaupun secara lisan orang yang dimarahi tidak menunjukkan permusuhan itu. Tetapi ketika si pemarah mendapat celaka, orang yang dimarahi merasa gembira, dan hatinya berkata, “Rasakanlah akibat kemarahanmu kepadaku!”

Segala puji bagi Allah yang telah mengutus Rasul-Nya. Dan, dengan lisan Rasul-Nya telah memberikan kepada kita kiat-kiat ampuh agar kita mampu keluar dari penyanderaan amarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar