Minggu, 13 Mei 2012

Jalan Mencapai Sifat Takwa


Takwa lahir sebagai konsekuensi logis dari keimanan yang kokoh. Yaitu keimanan yang selalu dipupuk dengan muroqobatullah; merasa takut terhadap murka dan azab-Nya, dan selalu berharap limpahan karunia dan ampunan-Nya.

Atau sebagaimana didefinisikan para ulama. Takwa adalah menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala apa yang dilarang-Nya. Sebagian ulama lain mendefinisikan takwa dengan mencegah diri dari azab Allah dengan membuat amal saleh dan takut kepada-Nya dikala sepi atau terang-terangan.

Perhatian al-Quran begitu besar. Bahkan bila kita baca al-Quran, hampir di setiap halamannya pasti kita temukan kalimat takwa.

Para sahabat Nabi Saw. dan ulama saleh yang memahami betul tuntunan al-Quran, mempunyai perhatian besar terhadap takwa. Mereka terus mencari hakikatnya; saling bertanya satu sama lain dan berusaha untuk mendapatkannya. Dalam satu riwayat yang shahih disebutkan bahwa Umar bin Khaththab Ra. bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang takwa. Ubay Ra. menjawab, “Bukankah Anda pernah melewati jalan yang penuh duri?”

“Ya”, jawab Umar.

“Apa yang Anda lakukan saat itu?”

“Saya bersiap-siap dan berjalan dengan hati-hati.”

“Itulah takwa.”

Cukuplah kiranya keutamaan dan pengaruh takwa merupakan sumber segala kebaikan di masyarakat, sebagai satu-satunya cara untuk mencegah kerusakan, kejahatan, dan perbuatan dosa. Bahkan, takwa merupakan pilar utama dalam pembinaan jiwa dan akhlak seseorang dalam menghadapi fenomena kehidupan. Agar ia bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk dan agar ia bersabar atas segala ujian dan cobaan.

Di sini kita cukup membahas faktor-faktor terpenting yang bisa menumbuhkan takwa, mengokohkannya dalam hati dan jiwa seorang muslim, dan menyatukannya dengan perasaan.

A. Mu’ahadah (Mengingat Perjanjian)
Faktor ini diambil dari firman Allah Swt.: “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji…” (QS. an-Nahl: 91).

Cara Mu’ahadah
Hendaklah Anda menyendiri untuk mengintrospeksi diri seraya mengatakan pada diri: “Wahai jiwaku, sesungguhnya kamu telah berjanji kepada Tuhanmu setiap hari disaat kamu berdiri membaca: ‘Hanya kepada Engkau kami menyembah dan hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan’.”

Wahai jiwaku, bukankah dalam munajat itu engkau telah berikrar tidak akan menghamba selain kepada Allah dan tidak akan meminta pertolongan selain kepada-Nya? Tidakkah engkau telah berikrar untuk tetap komitmen di jalan yang lurus? Tidakkah engkau telah berikrar untuk berpaling dari jalan orang-orang sesat dan dimurkai Allah?

Kalau memang demikian, berhati-hatilah wahai jiwaku. Janganlah engkau langgar janjimu setelah engkau jadikan Allah sebagai pengawasmu. Janganlah engkau mundur dari jalan yang telah ditetapkan oleh Islam setelah engkau jadikan Allah sebagai saksimu. Hati-hatilah, jangan sampai engkau mengikuti jalan orang-orang yang sesat dan menyesatkan setelah engkau jadikan Allah sebagai penunjuk jalan.

Hati-hati wahai jiwaku, jangan engkau ingkar setelah beriman. Jangan engkau tersesat setelah mendapat petunjuk. Jangan menjadi fasik setelah berkomitmen. Barangsiapa melanggar maka akibatnya menimpa dirinya.”

Saudaraku, bila Anda mengharuskan diri untuk berkomitmen terhadap janji yang diikrarkan 17 kali dalam sehari itu, kemudian Anda mewajibkan supaya Anda meniti tangga menuju ikrar tersebut, maka Anda telah meniti tangga menuju takwa. Anda sudah menelusuri jalan ruhani. Dan pada akhirnya Anda akan sampai ke tempat tujuan.

B. Muroqobah (Merasakan Kehadiran Allah)
Yaitu merasakan kehadiran Allah di setiap waktu dan keadaan, serta merasakan kebersamaan-Nya di kala sepi ataupun ramai. Landasan muroqobah dapat Anda temukan dalam surat asy-Syura ayat 218-219: “Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk shalat) dan melihat pula perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.”

Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw. pernah ditanya tentang ihsan, maka beliau menjawab: “Hendaklah kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, dan jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihat kamu.”

Cara Muroqobah
Sebelum memulai suatu pekerjaan dan disaat mengerjakannya, hendaklah seorang mukmin memeriksa dirinya; apakah setiap gerak dalam melaksanakan amal dan ketaatan untuk kepentingan pribadi dan mencari popularitas atau karena dorongan ridha Allah dan menghendaki pahala-Nya.

Jika benar-benar karena ridha Allah, maka ia akan melaksanakannya kendatipun hawa nafsu tidak setuju dan ingin meninggalkannya. Kemudian ia menguatkan niat dan tekad untuk melangsungkan ketaatan kepada-Nya dengan keikhlasan sepenuhnya dan semata-mata demi mencari ridha Allah.

Itulah hakikat ikhlas. Itulah hakikat pembebasan diri dari penyakit nifaq dan riya. Imam Hasan al-Bashri berkata, “Allah merahmati seorang hamba yang menghentikan hasratnya jika Allah lepas darinya. Jika tujuannya selain Allah, maka dia menangguhkannya.”

Muroqobah terbagi menjadi beberapa macam, di antaranya:
  1. Muroqobah dalam ketaatan, yaitu harus tulus karena Allah.
  2. Muroqobah dalam kedurhakaan, yaitu dengan taubat, penyesalan dan menghentikannya.
  3. Muroqobah dalam hal mubah, yaitu dengan memperhatikan adab dan mensyukuri nikmat.
Orang yang berakal tidak layak untuk melalaikan empat waktu, yaitu:
  1. Waktu dia bermunajat kepada Tuhannya
  2. Waktu dia menghisab dirinya
  3. Waktu dia menemui teman-temannya yang mengingatkan aibnya dan membenarkan dirinya
  4. Waktu dia sendirian dengan kenikmatannya dalam hal-hal yang halal ataukah yang haram.
Yang demikian ini akan membantu waktu-waktunya yang lain dan bisa menghimpun kekuatan. Saat dia makan dan minum, tidak seharusnya melepaskan diri dari amal-amal yang lebih utama, yaitu zikir dan berpikir. Makanan yang disantapnya terkandung berbagai keajaiban, yang andaikan dia mau memikirkannya, tentu lebih baik dari sekian banyak amal-amal yang lain. 

Kisah-Kisah Muroqobah
a. Kisah tentang seorang pedagang
Yunus bin Ubaid adalah seorang pengusaha sukses. Di tokonya ada beberapa jenis perhiasan yang harganya bermacam-macam. Ada yang berharga 400 dirham. Ada juga yang berharga 200 dirham. Ketika akan pergi melaksanakan shalat, ia menyuruh keponakannya untuk menggantikannya di toko. Kemudian datanglah seorang Arab Badui hendak membeli perhiasan seharga 400 dirham. Keponakan Yunus pun menyodorkan perhiasan tersebut. Setelah meneliti perhiasan yang disodorkan kepadanya, orang badui itu merasa puas dan dibelinya dengan harga 400 dirham. Kemudian dia pergi meninggalkan toko sambil menimang-nimak perhiasan yang baru dibelinya itu. Di tengah perjalanan, Yunus bin Ubaid berjumpa dengan pembeli tersebut dan tahu betul dengan perhiasannya. Maka Yunus bin Ubaid pun bertanya, “Berapa engkau beli perhiasan itu?”

“400 dirham”, jawab Badui itu.

“Ah, perhiasan itu harganya tak lebih dari 200 dirham. Kembalilah ke toko dan ambil uang lebihnya!”, kata Yunus.

“Perhiasan ini di kampung saya harganya 500 dirham, dan saya rela membelinya dengan 400 dirham”, kata orang Badui itu.

“Kalau begitu, ikuti saya! Sesungguhnya nasehat dalam agama lebih baik dari dunia dan segala isinya”, ajak Yunus.

Maka diajaknya orang Badui tersebut untuk kembali ke tokonya kemudian dikembalikannya kelebihan uang tersebut. Dan beliau menegur keponakannya dengan keras, “Apakah kamu tidak malu?! Apakah kamu tidak takut kepada Allah?! Kamu ambil untung sebanding dengan harga barang dan kamu tanggalkan kejujuranmu terhadap orang muslim!”

“Demi Allah, dia mengambilnya dengan rela sepenuhnya”, bantah keponakannya.

“Bukankah seharusnya kamu rela untuknya sebagaimana kamu merasa rela untuk dirimu sendiri?”, jawab Yunus. 

b. Kisah tentang penggembala kambing
Abdullah bin Dinar berkata: Saya pergi bersama Umar bin Khaththab Ra. menuju Makkah. Ketika kami sedang beristirahat, tiba-tiba muncul seorang penggembala menuruni lereng gunung menuju kami. Umar berkata kepada penggembala: “Hai penggembala, juallah seekor kambingmu kepadaku!”

“Tidak! Saya ini seorang budak”, jawab penggembala itu.

“Katakan saja pada tuanmu bahwa dombanya diterkam serigala”, Umar menguji.

“Kalau begitu, di mana Allah?, tegas penggembala itu.
Ketika mendengar jawaban tersebut, Umar langsung menangis. Kemudian pergi bersama budak tersebut lalu dibelinya dari tuannya dan dimerdekakannya seraa berkata, “Kamu telah dimerdekakan di dunia oleh ucapanmu dan semoga ucapan itu bisa memerdekakanmu di akhirat kelak.”

c. Wanita yang ditinggal suaminya bertugas
Wanita itu sudah lama ditinggal suaminya yang kini sedang bertugas. Ia terkepung dalam kabut kesepian, di sergap oleh bisikan-bisikan kesendirian. Darah kewanitaannya bergejolak dan nalurinya membisikkan sesuatu. Namun semua itu terbendung oleh benteng keimanan dan muroqobatullah. Di tengah malam yang gelap gulita Umar mendengar wanita itu bersenandung:
Malam lama berlalu, gelap gulita semakin pekat
Aku masih terjaga, tak ada kekasih mencumbu
Demi Allah, andai tak ada Allah yang ditakuti siksa-Nya
Niscaya ranjang ini akan bergoyang

Hari berikutnya Umar Ra. menemui anaknya, Hafshah Ra.. Beliau bertanya, “Berapa lamakah seorang istri bisa sabar menunggu suaminya?”

Hafshah menjawab, “Empat bulan.”

Selanjutnya Khalifah Umar bin Khaththab segera mengirim utusan kepada pemimpin pasukan di medan perang. dalam pesannya, Umar memerintahkan pemimpin pasukan agar tidak menahan (bertugas) seorang prajurit lebih dari empat bulan. Merupakan fitnah (ujian) antara perasaan takut wanita tersebut kepada Allah di satu pihak dan dorongan untuk melakukan maksiat di pihak lain. Kemudian dorongan-dorongan tersebut lebur di hadapan kekuatan iman. Dan tampillah iman sebagai pemenang.

C. Muhasabah (Introspeksi Diri)
Dasar muhasabah adalah firman Allah dalam surat al-Hasyr ayat 18: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Makna muhasabah sebagaimana disyaratkan oleh ayat ini, ialah: Hendaklah seorang mukmin menghisab dirinya ketika selesai melakukan amal perbuatan; apakah tujuan amalnya untuk mendapatkan ridha Allah? Atau, apakah amalnya dirembesi sifat riya? Apakah dia sudah memenuhi hak-hak Allah dan hak-hak manusia?

Ketahuilah, bahwa seorang mukmin setiap pagi hendaknya mewajibkan diri dan meminta perjanjian untuk memperbaiki niat, melaksanakan taat, memenuhi segala kewajiban, dan membebaskan diri dari riya. Demikian pula di sore hari, semestinya ia punya waktu untuk menyendiri dengan dirinya guna memperhitungkan semua yang telah dilakukannya. Bila yang dilakukannya itu kebaikan, maka hendaklah memanjatkan puji syukur kepada Allah atas taufiknya. Apabila yang dilakukan itu bukan kebaikan, maka hendaklah ia bertaubat dan kembali ke jalan Allah; seraya menyesal, memohon ampunan, berjanji untuk tidak mengulangi, serta memohon perlindungan dalam khusnul khatimah kepada-Nya.

Umar Ra. berkata, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang. Dan, bersiap-siaplah untuk pertunjukkan yang agung (hari kiamat). Di hari itu kamu dihadapkan kepada pemeriksaan, tiada yang tersembunyi dari amal kalian barang satu pun.”

Cara Muhasabah
Hendaklah seorang muslim memperhatikan modal, keuntungan dan kerugian, agar ia dapat mengontrol apakah dagangannya bertambah atau menyusut.

Yang dimaksud dengan modal adalah Islam secara keseluruhan, mencakup segala perintah, larangan, tuntunan, dan hukum-hukumnya. Dan yang dimaksud dengan laba adalah melaksanakan ketaatan dan menjauhi larangan. Sedangkan yang dimaksud dengan kerugian adalah melakukan perbuatan dosa.

Ketika seorang mukmin selalu memperhatikan modalnya, memperhitungkan keuntungan dan kerugiannya, bertaubat dikala melakukan kesalahan dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan kebaikan, maka ia telah termasuk orang yang menghisab diri sebelum hari penghisaban.

Jika Anda telah menghisab diri dalam urusan yang besar maupun yang kecil, dan berusaha keras menyendiri di malam hari dengan Allah untuk melihat apa yang akan dipersembangkan di hari kiamat nanti, maka dengan demikian Anda telah melangkah menuju takwa.

Kisah Tentang Muhasabah
Taubah bin ash-Shimmah dikenal sebagai orang yang sangat lembut. Dia biasa menghisab dirinya sendiri. Suatu hari dia menghitung-hitung, selagi sudah berumur enam puluh tahun. Dia menghitung hari-hari yang pernah dilewatinya, yaitu sebanyak sebelas ribu lima ratus hari. Tiba-tiba saja dia tersentak dan berkata, “Aduhai celaka aku! Apakah aku harus bertemu Allah dengan membawa sebelas ribu lima ratus dosa?” Setelah itu dia langsung pingsan dan seketika itu pula dia meninggal dunia. Pada saat itu orang-orang mendengar suara, “Dia sedang menitu ke surga Firdaus.” 

D. Mu’aqobah (Pemberian Sanksi)
Landasan mu’aqobah adalah firman Allah Swt.: “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 178).

Sanksi yang kita maksudkan adalah: Apabila seorang mukmin menemukan kesalahan maka tak pantas baginya untuk membiarkannya. Sebab membiarkan diri dalam kesalahan akan mempermudah terlanggarnya kesalahan-kesalahan yang lain dan akan semakin sulit untuk meninggalkannya. Bahkan sepatutnya dia memberikan sanksi atas dirinya dengan sanksi yang mubah sebagaimana memberikan sanksi atas istri dan anak-anaknya. Hal ini merupakan peringatan baginya agar tidak menyalahi ikrar, disamping merupakan dorongan untuk lebih bertakwa dan bimbingan menuju hidup yang lebih mulia.

Sanksi ini harus dengan sesuatu yang mubah. Tidak boleh dengan sanksi yang haram, seperti membakar salah satu anggota tubuh, mandi di tempat yang terbuka pada musim dingin, meninggalkan makan dan minum sampai membahayakan dirinya. Allah swt. berfirman agar kita jangan sampai melakukannya: “…dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan…” (QS. al-Baqarah: 195).

Ulama saleh telah memberikan teladan kepada kita tentang ketakwaan, muhasabah, menjatuhkan sanksi pada dirinya jika bersalah dan bertekad untuk lebih taat jika mendapatkan dirinya lalai atas kewajiban. Berikut ini kami sebutkan beberapa contoh:

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Umar bin Khaththab Ra. pergi ke kebunnya. Ketika pulang didapatinya orang-orang sudah selesai melaksanakan shalat ashar. Maka beliau berkata: “Aku pergi hanya untuk sebuah kebun, aku pulang orang-orang sudah shalat ashar! Kini kebunku aku jadikan sedekah untuk orang-orang miskin.”

Kisah yang lain menyebutkan. Suatu ketika Umar Ra. pernah disibukkan oleh suatu urusan sehingga waktu maghrib lewat sampai muncul dua bintang. Maka setelah melaksanakan shalat maghrib, beliau memerdekakan dua orang budak.

Ketika Abu Tholhah sedang shalat, di depannya lewat seekor burung lalu beliaupun melihatnya dan lalai dari shalatnya sehingga lupa sudah berapa rakaat beliau shalat. Karena kejadian tersebut, beliau menyedekahkan kebunnya untuk kepentingan orang-orang miskin sebagai sanksi atas kelalaian dan ketidak khusyuannya.

Diriwayatkan pula bahwa Tamim ad-Dari Ra. tidur semalam suntuk tanpa shalat tahajud, maka beliau mewajibkan dirinya mengisi setiap malam dengan tahajud sebagai sanksi atas kelalaiannya.

Hasan bin Hannan pernah melewati sebuah rumah yang selesai dibangun. Beliau berkata, “Kapan rumah ini dibangun?” Kemudian beliau menegur dirinya sendiri: “Kenapa kau tanyakan sesuatu yang tidak berguna untuk dirimu?! akan kujatuhkan sanksi dengan puasa setahun!”

Ada baiknya kita meneladani kisah-kisah ini dalam muhasabah diri dan menjatuhkan sanksi; jika ia menemukan kelalaiannya dalam memikul tanggung jawab atau meninggalkan kewajiban terhadap Allah dan sesama manusia. Misalnya dengan menginfakkan sejumlah uang tatkala meninggalkan shalat berjamaah, atau dengan mengerjakan beberapa rakaat shalat sunat ketika tidak mengerjakan dengan sungguh-sungguh kewajibannya.

E. Mujahadah
Dasar mujahadah adalah firman Allah dalam surat al-Ankabut ayat 69: Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”

Makna mujahadah sebagaimana disyariatkan oleh ayat tersebut adalah: Apabila seorang mukmin terseret dalam kemalasan, santai, cinta dunia dan tidak lagi melaksanakan amal-amal sunah serta ketaatan yang lainnya tepat pada waktunya maka ia harus memaksa dirinya melakukan amal-amal sunah lebih banyak dari sebelumnya. Dalam hal ini harus tegas, serius, dan penuh semangat sehingga pada akhirnya ketaatan merupakan kebiasaan yang mulia bagi dirinya dan menjadi sikap yang melekat pada dirinya.

Dalam hal ini cukuplah Rasulullah Saw. menjadi teladan yang patut diteladani sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah Ra.: “Rasulullah Saw. melaksanakan shalat malam hingga kedua tumitnya bengkak. Ketika Aisyah Ra. bertanya, ‘Mengapa engkau lakukan hal itu? Bukankah Allah sudah mengampuni dosamu yang sudah lalu dan yang akan datang?’ Rasulullah menjawab, ‘Bukankah sepantasnya aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?’.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam riwayat lain, Aisyah Ra. berkata: “Apabila Rasulullah memasuki sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, beliau menghidupkan malam (dengan ibadah), membangunkan keluarganya, bersungguh-sungguh dan mengencangkan ikat pinggang.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam beberapa hadits, Rasulullah Saw. memerintahkan dan mendukung pelaksanaan mujahadah dalam amal ibadah. Di antara bimbingan Rasulullah Saw. mengenai mujahadah adalah: Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah berfirman: ‘Tidaklah seorang hamba mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Kusukai selai dari amalan-amalan wajib dan seorang hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan melakukan amalan-amalan sunah, sehingga Aku mencintainya. Apabila aku telah mencintainya, maka Aku-lah yang menjadi pendengarannya, dan sebagai tangan yang digunakannya untuk memegang dan kaki yang dia pakai untuk berjalan. Dan, apabila dia memohon maka Aku pasti mengabulkan permohanannya, dan jika berlindung kepada-Ku pasti Kulindungi’.” (HR. Bukhari).

Ruba’i bin Ka’ab Ra. berkata: “Suatu malam saya bersama Rasulullah Saw. lalu saya mengambil air wudhunya dan kebutuhan-kebutuhannya. Kemudian beliau bersabda, ‘Mintalah padaku’. Saya katakan, ‘Saya memohon agar bisa menyertai Anda di surga’. Nabi Saw. bersabda, ‘Tidakkah kau minta yang lain?’. Saya katakan, ‘Itulah permintaan saya’. Nabi Saw. bersabda, ‘Kalau begitu, tolonglah saya untuk menyelamatkan dirimu dengan banyak bersujud (melaksanakan shalat)’.” (HR. Muslim).

Berpijak dari bimbingan Nabi Saw. dalam bermujahadah dan bagaimana memaksakan diri dalam taat serta mendekatkan diri kepada Allah, maka orang-orang saleh telah menapaki jalan mujahadah dan melatih diri agar terus bisa bermujahadah. Setiap kali mereka menemukan kemalasan atau kelalaian dalam melaksanakan hak-hak Allah walau hanya berupa ibadah sunah, mereka bangkit dari kelalaiannya dengan serius dan tekad yang bulat kemudian kembali ke jalan Allah dengan penuh kekhusyuan sehingga mereka sampai ke puncak derajat yakin. Hati mereka merasakan hembusan keimanan dan di relung jiwa mereka merasakan lezatnya ibadah dan nikmatnya munajat.

Kisah-Kisah Mujahadah 
Abu Muhammad al-Jahiri bermukim di Makkah selama satu tahun. Beliau jarang tidur, jarang berbicara, tidak bersandar ke dinding dan tidak duduk melonjorkan kaki. Abu Bakar al-Kattani bertanya kepada beliau: “Bagaimana Anda bisa kuat seperti ini?” Beliau menjawab: “Allah Maha Mengetahui ketulusan batin saya sehingga dengan demikian Dia menolong kekuatan lahiriah saya.”

Utsman bin Affan pernah membaca al-Quran seluruhnya dalam satu rakaat witirnya. Imam Syafi’i pernah mengkhatamkan sebanyak enam puluh kali pada bulan Ramadhan. Imam Abu Hanifah pernah shalat sunah dari selepas Isya hingga menjelang subuh. Imam Ahmad bin Hanbal biasa shalat sunat 300 rakaat dan ketika sakit mampu mengerjakan 100 rakaat. Begitupun hal yang sama dilakukan oleh Imam Zainal Abidin.

Itulah beberapa kisah di antara sekian banyak kisah yang menggambarkan betapa luhurnya mujahadah mereka dan betapa banyaknya ibadah dan ketaatan yang mereka lakukan.

Seandainya ulama-ulama saleh di zaman dulu memiliki sifat-sifat yang kita sebutkan di atas rasanya sudah cukup membuat mereka punya wibawa, mulia, dan berjaya.

Selanjutnya bagi orang yang ingin bersungguh-sungguh dalam ibadah dan membawa dirinya untuk bermujahadah harus memperhatikan dua sisi penting dalam amal-amalnya:

Pertama, hendaklah amal-amal sunah tidak membuatnya lupa akan kewajiban-kewajibannya. Misalnya ia mengerjakan suatu sunah tertentu semendata ia mengabaikan hak keluarga berupa nafkah atau mengabaikan hak dirinya. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Saw. dalam sabdanya: “Sesungguhnya Allah mempunyai hak yang harus kamu patuhi. Dirimu pun punya hak yang harus kamu penuhi, dan keluargamu juga punya hak yang harus kamu penuhi. Penuhilah setiap hak mereka.” (HR. Bukhari).

Kedua, tidak memaksakan diri dengan amal-amal sunah yang diluar kemampuannya, sebagaimana sabda Nabi Saw.: “Hendaklah kalian beramal sesuai dengan kemampuan. Demi Allah, Allah tidak akan bosan sehingga kalian merasa bosan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Apabila ada di antara ulama saleh melaksanakan amal-amal sunah di luar batas ukuran biasa, maka bisa ditakwilkan dengan beberapa kemungkinan.

Mungkin hanya untuk menentang hawa nafsunya yang telah terjerat kelalaian dan kemalasan. Atau mungkin untuk memohon pertolongan Allah dan keridhan-Nya di waktu-waktu tertentu yang penuh berkah, atau mungkin karena Allah memberikan kekuatan untuk bisa melakukan amal-amal seperti itu. Atau mungkin mereka diberi taufik untuk bisa bermujahadah memenuhi hak tersebut. Dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan lainnya.

Jika Anda sudah berusaha melakukan mujahadah dengan mencontoh Rasulullah Saw. dan ulama-ulama saleh, maka saya yakin Anda telah melangkah menuju takwa, menapaki perjalanan ruhani dan akan sampai ke derajat orang-orang bertakwa.

Itulah beberapa cara untuk menumbuhkan takwa dalam hati dan ruh setiap mukmin serta menyatukannya dengan perasaannya. Dengan mu’ahadah Anda dapat beristiqomah di atas syariat Allah dan dengan muroqobah Anda dapat merasakan keagungan Allah baik di kala sembunyi atau pun di kala ramai.

Dengan muhasabah Anda bisa terbebas dari kebusukan hawa nafsu yang selalu berontak, dan bisa memenuhi hak-hak Allah dan hak-hak sesama manusia. Dengan mu’aqobah Anda bisa memisahkan diri Anda dari penyimpangan.

Dengan mujahadah Anda bisa memperbaiki aktivitas diri Anda sekaligus menyingkirkan kelalaian dan kemalasan. Dengan cara-cara tersebut takwa akan menjadi suatu hal yang biasa bagi Anda dan akan menjadi akhlak Anda yang sebenarnya.

Bahkan Anda akan sampai ke puncak kebahagiaan. Anda akan sampai ke derajat yang paling tinggi. Anda akan mampu menggetarkan musuh, memberi teladan kepada orang lain baik dalam ucapan, perbuatan, dan kemantapan ruhani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar