Tantangan dakwah semakin hari semakin terasa berat. Ibarat gelombang samudera yang menghentakkan kesana kemari apa yang ada dihadapannya. Tak ada yang dapat bertahan kecuali mereka yang jiwanya kokoh setegar karang. Karena landasan perjuangan mereka jelas, aqidah mereka lurus, fikrah dan ibadah mereka benar. Jika kita tidak mengiringi langkah kita dengan semua itu dan dengan kesabaran dalam menghadapinya, niscaya tantangan itu akan semakin sulit untuk dilewati. Kita tidak hanya diperintahkan untuk memperbaiki diri kita, tetapi juga keluarga dan masyarakat di sekitar kita. Jika kita sudah mengalami kegagalan dalam memperbaiki diri, bagaimana jadinya dengan keluarga dan masyarakat kita?
Kadang kita hanya bisa menangis melihat umat meringis kesakitan ditikam belati kezaliman. Kita tidak punya kekuatan apa-apa untuk merubahnya karena kita sendiri tidak punya kesatuan langkah dalam berjuang. Masing-masing kita berjuang untuk diri kita sendiri. Kalaupun ada, kita tidak punya arah dan tujuan yang jelas, sampai kemana dakwah ini bermuara. Akibatnya, bangunan Islam yang selalu tergambar dalam benak kita, tidak benar-benar terwujud menjadi kenyataan.
Hal ini diperparah lagi dengan buruknya niat kita. Setiap kali dakwah memberi kekuasaan kepada kita, sebagian kita merasa bahwa dakwah adalah ladang untuk mencari materi. Dakwah bisa digunakan sebagai kendaraan mengeruk uang sebanyak-banyaknya untuk kepentingan pribadi. Yang hadir kemudian adalah, fenomena saling iri dan dengki, saling menjatuhkan, saling memfitnah. Walaupun hanya bersuara dibelakang panggung, tapi cukup terasa karena keadaan semakin memburuk.
Jika sudah begini, lantas apa bedanya kita dengan orang awam, yang belum mendapat tarbiyah seperti kita? Ya Allah, kita belum bisa menjadi contoh dan penggerak masyarakat kita. Kita bahkan jatuh terpuruk karena keburukan yang kita perbuat. Syaikh Muhammad al-Ghazali menyebut mereka sebagai “da’i-da’i fitnah”. Yaitu da’i-da’i yang secara tidak langsung memfitnah bahwa Islam itu buruk dan tidak membawa kebaikan apa-apa. Masya Allah!
Abdurrahman bin Jubair menceritakan apa yang ia dengar dari ayahnya, “Tatkala Ciprus ditaklukan oleh kaum muslimin, tiba-tiba mereka banyak yang menangis. Aku melihat Abu Darda duduk menangis sendirian, aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Abu Darda, apa yang membuatmu menangis di hari Allah memuliakan Islam dan pemeluknya?’ Ia berkata, ‘Celaka kamu wahai Jubair, betapa hinanya makhluk di sisi Allah jika mereka mengabaikan perintah-Nya. Kamu tahu, mereka sebelumnya adalah umat yang kuat dan pemenang, akan tetapi karena mereka meninggalkan perintah Allah, maka kamu lihat seperti apa mereka sekarang’.”
Sudah seharusnya kita merenung sedari sekarang, sudah luruskah niat kita? Mampukah kita mengendalikan hawa nafsu kita? Apakah hari ini lebih baik dari hari kemarin? Wahai orang-orang yang ingin berjuang di jalan Allah, hendaknya engkau meningkatkan kekuatan ruhiyah, jasadiyah, dan aqliyah-mu. Hendaknya engkau membingkai semua itu dalam bingkai amal fardhi dan amal jama’i. Sehingga semua yang engkau lakukan itu, tidak lain untuk li ilai bikalimatillah (meninggikan kalimat Allah) dan engkau berada dalam barisan yang rapi dan teratur, innallaha yuhibbulladziina yuqatiluuna fii sabiilihi shaffan ka annahum bunyanun marshuush!
Selain bekal-bekal itu, hendaknya engkau juga memiliki bekal keterampilan hidup yang bisa digunakan untuk mencari nafkah (ma’isyah). Tidak ada istilah “pengangguran” bagi seorang aktivis dakwah. Dengan nafkah itu, engkau dapat hidup lebih mandiri dan menjaga harga diri khususnya dihadapan musuh-musuh dakwah. Dari pendapatanmu, engkau bisa menginfakkan sebagian harta untuk kepentingan dakwah. Imam Hasan al-Banna menyebutnya dengan istilah, shunduquna juyubuna. Artinya, dana dakwah yang kita peroleh berasal dari kantong kita sendiri. Oleh karena itu, seorang aktivis dakwah harus bersungguh-sungguh (profesional) dalam setiap pekerjaan yang digelutinya.
Namun, janganlah engkau menjadikan “materi” sebagai sentral pemikiran dan gerak langkahmu. Berusahalah untuk hidup zuhud, bersyukur dan selalu merasa cukup (qana’ah) dengan yang ada. Hiduplah dalam keadaan sederhana, makan yang halal dan baik. Disebutkan dalam kitab Ihya Ulummuddin, para ulama salafus shalih selalu hidup dalam kesederhanaan. Seorang ulama dikabarkan jika sudah mendapat penghasilan beberapa dinar, kemudian dia pergi menuntut ilmu, berdakwah, dan beribadah. Imam al-Junaid selain dikenal seorang pedagang sukses, beliau juga seorang da’i dan sufi. Begitupun dengan Imam Abu Hanifah yang dikenal sebagai salah satu imam madzhab yang empat. Imam Abu Said al-Kharraz hidup sebagai tukang pintal. Imam Hasan al-Banna sendiri hidup sebagai tukang reparasi jam. Syaikh Abbas as-Sisi hidup sebagai penjual keju. Dan lain sebagainya. Mereka manusia seperti kita; mencari nafkah untuk keperluan hidup sehari-hari, namun tidak melupakan aktivitasnya yang utama, yaitu beribadah kepada Allah Swt..
Dengan bekal-bekal itu, mudah-mudahan engkau dapat bertahan di jalan Allah ini sekalipun badai ujian dan cobaan datang menerpa. Apapun kendala yang engkau hadapi, jadikan akhirat sebagai pusat perhatianmu. Engkau beramal bukan untuk dunia ini, tetapi untuk negeri akhirat yang kekal abadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar