Semua orang memiliki bakat menjadi seorang penulis, demikian Bobby De Porter berkata dalam bukunya, Quantum Learning. Benarkah pernyataan itu? Setahu saya, pekerjaan yang tidak mengenal strata sosial dan kedudukan seseorang adalah “menulis”. Seorang lulusan SMP dapat menulis dan bisa jadi lebih baik daripada tulisan lulusan S1. Bahkan orang buta, dapat menjadi seorang penulis terkenal, sebut saja, misalnya, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, mantan mufti Arab Saudi. Beliau mendiktekan pikirannya kepada seorang muridnya dan kemudian si murid menuliskannya. Di antara karya-karyanya adalah, Al-Fawaid al-Jalilah fi al-Mabahits al-Fardhiyah, At-Tahdzir minal Bida’, Al-‘Aqidah ash-Shahihah wamaa Yudhaadhuha, dan Al-Jihad fi Sabilillah.
Begitupun, misalnya, dengan seorang KH. Abdullah Gymnastiar. Karena kesibukannya berdakwah dengan lisan (dakwah bil lisan), beliau menggunakan “orang kedua” untuk menuliskan ceramah-ceramahnya dalam bentuk buku dan artikel. “Orang kedua” ini dalam dunia jurnalistik dikenal dengan istilah ghost writer. Jika kita tidak sanggup menuliskan secara langsung gagasan-gagasan kita, entah karena cacat fisik atau kesibukan kita, tidak salah kiranya kita mencari orang (ghost writer) untuk menuliskan ide dan gagasan kita itu.
Menulis juga dapat dilakukan di berbagai tempat, selama hal itu memungkinkan, seperti di dalam kereta atau mobil. Imam Hasan al-Banna pernah menulis komentar atas buku tokoh sekuler Mesir, Dr. Thaha Husein, yang berjudul Mustaqbal Tsaqofah fi Mishr (Masa Depan Kebudayaan di Mesir), yaitu ketika sedang dalam perjalanan naik kereta. Sayyid Quthb dan Dr. Aidh al-Qarni menulis buku terbesarnya, Tafsir Fizhilalil Quran dan La Tahzan, ketika sedang berada di dalam penjara. Begitupun dengan Imam Ibnu Taimiyah tetap menulis dengan arang ketika pena-penanya disingkirkan oleh pemerintah zhalim pada saat itu.
Menulis hendaknya dijadikan bagian dari hidup kita. Karena setiap muslim adalah dai, dan seorang dai memiliki tanggung jawab yang besar atas dakwah. Imam Hasan al-Hudhaibi pernah mengatakan, sebelum menjadi yang lain, kita adalah seorang dai. Artinya, menulis bisa dijadikan sarana untuk mensyiarkan agama Allah. Jika kita tidak mahir berdakwah dengan lisan, kita dapat menggunakan media tulisan sebagai dakwah kita (dakwah bil qalam). Jadilah seorang pengamat dan pemerhati yang baik terhadap kejadian-kejadian di sekeliling kita, berita-berita yang kita lihat dan dengar, dan buku-buku yang kita baca. Jika saja ada hal-hal yang terasa ganjil, bertentangan dengan Islam, atau menghina ulama-ulama shalih, hendaknya kita siap mengangkat pena untuk berjuang di jalan-Nya; ber-amar ma’ruf nahi munkar, meluruskan yang batil dan memenangkan yang haq.
Ulama seperti Ibnu Hazm telah menulis 400 jilid dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ia telah menjadikan buku-bukunya itu sebagai tameng dan senjata ketika menghadapi pihak musuh. Dia adalah seorang ulama terbesar yang pernah dilahirkan di tanah Andalus Spanyol. Seorang Yahudi bernama Ibnu an-Naghrilah di zaman Ibnu Hazm pernah menghina dan “menginjak-injak” al-Quran, namun tidak ada yang menegurnya apalagi menghukumnya. Bahkan pemimpin di negerinya, Badis bin Habus, justru membela si Yahudi itu. Dengan kemarahan yang menyala-nyala, Ibnu Hazm kemudian menulis buku berjudul ar-Rad’ ala Ibni an-Naghrilah al-Yahudi (Bantahan terhadap Ibnu an-Naghrilah si Yahudi).
Sesungguhnya jika kita membiarkan begitu saja musuh-musuh Islam merobek-robek Islam dan umatnya, maka akan terjadi kerusakan di mana-mana. Kita, saat ini, sedang menghadapi perang yang lebih dahsyat dari perang fisik, yaitu perang pemikiran (ghazwul fikr). Kita sedang berhadapan dengan para orientalis misionaris, zionis, thoghut, liberalis dan sekularis. Opini-opini mereka telah tersebar dan menyesatkan umat Islam di seluruh penjuru dunia.
Islam telah menyeru kita untuk kembali ke jalan-Nya, berdakwah, dan berjihad dengan apa yang kita miliki. Mari kita hadapi setiap “pertempuran” suci ini. Mari kita sumbangkan konstribusi kita untuk menegakkan agama Allah ini!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar