Siapapun diri kita pasti pernah marah. Marah kepada istri,
marah kepada anak, marah kepada kedua orangtua kita, marah kepada saudara kita,
marah kepada teman-teman kita, bahkan marah kepada diri kita sendiri. Marah
pada satu sisi adalah hal yang lumrah selama tidak berlebihan dan mudah
dikontrol. Namun di antara kita ada yang kesulitan dalam mengendalikan marah,
sehingga yang keluar dalam dirinya perkataan yang menghina dan kasar atau
perbuatan tercela seperti membanting barang, dan sebagainya.
Imam Ibnu Qudamah berkata, ketahuilah bahwa marah itu
merupakan bara dari api neraka. Selagi manusia disusupi marah, berarti dia
disusupi setan, yang pernah berkata, "Engkau ciptakan saya dari api
sedang Engkau ciptakan dia dari tanah." (QS.
Al-A’raf: 12).
Sifat keadaan tanah adalah diam dan tenang, sedangkan sifat
keadaan api membara, menyala, bergerak-gerak dan meliuk-liuk. Di antara dampak
yang diakibatkan marah adalah iri dan dengki. Di antara hal yang menunjukkan
celaan terhadap marah adalah sabda Nabi Saw. kepada seseorang yang berkata
kepada beliau, “Berilah aku nasihat!” Maka beliau bersabda, “Janganlah engkau
suka marah.” Beliau mengulanginya hingga beberapa kali. Hal ini menunjukkan
betapa sangat berbahayanya marah bagi jiwa.
Imam Nawawi rohimahulloh mengatakan,
“Makna jangan marah yaitu janganlah kamu tumpahkan kemarahanmu. Larangan ini
bukan tertuju kepada rasa marah itu sendiri. Karena pada hakikatnya marah
adalah tabi’at manusia, yang tidak mungkin bisa dihilangkan dari perasaan
manusia.”
Dalam sabdanya tang lain disebutkan, "Orang yang kuat
itu bukanlah karena bergulat, tetapi orang yang kuat itu ialah yang dapat
menguasai diri saat marah." (HR. Bukhari dan
Muslim)
Diriwayatkan dari Ikrimah tentang firman Allah, "Menjadi
ikutan dan menahan diri." (QS.
Ali Imran: 39), “Artinya dapat menahan diri saat marah dan tidak lepas
kontrol.”
Hakikat amarah adalah darah di dalam hati yang mendidih
karena mencari pelampiasan. Selagi seseorang marah, maka api amarahnya berkobar
dan membuat darah di hatinya mendidih, lalu menyebar ke seluruh nadi dan naik
ke seluruh badan, sebagaimana air yang naik ketika mendidih. Karena itu wajah,
mata dan raut mukanya terlihat memerah. Semua itu mencerminkan merah darah yang
tersembunyi di baliknya, seperti kaca bening yang memperlihatkan apa yang ada
dibaliknya. Darahnya mulai turun jika marahnya tertumpah kepada orang lain dan
dia pun merasa tenang kembali.
Selagi api amarah semakin kuat berkobar, maka ia akan membuat
orangnya menjadi buta dan tuli untuk mendengarkan nasihat. Sebab amarahnya itu
sudah naik ke otak dan menutupi inti pikirannya, yang boleh jadi juga akan
menutupi inti indera, hingga mata menjadi gelap, tidak bisa melihat apa-apa,
dunia terasa kelam dalam penglihatannya. Otaknya pun seperti lorong gua yang
sempit, yang di dalamnya dinyalakan api yang berkobar-kobar, hingga udaranya
pun menjadi hitam, panas dan penuh dengan asap. Kalau pun di dalamnya hanya ada
pelita yang kelap-kelip, tentu ia akan cepat padam. Siapa yang ada di dalamnya
tentu tidak kuat bertahan lama, tidak bisa mendengar kata-kata secara jelas,
tidak bisa melihat gambaran sesuatu secara jelas, tidak mampu memadamkan api.
Begitu pula yang terjadi dengan hati dan otak. Jika marah benar-benar
menggelegak, orang lain pun bisa dibunuhnya.
Tanda-tanda marah yang bisa dilihat adalah adanya perubahan
rona, anggota badan gemetaran, tingkah laku tidak terkontrol, muncul tindakan
yang aneh-aneh dan ada kemiripan dengan tingkah polah orang yang gila. Andaikan
orang yang sedang marah melihat keadaan dirinya saat marah itu di cermin, tentu
dia akan mengolok-olok dirinya sendiri. Padahal keburukan batin itu lebih besar
tingkatannya.
Apakah kita tidak boleh marah? Marah tidak diharamkan secara
mutlak. Yang diharamkan adalah ketika kita tidak mampu mengendalikannya.
Sehingga yang keluar kemudian keburukan dalam dirinya. Di samping itu ada marah
yang diperbolehkan. Yaitu marah karena Allah dan Rasul-Nya. Marah ketika agama
Allah dihina dan dilecehkan. Maka kita pun tergerak untuk memperbaikinya dan melenyapkan
segala bentuk kebatilan sesuai dengan apa yang Allah dan Rasul-Nya
perintahkan. Rasulullah Saw. tidak pernah marah jika celaan hanya tertuju
pada pribadinya dan beliau sangat marah ketika melihat atau mendengar sesuatu
yang dibenci Allah maka Beliau tidak diam, beliau marah dan berbicara.
Ketika Nabi Saw. melihat kelambu rumah Aisyah ada gambar
makhluk hidupnya (yaitu gambar kuda bersayap) maka merah wajah Beliau dan
bersabda: "Sesungguhnya orang yang paling keras siksaannya pada hari
kiamat adalah orang membuat gambar seperti gambar ini." (HR. Bukhari
Muslim)
Nabi Saw. juga marah terhadap seorang sahabat yang menjadi
imam shalat dan terlalu panjang bacaannya dan beliau memerintahkan untuk
meringankannya. Tetapi Rasulullah Saw. tidak pernah marah karena
pribadinya. Al Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits Anas Ra.:
"Anas membantu rumah tangga Rasulullah Saw. selama 10 tahun, maka tidak
pernah beliau berkata kepada Anas: "ah", sama sekali. Beliau tidak
berkata terhadap apa yang dikerjakan Anas: "Mengapa kamu berbuat
ini." Dan terhadap apa yang tidak dikerjakan Anas: "Tidakkah kamu
berbuat begini." (HR. Bukhari dan Muslim)
Al
Imam Ath Thabari rahimahullah meriwayatkan hadits Anas: Tiga hal termasuk
akhlak keimanan yaitu: orang yang jika marah kemarahannya tidak memasukkan ke
dalam perkara batil, jika senang maka kesenangannya tidak mengeluarkan dari
kebenaran dan jika dia mampu dia tidak melakukan yang tidak semestinya."
Maka wajib bagi setiap muslim menempatkan nafsu amarahnya
terhadap apa yang dibolehkan oleh Allah Swt., tidak melampaui batas terhadap
apa yang dilarang sehingga nafsu dan syahwatnya menyeret kepada kemaksiatan,
kemunafikan apalagi sampai kepada kekafiran.
Kesempatan baik ini untuk melatih diri kita menuju sifat
kesempurnaan dengan menghilangkan sifat pemarah dan berupaya menjadi orang yang
tidak mudah marah.
Lantas, bagaimana cara mengatasi kemarahan agar dapat kita
kendalikan? Pertama, membaca
ta'awudz. Yaitu membaca Audzubillahiminasy
syaithanirrajiim. Ada dua
orang saling mencela di sisi Nabi Saw. dan kami sedang duduk di samping Nabi
Saw.. Salah satu dari keduanya mencela lawannya dengan penuh kemarahan sampai
memerah wajahnya. Maka Nabi Saw. bersabda: "Sesungguhnya aku akan ajarkan
suatu kalimat yang kalau diucapkan akan hilang apa yang ada padanya. Yaitu
sekiranya dia mengucapkan: 'Audzubillahiminasy syaithanirrajiim'."
Kedua, mengetahui keutamaan dari
mengendalikan marah. Misalnya dengan merenungkan keutamaan ayat-ayat
Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi yang berkaitan dengan sabar dan mengendalikan
kemarahan berikut ini:
1. Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Anas Al Juba'i ,
bahwa Rasulullah Saw. bersabda: "Barangsiapa yang mampu menahan marahnya
padahal dia mampu menyalurkannya, maka Allah menyeru pada hari kiamat dari atas
khalayak makhluk sampai disuruh memilih bidadari mana yang mereka mau."
(HR. Ahmad)
2. Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits dari Ibnu Umar,
bahwa Rasulullah Saw. bersabda : "Tidaklah hamba meneguk tegukan yang
lebih utama di sisi Allah Swt., dari meneguk kemarahan karena mengharap wajah
Allah Swt." (HR. Ahmad)
3. Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari seseorang dari sahabat
Nabi Saw., dia berkata: Aku berkata: "Ya Rasulullah Saw., berwasiatlah
kepadaku." Beliau bersabda: "Jangan menjadi pemarah." Maka
berkata seseorang: "Maka aku pikirkan apa yang beliau sabdakan, ternyata
pada sifat pemarah itu terkumpul seluruh kejelekan." (HR. Imam Ahmad)
Mengomentari hadits ini, Ibnu Ja'far bin Muhammad
Rahimahullah berkata: "Marah itu pintu seluruh kejelekan."
Imam Ahmad menafsirkan hadits ini dengan mengatakan: Akhlak
yang mulia itu dengan meninggalkan sifat pemarah.
Imam Ibnu Rajab menerangkan maksud hadits ini dengan
mengatakan bahwa hadits ini mengandung dua kemungkinan makna: Pertama,
hadits ini mengandung perintah melakukan sebab-sebab yang menjadikan akhlak
yang mulia seperti bersikap lembut, pemalu, tidak suka mengganggu, pemaaf,
tidak mudah marah. Kedua, hadits ini mengandung larangan melakukan
hal-hal yang menyebabkan kemarahan, mengandung perintah agar sekuat tenaga
menahan marah ketika timbul/berhadapan dengan penyebabnya sehingga dengan
demikian dia akan terhindar dari efek negatif sifat pemarah.
Ketiga, dengan merubah posisi. Bila
posisi semula berdiri, maka hendaklah kita duduk. Bila duduk, hendaklah
berbaring. Dengan cara itu, mudah-mudahan mampu meredam emosi kita yang sedang
naik. Rasulullah Saw. bersabda, "Apabila salah seorang diantara kalian
marah dalam keadaan berdiri duduklah, jika belum hilang maka
berbaringlah." (HR. Ahmad dan Abu Dawud) Hal ini karena marah
dalam berdiri lebih besar kemungkinannya melakukan kejelekan dan kerusakan
daripada dalam keadaan duduk. Sedangkan berbaring lebih jauh lagi dari duduk
dan berdiri.
Keempat, dengan diam. Rasulullah Saw.
bersabda, "Apabila di antara
kalian marah maka diamlah." Beliau
ucapkan tiga kali. (HR. Ahmad) Diam tidak berbicara ketika marah merupakan
obat yang mujarab untuk menghilangkan kemarahan, karena banyak berbicara dalam
keadaan marah tidak bisa terkontrol sehingga terjatuh pada pembicaraan yang
tercela dan membahayakan dirinya dan orang lain.
Kelima, dengan berwudhu. "Sesungguhnya marah itu dari setan dan setan itu dicipta dari api,
dan api itu diredam dengan air maka apabila diantara kalian marah
berwudhulah." (HR. Ahmad)
Keenam, rajin berpuasa. Puasa adalah ibadah yang
mengarahkan jiwa kita untuk bersabar. Di dalam puasa, nafsu diredam
sedemikian rupa sehingga yang hadir adalah ketenangan, kesabaran, dan sifat
lemah lembut. Rasulullah Saw. bersabda: "Bukanlah puasa itu sekedar menahan makan dan minum. Sesungguhnya
puasa itu (adalah puasa) dari perbuatan keji dan sia-sia. Apabila ada orang
yang mencelamu atau membodohimu maka katakanlah: sesungguhnya aku sedang
berpuasa, sesungguhnya aku sedang berpuasa." (HR. Ibnu Huzaimah dengan sanad shahih)
Kemarahan
yang tidak terkendali membuat pelakunya menjadi hina di mata orang lain. Ketika
si pemarah harus memulihkan keadaan seperti sediakala, dia harus meminta maaf
terlebih dahulu dan itu pun masih ada kemungkinan orang yang dimarahi masih
menyimpan dendam dan marah. Apalagi bila si pemarah tidak meminta maaf, permusuhan
masih saja akan berkobar walaupun secara lisan orang yang dimarahi tidak
menunjukkan permusuhan itu. Tetapi ketika si pemarah mendapat celaka, orang
yang dimarahi merasa gembira, dan hatinya berkata, “Rasakanlah akibat
kemarahanmu kepadaku!”
Segala
puji bagi Allah yang telah mengutus Rasul-Nya. Dan, dengan lisan Rasul-Nya
telah memberikan kepada kita kiat-kiat ampuh agar kita mampu keluar dari
penyanderaan amarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar