Sebagian ikhwah mengatakan jika Imam Hasan Al-Banna bukan seorang
penulis yang produktif. Beliau produktif dalam mengkader da'i. Tapi saya pikir
perkataan itu relatif. Ketika dihadapkan pada produktivitas ulama Timur Tengah
dalam menulis, kemungkinan benar karena ulama-ulama disana produktif dalam menulis. Tapi jika dihadapkan dengan ulama Indonesia khususnya, yang saya
pikir jarang menulis kecuali hanya segelintir ulama saja, maka bisa dipastikan
Imam Hasan Al-Banna adalah seorang penulis yang produktif.
Imam Hasan Al-Banna telah menulis
buku dua buku bermutu yang dijadikan pegangan bagi aktivis Ikhwanul Muslimin; Al-Ma'tsurat dan Memoar
Hasan Al-Banna. Selain itu,
beliau sangat aktif menulis di media cetak seperti majalah dan surat kabar. Hal
ini dapat kita baca dari keterangan yang disampaikan DR. Jumu'ah Amin Abdul
Aziz dalam bukunya yang berjudul Pemikiran
Hasan Al-Banna dalam Akidah dan Hadits. Berikut ini data-data yang berhasil
dikumpulkan Dr. Jumu'ah:
1. Koran mingguan Ikhwanul
Muslimin. Di dalam koran ini, beliau menulis masalah keislaman, politik,
sosiologi dan juga moral. Beliau menulis pada koran ini selama lima
tahun.
2. Majalah Mingguan An-Nadzir. Di dalam majalah ini, Imam Hasan
Al-Banna menulis lebih lebih dari 80 makalah tentang politik dan sosiologi
dibawah naungan Islam.
3. Majalah Al-Manar. Majalah ilmiah ini pada awal mulanya diawaki
oleh Sayyid Rasyid Ridha. Namun setelah beliau wafat, majalah ini sempat vakum.
Lalu, pihak keluarga Sayyid Rasyid Ridha meminta Imam Hasan Al-Banna untuk
menghidupkan kembali majalah Al-Manar ini. Pada majalah ini, Imam Hasan
Al-Banna menulis bagian pembukaan, tafsir Al-Qur'an, bidang fatwa, doktrin
politik dunia Islam dan tentang muslimah.
4. Majalah At-Ta'aruf. Di majalah ini, Imam Hasan Al-Banna
menjabat sebagai editor pada bagian catatan pembuka, juga pada masalah-masalah
fikih dan menjelaskan pandangan Al-Ikhwan demi reformasi di bidang politik dan
sosial budaya pada waktu itu.
5. Majalah dwi-mingguan Ikhwanul Muslimin. Pada majalah ini, Imam
Hasan Al-Banna telah menulis lebih dari seratus makalah dari berbagai tema
syariat, pemikiran, sosial kemasyarakatan, politik, dan dakwah.
6. Koran harian Ikhwanul Muslimin. Beliau telah menulis lebih dari
370 artikel tentang berbagai problematika.
7. Majalah bulanan Asy-Syihab. Dalam majalah ini, Imam Hasan
Al-Banna menulis sebagian tentan tafsir yang dimulai dari surat Al-Fatihah,
juga tentang Ulumul Qur'an dan Musthalah Hadits.
8. Majalah Al-Fath. Majalah ini dipimpin oleh Syaikh Muhibbuddin
Al-Khatib, seorang ulama yang sangat dihormati dikalangan salafy. Majalah ini
memberi keleluasaan kepada Imam Hasan Al-Banna untuk menulis di dalamnya.
Sehingga tulisan yang sempat ia tulis sebanyak 23 artikel.
9. Selain majalah dan koran di atas, beliau juga menulis di
majalah Syubbanul Muslimin.
Tulisan-tulisan di atas adalah yang
dimuat di media cetak, belum lagi tulisan-tulisan beliau yang berisi khutbah
dan risalah yang kemudian dibukukan oleh murid dan sahabat-sahabatnya.Belum
lagi catatan-catatan yang beliau tulis yang belum dipublikasikan hingga kini.
Jadi kalau dihitung-hitung ribuan tulisan yang telah beliau buat.
Sangat banyak. Syaikh Muhammad Al-Ghazali yang merupakan murid Imam Hasan
Al-Banna pernah mengunjungi perpustakaan milik gurunya itu. Buku-buku yang
jumlahnya ribuan itu ternyata sebagian besar telah diberi catatan oleh Imam
Hasan Al-Banna. Tidaklah mengherankan bila beliau memiliki wawasan keilmuan
yang luas. Yang dengan wawasan itu, beliau membangun jamaah Ikhwanul Muslimin. Beliau
juga menyempatkan diri mengisi waktu luang dengan menulis, misalnya ketika
berada di dalam kereta.
Ternyata Imam Hasan Al-Banna
mempunyai kiat-kiat khusus dalam menulis tema-tema keagamaan. Berikut ini
kiat-kiat bagaimana menulis tema-tema keagamaan yang telah saya ringkas.
Saya sedikit mengulasnya agar kiat-kiat itu semakin jelas dan mudah
diaplikasikan dalam dunia kepenulisan kita:
Pertama, sesungguhnya setiap zaman memiliki
cara tersendiri di dalam penulisan yang sesuai dengan kerangka berpikir
masyarakatnya dan cara mereka belajar. Pembaruan ini harus mengikuti pembaruan
pemikiran manusia dan perubahan metodologi penulisan, pemikiran, dan
kesimpulannya. Oleh karena itu, buku-buku yang diterbitkan pada masa Islam
terdahulu memiliki ciri tersendiri yang berbeda dengan orang lain. Pada masa
modifikasi pertama, penulisan lebih dititikberatkan pada penulisan matan dan
sanad yang disertai dengan pembahasan sekilas tentang sebagian pendapat.
Seperti yang dapat kalian lihat di dalam buku Muwatha
Mâlik karya Imâm Malik r.a., Musnad
Imam Ahmad, dan buku-buku hadis pertama. Pada periode berikutnya,
para pengarang dan ahli fikih lebih cenderung untuk meringkas hukum-hukum,
mensistematiskan dan menjelaskan masalah-masalah yang konkret. Pembaca dapat
melihatnya di dalam buku Al Umm karya Imam Asy Syafi’î
dan Al Mabsûth karya as-Sarkhasî.
Kemudian datang masa di mana para penulis lebih berkonsentrasi kepada
menjelaskan hukum-hukum, memperbanyak penulisan cabang-cabang hukum,
menjelaskan syarat-syarat dan pengecualian-pengecualian, sebagai bentuk
kepercayaan kepada para pengarang dan penghormatan terhadap karya para ulama.
Setelah itu datang masa catatan pinggir, notasi, dan keterangan. Dengan
demikian, kita dapat melihat bahwa setiap masa memiliki ciri tersendiri. Ini
adalah sunnatullah di dalam makhluk-Nya. Di dalam buku Mantsûr Al Hukm dinyatakan:
“Jangan engkau memaksa anak-anakmu untuk mempelajari bahasamu, sebab mereka
diciptakan untuk zaman selain zamanmu.”
Kedua, masa kita adalah masa-masa kebangkitan menulis dan ilmu
pengetahuan. Bersamaan dengan semaraknya keinginan untuk menyusun, mengoreksi,
mempermudah, dan menerjemah buku, ternyata ilmu-ilmu agama belum mendapatkan
tempat di hati para pengarang. Kita masih banyak membaca buku-buku agama
klasik. Kita belum mempersembahkan karya sedikitpun di zaman kita. Kita sampai
sekarang masih mengekor kepada pendahulu-pendahulu kita. Oleh karena itu, peran
kita terhadap ilmu-ilmu agama sangat sedikit. Sebab, metodologi penulisan,
sistematika, dan gaya bahasanya sudah tidak sesuai dengan metodologi penelitian
modern.
Hal itu berada di beberapa tempat
dan akan kami sebutkan sebagian, misalnya:
1. Pada saat Anda ingin
mengetahui hukum-hukum jual beli dan ingin membacanya di dalam buku-buku fikih
kontemporer, maka Anda harus mengerahkan segenap tenaga dan waktu yang
lama agar sampai pada tempatnya. Demikian juga agar dapat mengoleksi
hukum-hukumnya sebanyak mungkin.
2. Beberapa hukum muamalat
kontemporer tidak terdapat di dalam buku-buku fikih induk. Misalnya, hukum
bank, hukum jual beli nota tagih, dan hukum masalah-masalah lain yang
berhubungan dengan agama dan fikih yang menyangkut kehalalan dan keharaman.
Anda tidak akan mendapati hal-hal seperti ini di dalam ensiklopedia dan
kitab-kitab. Permasalahan sudah cukup jelas, yaitu karena belum ditulis dan
dibahas oleh ulama terdahulu. Oleh karena itu, kewajiban kita adalah
menyelesaikan masalah-masalah yang muncul pada saat ini dengan mengacu pada
kaidah para ulama sebelumnya, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa ta’ala Meridhai
mereka semua.
3. Membahas hukum-hukum yang tidak
terdapat saat ini secara detail, seperti membuat contoh masalah-masalah
perbudakan dalam jumlah yang besar, sehingga seolah-olah ilmu fikih dipenuhi
dengan bab muamalah saja. demikian halnya membuat contoh timbangan dirham,
penulisan ukuran takaran, timbangan dan jarak dengan istilah-istilah yang dapat
kita samakan dengan istilah-istilah saat ini.
4. Apabila kaum muda bertanya
kepada Anda tentang buku yang membahas akidah Islam secara ringkas, atau
hukum-hukum ibadah, dengan metodologi yang selaras dengan akalnya, buku apa
yang dapat Anda tunjukkan? Padahal, Anda tahu bahwa ia ingin mempelajari dan
memahaminya dalam waktu singkat, karena begitulah cara ia belajar.
Saya tidak bermaksud meremehkan
par ulama terdahulu. Tidak, sekali lagi tidak. Mudah-mudahan Allah Swt.
membalas mereka dengan kebaikan karena melaksanakan perannya dengan baik.
Mereka sudah menunaikan kewajiban untuk zamannya. Mereka telah menulis karya
ilmiah yang sesuai dengan pemikiran-pemikiran di mana mereka hidup. Dan mereka
juga telah meninggalkan warisan intelektual yang sarat dengan muatan
hukum-hukum Islam yang terpercaya. Akan tetapi, maksud saya adalah untuk
memotivasi para ulama kontemporer agar melayani agama sesuai dengan zaman
mereka, dan menorehkan karya intelektual dengan metode yang dapat dicerna oleh
akal dewasa ini, bukan dengan metode ulama-ulama klasik. Seorang alim yang
berprofesi sebagai petani berkata, "Orang-orang sebelum kami telah menanam
dan kami memakannya, sedangkan kami menanam agar dimakan oleh generasi setelah
kami."
Saya tidak menginginkan kita akan menjadi lingkaran (generasi) yang
terlupakan dan tidak diketahui mata rantai masa-masa ilmu pengetahuan Islam.
Anak cucu kita memahami sebagai generasi mandul yang tidak dapat berbuat
apa-apa. Sebaliknya, mereka akan merindukan kenyataan di mana kita seperti
lingkaran (generasi) kuat yang tersusun dari ilmu ulama-ulama salaf dengan gaya
penyajian ulama-ulama khalaf.
Komentar:
Benar
sekali pendapat Imam Hasan Al-Banna di atas. Kita dapati dalam kitab-kitab klasik
seperti Hadits Bukhari dan Hadits Muslim memuat hadits yang berulang disertai
mata rantai perawi yang panjang. Sehingga semua itu tentu saja banyak memakan
halaman buku. Kemudian para ulama kemudian seperti Imam Mundziri dan Imam
Az-Zabidi meringkas dua kitab hadits itu. Yaitu dengan membuang hadits yang
berulang dan memotong mata rantai perawi hingga sampai sahabat Nabi Saw. lalu
Nabi Saw. Sehingga Kitab ringkasan ini benar-benar padat berisi dan hanya butuh
satu jilid saja, misalnya dari sembilan jilid Kitab Hadits Bukhari.
Kitab ringkasan ini sangat dibutuhkan oleh orang-orang masa
kini khususnya orang-orang awam yang sibuk oleh pekerjaan namun sangat ingin
mengetahui hadits Nabi. Kitab ringkasan ini sama sekali tidak mengurangi
substansi hadits sehingga sangat layak untuk dijadikan rujukan dalam kehidupan
sehari-hari.
Menulis
nama-nama perawi dalam sebuah tulisan keislaman yang bertujuan bukan dalam
kajian ilmu hadits, menurut saya tidaklah perlu. Sehingga tulisan tersebut
menjadi sangat membosankan. Apalagi bila banyak memuat hadits Nabi. Seolah kita
hanya disuguhi nama-nama perawi hadits yang pada hakikatnya bukan pada
tempatnya kita mengetahuinya. Bagi saya, para penulis cukup menulis penulis
kitab haditsnya seperti HR. Bukhari, HR. Muslim, dan sebagainya. Kalaupun
hadits yang dicantumkan dhaif, cukup kita katakan, misalnya HR. Thabrani ini
dhaif.
Maka,
kita sangat membutuhkan buku-buku yang telah ditulis oleh ulama-ulama zaman
dulu. Kita bersyukur para ulama khalaf berlomba-lomba menulis ringkasan dari
kitab-kitab tersebut. Misalnya, Imam Ibnu Qudamah meringkas Kitab Mukhtashar
Minhajul Qashidin karya Imam Ibnu Al-Jauzy. Imam Al-Ghazali meringkas kitabnya
sendiri, Ihya Ulumuddin. Said Hawwa juga telah meringkas kitab tersebut dengan
judul Tazkiyatun Nafs. Dr. Nasib Ar-Rifa'i meringkas kitab Tafsir Ibnu Katsir.
Dan sebagainya. Saya pikir para peringkas buku tersebut bukan ulama
sembarangan. Mereka memang ahli dibidangnya. Lagi pula karya-karya ringkasan
tersebut juga banyak di antaranya di tahqiq oleh para ulama lainnya, sehingga
kitab-kitab ringkasan itu memang betul-betul diakui secara ilmiah. Jadi, jangan
ragu bila kita merujuk pada kitab-kitab ringkasan. Insya Allah, kitab-kitab
ringkasan itu tidak mengurangi esensi dari isi kitab aslinya.
Kitab
ringkasan akan sangat membantu kita membaca karya-karya ulama kita terdahulu
yang tak terhitung banyaknya. Jika kita membaca kitab aslinya, maka kita tidak
akan sanggup melakukannya disebabkan waktu yang pendek.
Jadi,
seorang penulis tema-tema keislaman di masa kini, hendaknya mempermudah
bukannya memberatkan pembaca dengan istilah-istilah yang tidak mereka ketahui
atau menyibukkan pembacanya pada hal-hal yang bukan substansi dari tulisan yang
dibuat atau menyibukkan tentang apa yang tidak ada pada zaman sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar