Manusia memiliki banyak sekali kemampuan, salah satu contoh yang paling
menonjol adalah kemampuan berbicara. Kemampuan ini dianugerahkan Allah Ta’ala
kepada umat manusia agar mereka dapat saling berkomunikasi satu sama lainnya.
Melalui kemampuan berbicara inilah seorang guru dapat menambah wawasan
murid-muridnya melebihi yang lainnya yang tidak pernah berusaha memperluas
wawasan ilmu pengetahuannya, dan membuat mereka lebih fasih dalam membicarakan
sesuatu ilmu pengetahuan daripada orang-orang tersebut.
Namun, ada sejenis “kebisuan” yang bukan berupa tidak memiliki kemampuan berbicara
(bisu) melainkan “kebisuan” berupa tidak memiliki argumen untuk mengajukan
pembelaan diri dari dakwaan pihak lain, Allah berfirman tentang “kebisuan” Raja
Namrudz ketika berdebat dengan Nabi Ibrahim as.: “Apakah kamu tidak
memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah
telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim
mengatakan: “Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata:
“Saya dapat menghidupkan dan mematikan”. Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah
menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,” lalu heran
terdiam orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang zalim.” (Al Baqarah: 258).
Dengan demikian
jelaslah bahwa kemampuan “berbicara” yang hakiki dalam pandangan Allah Ta’ala
bukanlah berupa kemampuan berbicara yang
secara alami dimiliki oleh umumnya umat manusia yang tidak bisu (tuna wicara)
melainkan kemampuan berbicara mengenai haq (kebenaran) sebagaimana dicontohkan
oleh para Nabi Allah.
Sahabatku, apakah kita hanya bisa diam membisu ketika penyeru kebatilan menyeru dengan lantang?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar