Pada saat pameran buku di Bandung beberapa waktu lalu, saya mencoba melihat-lihat buku apa saja yang mengalami cetak ulang. Saya menemukan bahwa buku-buku karangan Imam al-Ghazali dan Imam Ibnul Qayyim hampir seluruhnya mengalami cetak ulang lebih dari tiga kali. Bahkan, meskipun diterbitkan oleh banyak penerbit, tetap saja buku itu laku keras. Memang luar biasa. Padahal mereka hidup ratusan tahun yang lalu. Imam al-Ghazali hidup pada abad ke 12, sedangkan Imam Ibnul Qayyim hidup pada abad ke 13 Masehi. Berarti, pengaruh dan tulisan mereka menembus batas waktu usia mereka sendiri. Saya merenung, apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang diinginkan masyarakat dari buku-buku kedua ulama tersebut? Saya mencoba memberikan beberapa catatan berkaitan tentang hal ini.
Pertama, kepribadian kedua ulama tersebut. Orang yang ingin membeli atau membaca buku kedua ulama tersebut, setidaknya sudah tergambar dalam pikirannya kepribadian yang menawan dari kedua ulama tersebut. Mungkin dari mulut ke mulut, mungkin juga dari apa yang mereka baca tentang sejarah hidup kedua ulama tersebut. Jika kepribadiannya baik, tentu tulisannya merupakan cerminan dari kepribadiannya tersebut. Sehingga masyarakat akan condong pada ulama yang jelas-jelas secara zahir, saleh, bertakwa, berjihad, sabar, dan memiliki sifat-sifat baik lainnya. Sementara, Imam al-Ghazali dan Imam Ibnul Qayyim – secara zahir – telah memiliki kesemua sifat itu. Masyarakat pembaca tidak atau kurang antusias membaca buku-buku dari tokoh-tokoh yang kurang terkenal kebaikannya. Menulis buku bagi kedua ulama tersebut seperti mempertajam pisau akhlak guna memperbaiki hidupnya dan kehidupan orang yang membacanya.
Kedua, kedua ulama tersebut mengajarkan kemurnian Islam. Yaitu kemurnian yang datangnya dari Allah dan Rasul-Nya. Kedua ulama tersebut adalah pakar di bidang agama, ilmu mereka luas, pemahaman keagamaan mereka bagus. Sementara penulis zaman sekarang, tidaklah sepakar mereka, dan tidaklah seluas ilmu yang mereka miliki. Jangan sampai ada penulis buku keislaman tetapi tidak dapat membaca al-Quran atau tidak mengamalkan apa yang telah dia sampaikan. Penulis semacam ini dapat menyesatkan pembaca atau motivasinya sekadar mencari uang atau mengharapkan pujian dari orang lain.
Ketiga, produktif dalam menulis. Kedua ulama tersebut dikenal sangat produktif menulis. Dari ratusan karya mereka, tidak semuanya sampai kepada kita. Yang kita dapatkan hanya sepersekian dari karya-karya mereka. Oleh karena itu, kita – sebagai penulis – harusnya produktif menulis. Setiap hari harus ada yang kita tulis. Mungkin menulis diary, artikel, cerpen, puisi, dan sebagainya. Bisa jadi dari ribuan artikel yang kita buat, puluhan di antaranya sangat bagus sehingga banyak dibaca orang, seperti halnya karya-karya kedua ulama tersebut.
Keempat, kalimat-kalimat yang baik. Allah Swt. berfirman:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَآءِ {24} تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللهُ اْلأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim: 24-25).
Apa yang ditulis kedua ulama tersebut adalah kalimat-kalimat yang baik, dan akibatnya tentu sangat jauh berbeda dengan orang yang menulis dengan sandaran selain Allah dan kalimat-kalimat yang negatif. Allah Swt. berfirman:
وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِن فَوْقِ اْلأَرْضِ مَالَهَا مِن قَرَارٍ
“Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun. “ (QS. Ibrahim: 26).
Kelima, keberkahan dari keikhlasan. Mungkin mereka tidak mengharapkan diri mereka terkenal dari karya-karya yang mereka tulis. Mereka menulis begitu saja, meskipun mereka memiliki tujuan tersendiri atas setiap karya yang mereka tulis. Mereka ikhlas menulis karena Allah, sehingga kemudian banyak orang membaca karya-karya mereka dan tersentuh hatinya dengan kalimat-kalimat yang mereka sampaikan. Dengan adanya berkah, buku-buku yang telah ditulis, tersiar hingga bertahun-tahun setelah sang penulis wafat. Abu Dzar Ra. berkata, “Ada orang yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat engkau tentang orang yang mengerjakan suatu amal dari kebaikan dan orang-orang memujinya?” Beliau menjawab, “Itu merupakan kabar gembira bagi orang mukmin yang diberikan lebih dahulu di dunia.” (HR. Muslim).
Keenam, krisis spiritualitas. Menurut saya, zaman ini, di mana kita sering terjebak pada zona mabuk teknologi, di mana informasi bisa sangat mudah kita dapatkan, dan biasanya masalah-masalah yang dihadapi manusia diberi solusi dengan kiat-kiat yang instan. Dengan terjadinya krisis spiritualitas, otomatis terjadi krisis kebahagiaan. Untuk menemukan kembali spiritualitas dan kebahagiaan itu, maka ia harus membaca buku-buku yang memberikan pemahaman yang baik tentang spritualitas dan kebahagiaan hakiki.
Setahu saya, tidak hanya kedua ulama itu yang buku-bukunya banyak diminati orang, tetapi juga ulama-ulama klasik lain. Hanya saja kelebihan kedua ulama tersebut dibanding ulama-ulama lain berkaitan dengan produktivitas dalam menulis. Karya kedua ulama tersebut sudah menjadi trend setter dikalangan kaum muslimin dan perindu kebahagiaan sejati. Jadinya, dari kedua ulama tersebut, kita dapat mengambil pelajaran, sehingga kita juga dapat melakukan hal yang sama dengan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar