Sebuah hasil penelitian di Barat mengungkapkan, kebahagiaan dan penderitaan adalah pilihan hidup. Orang yang memilih kebahagiaan, maka ia akan hidup bahagia. Sebaliknya, orang yang memilih penderitaan, ia akan hidup menderita. Artinya, kebahagiaan dan penderitaan itu ada dalam benak kita (picture in our head), bukan berada di luar diri kita. Misalnya, seseorang ditinggal mati orangtuanya, orang itu bersedih, namun ia tidak mau larut dalam kesedihan itu. Ia lebih memilih bersabar dan menerima semua itu dengan hati yang lapang. Contoh yang lain, ada orang miskin yang hidup lebih bahagia ketimbang orang yang kaya harta. Mengapa terjadi? Karena harta kekayaan itu sendiri bukan yang menentukan orang bahagia atau tidak.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana kita dapat konsisten memilih kebahagiaan, sementara gejolak hawa nafsu kita kadang naik dan kadang turun? Untuk menstabilkan dan mengendalikannya, tidak ada kata lain, pemikiran kita harus berlandaskan pada ketentuan Allah yang valid dan sah sepanjang masa. Tampaknya pemikiran Barat itu tidak menyentuh pada aspek ini. Kebahagiaan dalam paradigma pemikiran Barat lebih bersifat materialistik. Bukankah ada spiritualisme di dunia Barat? Ya, memang ada, tapi ia bersifat materialistik. Ia mengambil apa yang menurutnya bermanfaat baginya dan membuang apa yang menurutnya tidak berguna bagi dirinya. Standarnya adalah materi. Dengan kata lain, kalau ada ajaran agama yang tidak memberikan kebaikan apa-apa bagi manusia, maka harus ditinggalkan. Mereka kemudian mengambil nilai agama-agama di dunia dan filsafat yang bermanfaat bagi mereka. Itulah spiritualisme yang mereka bangun. Mengadopsi pemikiran Barat bulat-bulat terutama dalam hal ini, jelas sangat mengaburkan makna kebahagiaan itu sendiri. Tidak aneh, orang-orang yang terjebak di dalamnya menjadi sangat rapuh dan tidak stabil jiwanya.
Paradigma berpikir Barat jelas sangat bertolak belakang dengan paradigma berpikir Islam. Dalam Islam, Allah menyuruh kita untuk masuk kepada Islam secara keseluruhan (kaffah) dan tidak mengikuti langkah-langkah setan, karena setan musuh yang nyata bagi manusia. (QS. al-Baqarah [2]: 208). Seorang muslim yang memiliki keimanan yang mendalam akan mampu meraih kebahagiaan yang hakiki ketimbang orang lain. Saat ia mendapat musibah, ia berpikir, pasti ada hikmah di baliknya. Ia tidak berpikir tentang musibah itu sendiri, tetapi berpikir tentang dosa-dosanya dan hikmah yang akan dia dapatkan. Ia merenung dan kemudian mengambil pelajaran darinya.
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَآءُ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَايَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ
“Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.” (QS. al-Baqarah [2]: 269).
Artinya, dengan kondisi keimanan yang mantap dan kokoh, seseorang akan menjadi lebih mudah hidup bahagia. Dirinya akan selalu berbaik sangka (husnudzan) kepada Allah. Baginya, lebih baik beramal ketimbang berlarut-larut dalam kesedihan atau, misalnya, marah dengan keadaan. Amal shalih, dalam sebuah hadits, dapat memberikan ketenangan dan kebahagiaan pada diri seseorang. Sebaliknya, dosa memberikan ketidaknyamanan pada diri seseorang. Satu hal lagi yang menjadi kelebihan “teori kebahagiaan agama”, bahwa amal shalih yang dilakukan seorang muslim, akan dibalas-Nya di akhirat nanti. Allah telah memberikan gambaran dalam al-Quran tentang kenikmatan surga yang akan diberikan kepada orang-orang beriman, dan kesengsaraan neraka yang akan diberikan kepada orang-orang kafir. Dengan mengetahui hal itu, seorang mukmin menjadi jauh lebih optimis dalam menyongsong masa depan.
Krisis keimanan dapat mengakibatkan terjadinya krisis kebahagiaan. Oleh karena itu, kita harus terus meningkatkan kualitas keimanan kita kepada Allah, dengan mengenal-Nya lebih dekat, banyak mengingat-Nya, menyimak ayat-ayat-Nya, tekun beribadah kepada-Nya, menjalankan perintah-Nya dan tidak berbuat maksiat kepada-Nya. Semua itu akan mendorong kita untuk selalu berada dalam kondisi bahagia.
هُدًى فَمَن تَبِعَ هُدَايَ فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
“…maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. al-Baqarah [2]: 38).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar