Hari
itu, Syaikh Muhammad Ahmad Rasyid berkesempatan berkunjung ke kantor Majalah
Ad Dakwah, dalam rangkaian lawatannya ke Mesir. Majalah
Ad Dakwah adalah salah satu majalah milik Jamaah
Ikhwanul Muslimin di Mesir. Dalam kunjungannya ke kantor itu, beliau melihat
seorang lelaki tua yang penuh kerendahdirian. Dengan penuh ke-tawadhu’-an, ia duduk di atas sebuah kursi rutan yang lusuh, di depan
salah satu unit apartemen yang merupakan bagian dari kantor Majalah
Ad Dakwah. Tampak bahwa ia adalah penjaga pintu bagunan
itu. Namun, sorot cahaya wajahnya menunjukkan bahwa lelaki itu memiliki
kehebatan. Ia memancarkan cahaya ruhani.
Syaikh
Muhammad Ahmad Rasyid pun memberikan salam kepadanya dan meminta izin untuk
masuk ke dalam ruangan. Lelaki tua itupun menjawab salam dan mempersilakannya
masuk. Maka, berjalanlah Syaikh Muhammad Ahmad Rasyid ke dalam bangunan kantor.
Seorang al
akh yang berada di situ pun bertanya padanya,
“Apakah engkau mengenal lelaki terhormat yang seolah penjaga pintu itu?”
“Tidak,”
jawab Syaikh, “Namun ia menarik perhatianku.”
“Dialah
Shalih Asymawi,” kata al akh tersebut.
“Dia
pernah merasa dirinya nyaman saat mereka yang membuat onar mengangkatnya
sebagai pemimpin dan memanggilnya ‘amir’,” lanjutnya. “Dia bersedia untuk kembali sebagai
tentara biasa berada di akhir barisan. Dia bersikeras bahwa itulah
kesempurnaan untuk taubatnya. Dia memilih menjadi penjaga
pintu. Kalau dia tahu ada lagi posisi lebih rendah dari itu dia akan
memilihnya. Dengan itu, dia menghapus sikap lampaunya yang
meginginkan berada dikedudukan kepemimpinan.”
Maka,
teringatlah Syaikh Muhammad Ahmad Rasyid pada masa fitnah yang menimpa
Jamaah Ikhwanul Muslimin di masa kepemimpinan Mursyid
‘Amm Hasan Al Hudhaibi.
Shalih
Asymawi, seorang ustadz, adalah salah seorang mu’asis dakwah Ikhwanul Muslimin. Beliau adalah generasi
pertama jamaah Ikhwan dan memiliki kedudukan istimewa di hadapan Mursyid
‘Amm Imam Hasan Al Banna. Dia telah membersamai
dan mendukung Imam Hasan Al Banna dalam satu periode, serta menjadi salah satu
dai paling baik amalnya. Beliau termasuk pula menjadi anggota Maktab Irsyad
Jamaah Ikhwanul Muslimin. Bahkan beliau sempat menjabat sebagai Wakil Mursyid
‘Amm.
Saat
Imam Hasan Al Banna dibunuh, itulah tanda puncak tribulasi yang dihadapi jamaah
Ikhwan. Namun, puncak tribulasi itu ternyata tidak serta-merta melemahkan
tribulasi yang dihadapi jamaah. Saat penentuan Mursyid ‘Amm yang baru,
menggantikan Imam Hasan Al Banna. Pada waktu itu muncul beberapa kandidat kuat
pengganti Imam Hasan Al Banna. Mereka adalah Ustadz Shalih Asymawi yang
menjabat wakil pimpinan jamaah, Abdurrahman Al Banna yang merupakan saudara
Imam Hasan Al Banna, Abdul Hakim Abidin yang merupakan sekretaris jamaah yang
cerdas, dinamis, dan orator ulung, dan Syaikh Ahmad Hasan Al Baquri yang
merupakan salah seorang ulama Al Azhar Asy
Syarif.
Namun,
akhirnya terpilihlah Ustadz Hasan Al Hudhaibi, seorang jaksa yang belum banyak
dikenal oleh anggota jamaah yang lain. Namun, menurut Majelis Tertinggi Ikhwan,
pemilihan Ustadz Hasan Al Hudhaibi ini memiliki tiga pertimbangan utama.
Pertama, beliau dianggap figur akomodatif dan dinilai sebagai
langkah kompromi terhadap pemerintah sehingga mengendurkan tekanan terhadap
Ikhwan. Kedua, beliau sebagai tokoh hukum
yang disegani sehingga diharapkan mampu melakukan pembelaan terhadap para
aktivis Ikhwan yang banyak dipenjara dan dalam proses peradilan. Ketiga, beliau dinilai sebagai figur pemersatu yang bisa
diterima banyak pihak. Selain itu mereka juga menilai Ustadz Hasan Al Hudhaibi
sebagai sosok yang disiplin, berdedikasi tinggi, dan bersikap berani dan tegas
dalam mengambil keputusan.
Seperti
ditulis dalam Al Ikhwan Al Muslimun: Bersama Mursyid ‘Amm Kedua , pada awalnya Ustadz Hasan Al Hudhaibi menolak jabatan
itu, karena merasa tidak mampu mengemban tugas berat tersebut. Dan beliau
mengatakan bahwa dirinya juga bukan dari kalangan dekat imam mu’asis seperti
halnya calon lainnya. Namun karena dukungan cukup kuat dari berbagai cabang
ikhwan, akhirnya beliau menerima jabatan ini.
Khamis
Hamdah pernah berkata, “Ikhwanul Muslimin dididik oleh Al Banna dan dialah Sang
Guru (Sang Murabbi). Siapapun yang menggantikannya, harus mampu menggantikan
perannya.” Dan ternyata ini bukan hal mudah bagi Ustadz Hasan Al Hudhaibi.
Beberapa
saat setelah pengangkatannya sebagai Mursyid ‘Amm, muncul faksi-faksi yang berusaha menggoyang kepemimpinan
Ustadz Hasan Al Hudhaibi. Mereka memandang pengangkatannya kontroversial,
karena belum memenuhi persyaratan administratif, yaitu masa keanggotaan
di lajnah ta’sisiyah sekurang-kurangnya
lima tahun. Beliau juga dipandang kontroversial karena mengangkat
mereka-mereka yang punya gelar ilmiah dalam bidang keduniaan menjadi angggota
Maktab Irsyad. Tekanan lain muncul dari Nizham
Khash yang khawatir beliau akan segera membubarkan
organisasi khusus ini, atau merestrukturisasi karena beliau mulai melihat
adanya beberapa tindakan Nizham Khash yang keliru.
Puncak
konflik itu terjadi ketika 71 anggota Majelis Tertinggi Ikhwan menyampaikan
mosi tidak percaya dan menuntut empat hal:
Pertama, pembubaran Maktab Irsyad. Kedua, pembubaran semua cabang Ikhwan yang didirikan
tiga tahun terakhir. Ketiga, pembatalan semua amandemen terakhir terhadap
konstitusi Ikhwan. Dan keempat, pembatalan
tindakan terhadap para oposan. Saat itu beredar selebaran gelap yang
ditandatangani oleh “Gerakan Ikhwan Merdeka” dan “Para pendukung
Hasan Al Banna” yang disokong oleh Jamal Abdun Nashir. Mereka
menuntut Ustadz Hasan Al Hudhaibi mundur dari jabatannya.
Kemudian Ustadz
Hasan Al Hudhaibi pun mengambil langkah tegas dengan memecat beberapa anggota,
termasuk sebagian anggota Dewan Pendiri, setelah memperoleh persetujuan Maktab
Irsyad. Pemecatan mereka bukan karena meragukan agama dan keluhuran akhlaq
mereka. Mereka dipecat karena melanggar konstitusi jama’ah. Kondisi seperti ini
tidak akan membawa keuntungan bagi setiap jamaah, partai ataupun lembaga.
Bahkan,
Abdurahman As Sindi yang saat itu menjabat sebagai pimpinan Nizham
Khash dan beberapa anggota oposan datang langsung ke rumah Ustadz
Hasan Al Hudhaibi, mereka mencabut kabel telepon rumahnya dan memintanya turun
dari jabatan Mursyid. Mereka kemudian pergi meninggalkan rumah Mursyid
‘Amm dan menuju kantor Maktab Irsyad. Mereka mendudukinya.
Mereka menutup dan mengunci kantor dengan rantai besi. Penyegelan ini berhasil
diselesaikan dengan lobi dari Ustadz Umar Tilmisani dan Ustadz Abdul Aziz Jalal
kepada para oposan melalui sambungan telepon.
Dalam masa
panjang dan berkali-kali terjadinya tribulasi terhadap Ikhwan inilah Ustadz
Shalih Asymawi pernah turut terlibat, menjadi oposan bagi kepemimpinan Mursyid
‘Amm. Saat itu, segala urusan menjadi penuh cobaan dan hawa nafsu
seringkali menguasai. Salah satu faksi di dalam tubuh jamaah menjadikan Ustadz
Shalih Asymawi sebagai pemimpin mereka. Ustadz Shalih Asymawi pun mengiyakan
dan sempat menjadi salah satu pengobar bara fitnah di dalam internal jamaah
Ikhwan. Hawa nafsu mendorongnya menginginkan kekuasaan.
Masa pun
berganti, dan badai fitnah terhadap Jamaah Ikhwan pun berlalu. Ustadz Shalih
Asymawi pun menyesal atas apa yang telah dilakukannya. Beliau bersedia kembali
menjadi tentara dakwah, tapi beliau hanya mau berada di barisan shaf paling
akhir. Beliau bersikeras bahwa itulah kesempatannya untuk bertaubat. Beliau
memilih menjadi penjaga pintu. Ya, penjaga pintu kantor Majalah Ad
Dakwah, hanya penjaga pintu. Dari wakil pimpinan jamaah, menjadi penjaga
pintu.
Ustadz Umar At
Tilmisani, tulis Syaikh Muhammad Ahmad Rasyid dalam Fadhaihul Fitan, yang
kemudian menjadi Mursyid ‘Amm ketiga mengatakan, “Kami berdoa
untuknya dan kami ajak dia agar menjadi seorang akh yang ikut serta
(bekerjasama mengurus jamaah) seperti orangorang yang lain. Dan Allah akan
mengampuni mereka yang telah bertaubat, tetapi dia tetap enggan dan
menolak. Kami terus berusaha keras untuk meyakinkannya, tapi dia
tetap tidak beranjak dari upaya menghukum dirinya dengan berada di barisan
paling akhir.”
Dan beberapa
tahun kemudian Ustadz Umar At Tilmisani berkata, “Ustadz Shalih `Asymawi telah
bertaubat dengan satu taubat, yang saya anggap, kalau ia dibagikan ke semua
da’i Islam di Kairo, ia akan mencakup mereka semua.”
Komentar:
Tulisan di atas ditulis oleh Priyo Kuncoro di situs fimadani.com. Saya sangat terkesan dengan
kisah ini. Menurut saya kisah ini penuh inspirasi dan sangat bermanfaat untuk
direnungkan. Kisah ini menggambarkan pengorbanan, kesungguhan dalam beramal,
ketaatan kepada qiyadah, kedisiplinan dalam manhaj, dan pelaksanaan fikrah yang
konsisten. Kisah ini menunjukkan karakteristik seorang ikhwah yang telah
ditarbiyah langsung oleh Imam Hasan Al-Banna. Tarbiyah itu begitu mengena dalam
diri mereka sehingga membentuk kepribadian mereka. Saya menemukan kisah tentang
kader-kader Ikhwan lainnya yang menunjukkan fenomena cemerlang serupa. Sungguh,
kisah-kisah itu sulit sekali dicari tandingannya di zaman modern ini. Sungguh
kebaikan yang kita lakukan adalah untuk diri kita sendiri, apalagi jika
kebaikan itu diikuti oleh orang lain, maka pahalanya akan terus mengalir untuk
diri kita. Semoga Allah merahmati Syaikh Shalih Asymawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar