Sabtu, 09 Juni 2012

Pelajaran dari Keberanian dan Pengorbanan Kader Ikhwanul Muslimin

Saya kutipkan disini satu kisah yang mengundang decak kagum. Kisah tentang keberanian, kepahlawanan, dan siap mati syahid seorang aktivis Ikhwanul Muslimin Mesir. Sekaligus kisah yang mengerikan yang tak terbayang oleh saya sebelumnya:

Ini adalah kisah tentang Awad, seorang akh yang pertama kali syahid di penjara perang tahun 1965. Kisah penyiksaan terhadap Awad ini akan memberikan gambaran yang mengerikan tentang sebuah pembantaian di penjara perang. Tetapi pada saat yang sama kisah ini merupakan teladan yang sangat mengagumkan bagi keteguhan seorang mukmin. Kisah Awad ini menjadi suluh yang menerangi jalan dakwah Islamiyah.

Setelah ditangkap, ia digelandang menuju penjara perang. Lalu diseret oleh algojo penjara perang Shafwat Rubbi ke kantor Sa'ad Zaghlul Abdul Karim, panglima polisi militer. Shafwat Rubbi sang pembantai itupun maju sambil mengatakan, "Inilah penjahat yang bernama Awad, wahai Tuan."

Seketika itu juga mereka meninggalkan tahanan-tahanan yang mereka siksa, lalu berdiri mengelilingi Awad dan mulai menyiksa secara bertubi-tubi. Penyiksaan terhadap Awad ini berlangsung selama dua hari disaksikan oleh Syamsu Badran, Hamzah Baisuni, dan Riyadh Ibrahim.

Ir. Thahir Salim yang menjadi saksi hidup pernah menuturkan: "Saya melihat Muhammad Awad menantang mereka untuk memaksa dirinya berbicara, padahal ia sedang menerima siksaan yang bertubi-tubi dari Riyadh Ibrahim, Hasan Kafafi, dan Shafwat Rubbi. Mereka semua menyiksa dan memukulinya dengan sangat kejam agar ia mau menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka dan mau mengakui apa yang mereka tuduhkan. Tetapi sama sekali ia tidak mau buka mulut.

Lalu mereka menurunkannya ke sebuah kolam dan menenggelamkannya. Salah seorang tentara menaiki pundaknya dan memegangi kepalanya sambil mendorongnya ke dalam air sampai hampir meninggal. Kemudian ia mengangkat kepalanya dan memukul serta menendang wajahnya. Kemudian mereka mengeluarkannya dari air dengan penuh kemurkaan dan dendam, karena ia masih tetap bertahan dan membangkang. Lalu Shafwat Rubbi memegang tubuhnya dan memasukkannya sekali lagi ke dalam air. Kemudian ia membenturkan kepala Awad ke dinding kolam dengan sangat keras sampai retak. Darah pun  keluar dengan sangat deras, sehingga Awad pingsan dan mengambang di air kolam yang memerah karena darahnya. Kemudian mereka mengangkat dan melemparkannya ke tanah sambil mengatakan: 'Dia sudah pergi'. Saya pun mengerti bahwa dia sudah meninggal dunia.

Pada saat itu Shafwat Rubbi berteriak: 'Hai Awad! Jika Tuhan kita punya neraka Jahanam, kami juga punya neraka Jahanam'." (DR. Muhammad Sayyid Al-Wakil, Pergerakan Islam Terbesar Abad ke 14 H hlm. 264-265)

Komentar:
Pada masa itu adalah zaman kegelapan bagi Ikhwan. Mendung menggelayuti seantero Mesir. Tanah tergenang darah. Rintihan kesakitan yang menyayat hati. Teror yang begitu dahsyat ini telah mengiris-iris rasa kemanusiaan. Dimana aktivis hak asasi manusia pada waktu itu? Apakah mereka diam? Diam karena mereka berkomplot dengan musuh. 

Namun di dalam teror yang dahsyat itu, tidak menyurutkan langkah mereka untuk terus berjuang. Mereka tetap berkibar hingga musuh merobek-robek mereka tak utuh lagi. Teror itu menghasilkan karya-karya yang menggambarkan benturan para prajurit Allah melawan prajurit Thaghut. Tidaklah mengherankan bila karya-karya Sayyid Quthb memperlihatkan pertempuran ini. Karena beliau menjadi saksi teror ini. Bahkan beliau mati syahid ditiang gantungan! Thaghut itu dengan terang-terangan menghina Allah, Rasul-Nya beserta ajarannya. Aneh sekali mereka. Mereka begitu kejam menyiksa para mujahidin, tetapi tidak bersikap keras kepada Israel yang sudah jelas-jelas memusuhi dan mengusir mereka dari tanah yang diberkati. Akibatnya, musuh memenangkan pertempuran ini. 

Keberanian aktivis Ikhwan tumbuh berasal dari kekuatan ruhiyah yang tinggi. Mereka merutinkan membaca Al-Qur'an minimal satu juz setiap hari. Berpuasa sunah minimal seminggu sekali. Membaca Al-Ma'tsurat pagi dan sore. Merutinkan shalat tahajud setiap hari. Intensitas beribadah mereka begitu tinggi sehingga mereka semakin merasa dekat dengan Allah. Allah Swt. berfirman, "Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung." (QS. Al-Anfal: 45)

Maknanya adalah, perbanyaklah kalian mengingat Allah baik dengan doa dan dzikir, memperbanyak shalat sunah, membaca Al-Qur'an, berpuasa sunah, dan amalan-amalan lainnya. Karena dengan mengingat Allah-lah, akan tumbuh keberanian dalam diri kita untuk menghadapi musuh. Mafhum mukhalafah (makna sebaliknya), barangsiapa yang meninggalkan amalan ini, maka yang akan hadir dalam dirinya adalah sifat pengecut, mudah menyerah, putus asa, enggan berkorban, dan malas.  

Penjara-penjara Mesir pada waktu itu ibarat pesantren. Nuansa ilmiah dan rabbaniyah hidup di dalamnya. Sehingga lahirlah karya-karya istimewa di dalamnya, seperti Fizhilalil Qur'an, Ma'alim Fith-Thariq, Fiqhus Sunnah, Ayyamun Min Hayati dan lain sebagainya. Syaikh Shalah Syadi, salah seorang ulama Ikhwan mengatakan bahwa dirinya beserta kader Ikhwan yang lainnya yang saat itu berada di dalam penjara, mengkaji hingga tuntas Kitab Ruhiyah, yaitu Madarijus Salikin karya Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah. Sehingga dikemudian hari, beliau membukukan intisari dari kitab Madarijus Salikin yang disampaikan ketika berada di tahanan.

Keberanian dalam diri mereka tumbuh hingga begitu beraninya mereka dalam menyongsong maut. Bagi mereka, semboyannya adalah "Isykariman awmut syahidan" hidup mulia atau mati syahid. Hidup mulia perlu berkorban, mati syahid pun demikian. Jika mereka hidup, maka hidupnya penuh karya. Jika mereka syahid, sebagai 'tumbal' bagi kemenangan. Tak ada yang rugi bila salah satunya Allah takdirkan kepada diri mereka.

Keberanian dan pengorbanan Ikhwan mengundang decak kagum. Bukan semakin berkurang, jumlah mereka justru semakin bertambah! Innamal mu'minuna ikhwah. Hati orang-orang beriman ibarat magnet. Di manapun mereka berada, orang-orang pun berbondong-bondong mencintai mereka, mendekati mereka, mendoakan mereka walaupun mereka tidak saling mengenal. Hal itu berjalan secara alami. Tidak dibuat-buat apalagi dipaksakan.   

2 komentar:

  1. Ass. Alhamdulillah, saya ijin copas ke blog saya http://aksarafirdaus.blogspot.com/
    salam ukhuwah

    BalasHapus