Rabu, 06 Juni 2012

Pelajaran Menulis dari Imam Hasan Al-Banna

Sebagian ikhwah mengatakan jika Imam Hasan Al-Banna bukan seorang penulis yang produktif. Beliau produktif dalam mengkader da'i. Tapi saya pikir perkataan itu relatif. Ketika dihadapkan pada produktivitas ulama Timur Tengah dalam menulis, kemungkinan benar karena ulama-ulama disana produktif dalam menulis. Tapi jika dihadapkan dengan ulama Indonesia khususnya, yang saya pikir jarang menulis kecuali hanya segelintir ulama saja, maka bisa dipastikan Imam Hasan Al-Banna adalah seorang penulis yang produktif. 


Imam Hasan Al-Banna telah menulis buku dua buku bermutu yang dijadikan pegangan bagi aktivis Ikhwanul Muslimin; Al-Ma'tsurat dan Memoar Hasan Al-Banna. Selain itu, beliau sangat aktif menulis di media cetak seperti majalah dan surat kabar. Hal ini dapat kita baca dari keterangan yang disampaikan DR. Jumu'ah Amin Abdul Aziz dalam bukunya yang berjudul Pemikiran Hasan Al-Banna dalam Akidah dan Hadits. Berikut ini data-data yang berhasil dikumpulkan Dr. Jumu'ah:

1. Koran mingguan Ikhwanul Muslimin. Di dalam koran ini, beliau menulis masalah keislaman, politik, sosiologi dan juga moral. Beliau menulis pada koran ini selama lima tahun. 

2. Majalah Mingguan An-Nadzir. Di dalam majalah ini, Imam Hasan Al-Banna menulis lebih lebih dari 80 makalah tentang politik dan sosiologi dibawah naungan Islam. 

3. Majalah Al-Manar. Majalah ilmiah ini pada awal mulanya diawaki oleh Sayyid Rasyid Ridha. Namun setelah beliau wafat, majalah ini sempat vakum. Lalu, pihak keluarga Sayyid Rasyid Ridha meminta Imam Hasan Al-Banna untuk menghidupkan kembali majalah Al-Manar ini. Pada majalah ini, Imam Hasan Al-Banna menulis bagian pembukaan, tafsir Al-Qur'an, bidang fatwa, doktrin politik dunia Islam dan tentang muslimah. 

4. Majalah At-Ta'aruf. Di majalah ini, Imam Hasan Al-Banna menjabat sebagai editor pada bagian catatan pembuka, juga pada masalah-masalah fikih dan menjelaskan pandangan Al-Ikhwan demi reformasi di bidang politik dan sosial budaya pada waktu itu.

5. Majalah dwi-mingguan Ikhwanul Muslimin. Pada majalah ini, Imam Hasan Al-Banna telah menulis lebih dari seratus makalah dari berbagai tema syariat, pemikiran, sosial kemasyarakatan, politik, dan dakwah. 

6. Koran harian Ikhwanul Muslimin. Beliau telah menulis lebih dari 370 artikel tentang berbagai problematika. 

7. Majalah bulanan Asy-Syihab. Dalam majalah ini, Imam Hasan Al-Banna menulis sebagian tentan tafsir yang dimulai dari surat Al-Fatihah, juga tentang Ulumul Qur'an dan Musthalah Hadits.

8. Majalah Al-Fath. Majalah ini dipimpin oleh Syaikh Muhibbuddin Al-Khatib, seorang ulama yang sangat dihormati dikalangan salafy. Majalah ini memberi keleluasaan kepada Imam Hasan Al-Banna untuk menulis di dalamnya. Sehingga tulisan yang sempat ia tulis sebanyak 23 artikel.  

9. Selain majalah dan koran di atas, beliau juga menulis di majalah Syubbanul Muslimin.

Tulisan-tulisan di atas adalah yang dimuat di media cetak, belum lagi tulisan-tulisan beliau yang berisi khutbah dan risalah yang kemudian dibukukan oleh murid dan sahabat-sahabatnya.Belum lagi catatan-catatan yang beliau tulis yang belum dipublikasikan hingga kini. Jadi kalau dihitung-hitung ribuan tulisan yang telah beliau buat. Sangat banyak. Syaikh Muhammad Al-Ghazali yang merupakan murid Imam Hasan Al-Banna pernah mengunjungi perpustakaan milik gurunya itu. Buku-buku yang jumlahnya ribuan itu ternyata sebagian besar telah diberi catatan oleh Imam Hasan Al-Banna. Tidaklah mengherankan bila beliau memiliki wawasan keilmuan yang luas. Yang dengan wawasan itu, beliau membangun jamaah Ikhwanul Muslimin. Beliau juga menyempatkan diri mengisi waktu luang dengan menulis, misalnya ketika berada di dalam kereta. 

Ternyata Imam Hasan Al-Banna mempunyai kiat-kiat khusus dalam menulis tema-tema keagamaan. Berikut ini kiat-kiat bagaimana menulis tema-tema keagamaan yang telah saya  ringkas. Saya sedikit mengulasnya agar kiat-kiat itu semakin jelas dan mudah diaplikasikan dalam dunia kepenulisan kita:  

Pertama, sesungguhnya setiap zaman memiliki cara tersendiri di dalam penulisan yang sesuai dengan kerangka berpikir masyarakatnya dan cara mereka belajar. Pembaruan ini harus mengikuti pembaruan pemikiran manusia dan perubahan metodologi penulisan, pemikiran, dan kesimpulannya. Oleh karena itu, buku-buku yang diterbitkan pada masa Islam terdahulu memiliki ciri tersendiri yang berbeda dengan orang lain. Pada masa modifikasi pertama, penulisan lebih dititikberatkan pada penulisan matan dan sanad yang disertai dengan pembahasan sekilas tentang sebagian pendapat. Seperti yang dapat kalian lihat di dalam buku  Muwatha Mâlik karya Imâm Malik r.a., Musnad Imam Ahmad, dan buku-buku hadis pertama. Pada periode berikutnya, para pengarang dan ahli fikih lebih cenderung untuk meringkas hukum-hukum, mensistematiskan dan menjelaskan masalah-masalah yang konkret. Pembaca dapat melihatnya di dalam buku Al Umm karya Imam Asy Syafi’î dan Al Mabsûth karya as-Sarkhasî. Kemudian datang masa di mana para penulis lebih berkonsentrasi kepada menjelaskan hukum-hukum, memperbanyak penulisan cabang-cabang hukum, menjelaskan syarat-syarat dan pengecualian-pengecualian, sebagai bentuk kepercayaan kepada para pengarang dan penghormatan terhadap karya para ulama. Setelah itu datang masa catatan pinggir, notasi, dan keterangan. Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa setiap masa memiliki ciri tersendiri. Ini adalah sunnatullah di dalam makhluk-Nya. Di dalam buku Mantsûr Al Hukm dinyatakan: “Jangan engkau memaksa anak-anakmu untuk mempelajari bahasamu, sebab mereka diciptakan untuk zaman selain zamanmu.”

Kedua, masa kita adalah masa-masa kebangkitan menulis dan ilmu pengetahuan. Bersamaan dengan semaraknya keinginan untuk menyusun, mengoreksi, mempermudah, dan menerjemah buku, ternyata ilmu-ilmu agama belum mendapatkan tempat di hati para pengarang. Kita masih banyak membaca buku-buku agama klasik. Kita belum mempersembahkan karya sedikitpun di zaman kita. Kita sampai sekarang masih mengekor kepada pendahulu-pendahulu kita. Oleh karena itu, peran kita terhadap ilmu-ilmu agama sangat sedikit. Sebab, metodologi penulisan, sistematika, dan gaya bahasanya sudah tidak sesuai dengan metodologi penelitian modern.

Hal itu berada di beberapa tempat dan akan kami sebutkan sebagian, misalnya:
1. Pada saat Anda ingin mengetahui hukum-hukum jual beli dan ingin membacanya di dalam buku-buku fikih kontemporer, maka Anda harus mengerahkan segenap tenaga dan waktu  yang lama agar sampai pada tempatnya. Demikian juga agar dapat mengoleksi hukum-hukumnya sebanyak mungkin.

2. Beberapa hukum muamalat kontemporer tidak terdapat di dalam buku-buku fikih induk. Misalnya, hukum bank, hukum jual beli nota tagih, dan hukum masalah-masalah lain yang berhubungan dengan agama dan fikih yang menyangkut kehalalan dan keharaman. Anda tidak akan mendapati hal-hal seperti ini di dalam ensiklopedia dan kitab-kitab. Permasalahan sudah cukup jelas, yaitu karena belum ditulis dan dibahas oleh ulama terdahulu. Oleh karena itu, kewajiban kita  adalah menyelesaikan masalah-masalah yang muncul pada saat ini dengan mengacu pada kaidah para ulama sebelumnya, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa ta’ala Meridhai mereka semua.

3. Membahas hukum-hukum yang tidak terdapat saat ini secara detail, seperti membuat contoh masalah-masalah perbudakan dalam jumlah yang besar, sehingga seolah-olah ilmu fikih dipenuhi dengan bab muamalah saja. demikian halnya membuat contoh timbangan dirham, penulisan ukuran takaran, timbangan dan jarak dengan istilah-istilah yang dapat kita samakan dengan istilah-istilah saat ini.

4. Apabila kaum muda bertanya kepada Anda tentang buku yang membahas akidah Islam secara ringkas, atau hukum-hukum ibadah, dengan metodologi yang selaras dengan akalnya, buku apa yang dapat Anda tunjukkan? Padahal, Anda tahu bahwa ia ingin mempelajari dan memahaminya dalam waktu singkat, karena begitulah cara ia belajar.

Saya tidak bermaksud meremehkan par ulama terdahulu. Tidak, sekali lagi tidak. Mudah-mudahan Allah Swt. membalas mereka dengan kebaikan karena melaksanakan perannya dengan baik. Mereka sudah menunaikan kewajiban untuk zamannya. Mereka telah menulis karya ilmiah yang sesuai dengan pemikiran-pemikiran di mana mereka hidup. Dan mereka juga telah meninggalkan warisan intelektual yang sarat dengan muatan hukum-hukum Islam yang terpercaya. Akan tetapi, maksud saya adalah untuk memotivasi para ulama kontemporer agar melayani agama sesuai dengan zaman mereka, dan menorehkan karya intelektual dengan metode yang dapat dicerna oleh akal dewasa ini, bukan dengan metode ulama-ulama klasik. Seorang alim yang berprofesi sebagai petani berkata, "Orang-orang sebelum kami telah menanam dan kami memakannya, sedangkan kami menanam agar dimakan oleh generasi setelah kami." 

Saya tidak menginginkan kita akan menjadi lingkaran (generasi) yang terlupakan dan tidak diketahui mata rantai masa-masa ilmu pengetahuan Islam. Anak cucu kita memahami sebagai generasi mandul yang tidak dapat berbuat apa-apa. Sebaliknya, mereka akan merindukan kenyataan di mana kita seperti lingkaran (generasi) kuat yang tersusun dari ilmu ulama-ulama salaf dengan gaya penyajian ulama-ulama khalaf.   

Komentar:
Benar sekali pendapat Imam Hasan Al-Banna di atas. Kita dapati dalam kitab-kitab klasik seperti Hadits Bukhari dan Hadits Muslim memuat hadits yang berulang disertai mata rantai perawi yang panjang. Sehingga semua itu tentu saja banyak memakan halaman buku. Kemudian para ulama kemudian seperti Imam Mundziri dan Imam Az-Zabidi meringkas dua kitab hadits itu. Yaitu dengan membuang hadits yang berulang dan memotong mata rantai perawi hingga sampai sahabat Nabi Saw. lalu Nabi Saw. Sehingga Kitab ringkasan ini benar-benar padat berisi dan hanya butuh satu jilid saja, misalnya dari sembilan jilid Kitab Hadits Bukhari. 

Kitab ringkasan ini sangat dibutuhkan oleh orang-orang masa kini khususnya orang-orang awam yang sibuk oleh pekerjaan namun sangat ingin mengetahui hadits Nabi. Kitab ringkasan ini sama sekali tidak mengurangi substansi hadits sehingga sangat layak untuk dijadikan rujukan dalam kehidupan sehari-hari. 

Menulis nama-nama perawi dalam sebuah tulisan keislaman yang bertujuan bukan dalam kajian ilmu hadits, menurut saya tidaklah perlu. Sehingga tulisan tersebut menjadi sangat membosankan. Apalagi bila banyak memuat hadits Nabi. Seolah kita hanya disuguhi nama-nama perawi hadits yang pada hakikatnya bukan pada tempatnya kita mengetahuinya. Bagi saya, para penulis cukup menulis penulis kitab haditsnya seperti HR. Bukhari, HR. Muslim, dan sebagainya. Kalaupun hadits yang dicantumkan dhaif, cukup kita katakan, misalnya HR. Thabrani ini dhaif. 

Maka, kita sangat membutuhkan buku-buku yang telah ditulis oleh ulama-ulama zaman dulu. Kita bersyukur para ulama khalaf berlomba-lomba menulis ringkasan dari kitab-kitab tersebut. Misalnya, Imam Ibnu Qudamah meringkas Kitab Mukhtashar Minhajul Qashidin karya Imam Ibnu Al-Jauzy. Imam Al-Ghazali meringkas kitabnya sendiri, Ihya Ulumuddin. Said Hawwa juga telah meringkas kitab tersebut dengan judul Tazkiyatun Nafs. Dr. Nasib Ar-Rifa'i meringkas kitab Tafsir Ibnu Katsir. Dan sebagainya. Saya pikir para peringkas buku tersebut bukan ulama sembarangan. Mereka memang ahli dibidangnya. Lagi pula karya-karya ringkasan tersebut juga banyak di antaranya di tahqiq oleh para ulama lainnya, sehingga kitab-kitab ringkasan itu memang betul-betul diakui secara ilmiah. Jadi, jangan ragu bila kita merujuk pada kitab-kitab ringkasan. Insya Allah, kitab-kitab ringkasan itu tidak mengurangi esensi dari isi kitab aslinya. 

Kitab ringkasan akan sangat membantu kita membaca karya-karya ulama kita terdahulu yang tak terhitung banyaknya. Jika kita membaca kitab aslinya, maka kita tidak akan sanggup melakukannya disebabkan waktu yang pendek. 

Jadi, seorang penulis tema-tema keislaman di masa kini, hendaknya mempermudah bukannya memberatkan pembaca dengan istilah-istilah yang tidak mereka ketahui atau menyibukkan pembacanya pada hal-hal yang bukan substansi dari tulisan yang dibuat atau menyibukkan tentang apa yang tidak ada pada zaman sekarang.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar