Minggu, 17 Juni 2012

Belajar Menulis Cerita Anak

Hampir setiap hari saya membacakan buku bacaan anak kepada anak-anak saya. Karena sudah semua buku sudah saya bacakan, kadang saya mengulangnya kembali pada kesempatan berikutnya. Kalau sudah bosan membaca buku yang sama, saya membaca cerita-cerita yang terdapat dalam buku-buku remaja maupun dewasa. Hanya saja ketika membacanya, saya menggunakan gaya bahasa anak-anak.Sehingga anak saya bisa tidak bosan mendengarkannya dan mau menerimanya karena sesuai dengan kemampuan bahasa dan akal mereka.

Menurut situs melindahospital.com, manfaat membaca untuk anak, selain menambah pengetahuan, juga mengajarkan anak sejak dini agar bisa membaca lebih cepat. Jangan merasa terlalu dini untuk membacakan buku pada anak, hanya karena Anda menganggap sang anak masih belum mengerti apa yang dibacakan untuknya. Padahal di sisi lain, para ahli menganjurkan pada setiap orangtua untuk mulai membacakan buku sejak sang anak masih balita bahkan masih di dalam kandungan. Hal yang sepertinya sepele itu, ternyata dapat sangat berguna bagi perkembangan anak Anda serta menunjang kesuksesannya di masa depan. 

Setelah sekian lama membacakan buku-buku anak, lama kelamaan saya mulai berpikir, mengapa saya tidak menulis buku anak seperti ketika saya membacakannya kepada anak saya? Hal inilah yang membuat saya memutuskan untuk sedikit demi sedikit menulis cerita untuk anak. Saya sudah menulis banyak cerita, mulai dari cerita para Nabi, cerita Nabi Muhammad, cerita dinosaurus, cerita binatang, dan cerita-cerita lainnya yang tujuan awalnya adalah untuk dibacakan pada anak-anak saya. 

Untuk lebih memperbaiki kemampuan saya dalam bercerita dan menulis cerita anak, pada hari Rabu 13 Juni lalu saya mengikuti lokakarya tentang bacaan anak yang di adakan IKAPI JABAR. Pembicaranya adalah DR. Murti Bunanta. Beliau adalah doktor lulusan UI pertama yang desertasi doktoralnya membahas tentang sastra anak Indonesia. Karya tulis lebih dari seratus judul. Buku-buku beliau banyak mendapat penghargaan baik di dalam maupun diluar negeri dan sebagian di antaranya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, seperti Amerika, Kanada, Jepang, dan Mongolia. Ketika saya mengikuti lokakarya itu, saya mendapatkan banyak sekali pelajaran dan pencerahan. Palajaran dan pencerahan itu berguna sekali untuk memperbaiki tulisan saya. 

Salah satu pesan DR. Murti yang saya dapatkan adalah, mampu mengajak anak bekerjasama tanpa menggurui. Ada satu contoh menarik tentang hal ini. DR. Murti menulis sebuah buku berjudul Tarian Pengusir Ular. Dikisahkan ada dua ekor katak kakak beradik. Yang satu bernama Sulung, sedangkan adiknya bernama Bungsu. Sulung dan Bungsu berusaha mengusir ular dengan cara menari. Namun ular tersebut tidak juga mau pergi. Kemudian Sulung dan Bungsu memanggil ayah dan ibunya untuk turut serta menari. Di sini Ibu Murti mengundang dua orang peserta lokakarya untuk tampil ke depan untuk menjadi ayah dan ibu dua ekor katak tersebut. Bila kedua anaknya menari sambil bersuara kung kung, orangtuanya menari sambil bersuara kong kong. Namun tetap saja si ular tidak mau pergi. Lalu keempatnya memanggil burung. Di sini ibu Murti kembali mengundang dua peserta untuk menjadi seekor burung. Burung ini bersuara kwak kwak. Tetap saja ular tersebut tidak pergi. Lalu dipanggillah Monyet. Monyet bersuara nguk nguk. Ketika mereka menari dengan bersuara yang berbeda-beda itu akhirnya ular pun pergi. 

Dari cerita ini, tampak sekali tidak ada kesan untuk menggurui anak. Anak melakukan apa yang seharusnya anak tersebut lakukan, bukan karena disuruh-suruh. Sebuah buku anak yang baik itu seperti itu. Cerita dalam buku tersebut menjadi sangat menyenangkan untuk dibaca oleh anak. Tidak heran bila buku Tarian Pengusir Ular mendapatkan penghargaan dari Polandia. 

Selain buku anak dapat menyenangkan anak, ia juga dapat mendidik. Yang dimaksud mendidik di sini adalah, mendidik pembaca tanpa terasa pembaca sedang "di didik", karena pengarang hanya memberi sebuah pengalaman dalam cerita yang membuat pembaca sadar apa yang menjadi pokok masalah yang diketengahkan pengarang. Pengarang sebaiknya hanya berbagi dan tidak bersifat menjadi pendidik yang serba tahu. 

Cerita yang baik juga akan mencerahkan pembacanya, baik tentang moral, keyakinan, ataupun tentang ilmu pengetahuan. Dengan catatan, bahwa pengarang tidak bersifat sok tahu, serba tahu. Karena bersifat mencerahkan maka pembaca akan merasa lega karena mungkin pengalaman yang dia baca dalam cerita dapat memberi sebuah pengertian bahwa pembaca tidaklah sendiri dengan persoalannya tetapi "orang lain" dalam cerita juga mempunyai persoalan yang sama dan ini sangat melegakan pembacanya.

Setelah membaca buku yang baik, pembaca akan mendapat stimulasi. Bila pembaca sedang sedih, dia akan merasa bahagia dan bersemangat kembali. Bila sedang sakit, dia akan mendapat semangat untuk berjuang melawan penyakitnya.

Buku anak seharusnya juga dapat menghibur pembacanya, bukan dalam arti humor yang membuat pembacanya tertawa terpingkal-pingkal, tetapi dia akan terhibur karena cerita yang bak selalu mengajarkan adanya "harapan" dalam situasi yang buruk sekalipun. Pembaca diajarkan untuk tidak berputus asa.

Bagi anak yang sakit, misalnya, mendengarkan cerita yang baik akan menenangkan karena dia dapat melepaskan dan melupakan penderitaannya serta fokus pada cerita.  

DR. Murti menjelaskan semua itu berikut contoh ceritanya. 

Akhirnya, saya pulang membawa ilmu yang sangat bermanfaat yang tidak hanya untuk diri saya, tapi juga untuk anak dan istri saya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar