Perang Salib mulai
bergejolak pada masa kedaulatan Fatimiyah di Mesir, tepatnya tahun 498 H/1096
M, dan berakhir pada masa kedaulatan Mamluk, yaitu pada tahun 692 H/1292 M. Ia
merupakan episode pertama bagi serangkaian kerakusan Eropa di negeri-negeri Islam. Ia merupakan bentuk awal dari wajah kolonialisme, yang menjadi catatan
sejarah pada abad-abad sesudahnya. Di samping itu, ia juga merupakan
pertentangan antara Timur dengan Barat, perselisihan antara peradaban Islam
dengan peradaban Eropa.
Maka muncullah kajian baru
tentang sejarah di Eropa, yang mempelajari faktor-faktor hakiki bagi
penyerangan pasukan Salib terhadap negeri-negeri Timur, membenarkan
pendapat-pendapat lama yang salah, yang mana pendapat-pendapat yang salah
tersebut dilatarbelakangi oleh jiwa atau rasa fanatisme agama yang tumbuh subur
pada zaman pertengahan. Para sejarawan Barat menulis sejarah Zaman pertengahan
tersebut dengan didasari fanatisme yang sangat berlebihan (ekstrem).
Pembahasan yang singkat
ini tidak mungkin membeberkan faktor-faktor penyerangan pasukan Salib ke negeri
Timur tersebut, karena banyak faktor yang melatarbelakangi, di antaranya faktor
politik, sosial, dan ekonomi. Namun, semua itu dibungkus dengan fanatisme
agama, meskipun pada dasarnya fanatisme agama merupakan motivasi yang
sebenarnya.
Perang Salib ini merupakan
bentuk lama kerakusan bangsa Eropa yang kita saksikan dalam sejarah modern,
yaitu mencari wilayah-wilayah baru. Dalam sejarah modern ini, para kolonialis
menyamarkan dirinya dengan dalih sebagai delegasi, sedangkan pasukan Salib
bersembunyi di balik topeng agama. Mereka menggambarkan kolonialisme ini
sebagai perang antara agama Islam dengan Kristen, padahal sebenarnya ketamakan
dan agresif ras mereka tidak bersangkut paut dengan agama sama sekali.
Mayoritas sejarawan modern
Eropa mengakui kebenaran adanya motivasi perang Salib. Dalam mukadimah buku Hadharatul
Arab (Kebudayaan Arab), Gustav Le Bonn mengatakan, “Keinginan pasukan Salib
merebut Palestina telah mengobarkan semangat juang dalam jiwa mereka. Setiap
individu mengharapkan perbaikan kondisi masing-masing, sehingga hamba sahaya
ingin melepaskan dirinya dari perbudakan. Orang-orang yang tidak mendapatkan
harta warisan pun berkeinginan hidup bahagia. Akhirnya hilanglah akal sehatnya.
Maka, semakin kuatlah keinginan para raja (penguasa), pemuka agama, wanita, dan
seluruh manusia untuk melanjutkan perjalanan mereka menuju Palestina. Seakan
bangsa Eropa telah siap memusnahkan Asia.”
Demikianlah, perang Salib
telah mengancam peradaban islam. Pada saat itu, pasukan Salib berbuat brutal
dan membuat kerusakan di kota-kota negeri Syam (Syiria), membakar masjid-masjid
dan perpustakaan-perpustakaan, khususnya perpustakaan Darul Hikmah di Tripoli,
yang mempunyai koleksi buku sekitar seratus ribu buah.
Propaganda Salib ini tidak
mempunyai misi peradaban tertentu, dan tidak pula mempunyai tujuan yang tetap
serta matang. Ia hanya refleksi dari semangat yang datang begitu saja, didorong
oleh fanatisme agama yang berlebihan serta kerakusan politik dan ekonomi.
Pada dasarnya, peperangan
yang terjadi di dunia ini selalu mempunyai tujuan mewujudkan kemerdekaan atau
penyebaran misi peradaban atau juga memajukan masyarakat. Sedangkan pasukan
Salib tidak mempunyai tujuan melainkan hanya kerusakan dan pertumpahan darah,
sebagaimana diakui sendiri oleh para sejarawan Eropa. Misalnya, Stanley Lane
Poole mengatakan, “Pasukan Salib telah berubah dari tujuan utamanya, dan
akhirnya melakukan perampokan, perampasan dan menyakiti kaum Muslimin.”
Negara-negara di Timur
Tengah tidak mendapatkan keuntungan sama sekali dari kehadiran pasukan Salib,
bahkan yang diperolehnya hanyalah kerusakan dan kehancuran. Orang-orang Salib
sendiri telah melanggar ajaran Kristen yang menjadi kepercayaan mereka. Di
antara ajaran yang dilanggar misalnya, anjuran menyebarkan kasih sayang kepada
orang lain dan menyebarkan kebaikan. Namun sebaliknya, keberadaan pasukan Salib
di Timur Tengah selama dua ratus tahun menjadikan mereka terpengaruh oleh
peradaban dan moral Islam, yang kemudian hal itu mengurangi kebiadaban dan
kebengisan mereka. Bahkan, sebagian dari pasukan Salib ada yang memeluk Islam.
Secara rinci Thomas Arnold – seorang Orientalis – telah membahas pemelukan
Islam oleh sebagian pasukan Salib dalam bukunya berjudul Ad Da’wah Ilal Islam
dalam bab “Kondisi orang-orang Salib berpaling ke Islam.” Di Mesir saja
jumlah mereka mencapai dua puluh lima ribu orang.
Sesungguhnya perang Salib
telah mempengaruhi perjalanan sejarah Eropa dan peradabannya, sehingga
melemahkan sistem perekonomian mereka sendiri yang merupakan dasar kehidupan
sosial dan ekonomi Eropa. Namun demikian, kehadiran mereka di negeri Arab
(Islam) telah menjadikan sistem perekonomian mereka semakin maju, hubungan
negeri Timur dan Barat semakin meningkat, dan sarana transportasi darat serta
laut semakin semarak. Perang Salib, di samping merupakan pertempuran militer,
juga merupakan pertemuan peradaban antara dunia Islam dengan dunia Eropa yang
Kristen, sehingga peradaban Islam tersebar ke berbagai penjuru negeri Eropa.
Orang-orang Eropa banyak
belajar dari kaum Muslimin tentang cara bercocok tanam, berdagang, dan
berindustri, sebagaimana juga mereka telah terpengaruh oleh ilmu pengetahuan
dan moral kaum Muslimin. Dalam hal ini, Horinzo (Sejarawan terkemuka)
mengatakan, “Pasukan Salib keluar dari negerinya adalah untuk memerangi kaum
Muslimin, namun ketika sampai ditujuan, mereka mendapatkan berbagai macam ilmu
pengetahuan dari kaum Muslimin. Para tentara Salib tercengang ketika melihat
kaum Muslimin menolak aspek teologi mereka yang bersandar pada keduniaan. Kaum
Muslimin tidak mendapatkan keuntungan sama sekali dari kehadiran pasukan Salib,
tetapi sebaliknya, pasukan Saliblah yang banyak mengambil manfaat dari kaum
Muslimin. Mereka menimba ilmu dari sumur-sumur peradaban Islam yang tak pernah
kering.”
Dalam kitab Hadharatul
Arab, Gustav Le Bonn mengatakan, “Orang-orang Timur (Islam) telah dapat
menikmati peradaban yang sangat agung, sedangkan orang-orang Barat tenggelam
dalam kebodohan dan kenistaan.” Dari kenyataan seperti itu, kaum Muslimin tidak
mendapatkan keuntungan apa-apa. Bagi orang-orang Timur (Islam), perang Salib
tidak memberikan manfaat sama sekali, melainkan hanya menanamkan rasa benci
terhadap orang-orang Barat sampai anak keturunannya.
Sebelum terjadi Perang
Salib, hubungan antara Timur dengan Barat sangat terbatas. Hanya sebatas
hubungan para pedagang dan orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke
Palestina dan negeri Syam (Syiria). Akhirnya perang salib ini menjadi pertemuan
peradaban Islam, serta bertambahnya ilmu pengetahuan orang-orang Eropa yang
diperoleh dari negeri-negeri Islam.
Orang-orang Barat dan
Eropa melihat umat Islam telah berhasil melangkah jauh di berbagai bidang
peradaban, dan mereka menyaksikan umat Islam telah terbebas dari cengkraman para
rahib penguasa agama, sebagai kebalikan yang dialami bangsa Eropa dan Barat.
Akhirnya pasukan Salib banyak mempelajari
peradaban Islam , khususnya bentuk dan sistem pemerintahan, sistem
perpajakan dan perekonomian, serta membangun sekolah-sekolah dan universitas-universitas.
Penyerapan dari peradaban
Islam ini merupakan langkah pertama bagi era kebangkitan kembali ilmu
pengetahuan di Eropa. Le Bonn berkata, “Pengaruh Timur (Islam) dalam peradaban
Barat sangat besar sekali sebagai hasil dari perang Salib. Pengaruhnya dalam
bidang seni, industri, dan perdagangan sangat jelas. Apabila kita melihat
secara teliti kemajuan hubungan perdagangan Barat dan Timur serta perbedaan
yang muncul antara orang-orang Salib dengan orang-orang Timur dalam bidang seni
dan industri, maka jelas bagi kita bahwa orang-orang Timurlah yang mengeluarkan
orang Barat dari kehancuran, dan mengantarkan mereka menuju kemajuan, karena
ilmu-ilmu pengetahuan Arab dan sastranya telah diambil dan dipelajari oleh
universitas-universitas di Eropa. Maka mulailah era kebangkitan Eropa pada masa
itu.”
Kata-kata diatas telah
menggambarkan kepada kita, betapa besar pengaruh peradaban Islam terhadap
peradaban Barat. Sumbangsihnya tidak dapat diukur dengan emas permata
atau dibalas dengan uang dolar yang tak seberapa. Bagi peradaban yang besar ini
(baca: Islam) hanya membutuhkan sikap saling pengertian, kasih sayang dan
saling menghormati. Di zaman ini, apa yang telah umat Islam dapatkan? Dari Kashmir hingga Afghanistan, dari Chechnya hingga Dagestan,
dari Palestina hingga Sudan, dari Irak hingga Bosnia, dari Ambon hingga Moro.
Kita hampir berada dalam ketertindasan. Umat menangis menjerit, darah mengalir, dan
serpihan-serpihan daging bertebaran dimana-mana. Sungguh memilukan hati dan
perasaan. Sumbangan yang kita berikan untuk mereka ternyata dibalas dengan
senjata dan kekerasan. Air susu telah dibalas tuba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar