Yang paling banyak merusak dunia adalah orang yang setengah bicara…dan setengah fakih…dan setengah dokter…dan setengah ahli bahasa. Yang pertama perusak negeri, yang kedua perusak agama, yang ketiga perusak badan, dan yang keempat perusak lisan. (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ulama dan penulis kitab-kitab besar).
Yang mengatakan kata-kata di atas adalah Syaikh yang menguasai banyak ilmu pengetahuan, mulai dari tafsir, hadits, fikih, ushul fikih, sejarah, filsafat, logika dan sastra. Hampir semua bidang ilmu pengetahuan itu ia kuasai dengan sempurna. Dan hampir semua ilmu itu pula ia menulis kitab-kitab yang berjilid-jilid tebalnya. Jika ia berbicara tentang nahwu, sharaf dan balaghah, seolah-olah ia seorang sastrawan yang tiada tertandingi. Jika ia berbicara masalah filsafat, seolah-olah ia seorang filosof yang lebih hebat dari filosof manapun. Karena saking sempurna dan yakinnya, ia pernah meludahi sebuah kitab yang berisi banyak kesalahan dan kebohongan sejarah.
Al-Allamah Kamaluddin az-Zamlikani – seorang ulama besar – berkata tentang Ibnu Taimiyah, “Ketika aku bertemu dengan Ibnu Taimiyah, aku melihatnya sebagai seseorang yang menyimpan segudang ilmu dan terpancar di kedua matanya. Dia mengambil atau meninggalkan apa yang dia kehendaki.”
Syaikh berkata tentang penguasaannya dalam bidang ilmu tafsir, “Untuk mengkaji satu ayat saja, aku menelaah sekitar seratus tafsir. Aku memohon kepahaman kepada Allah Swt. dan aku berkata, ‘Wahai Dzat yang telah mengajar kepada Adam dan Ibrahim, ajarilah aku’.”
Subhanallah, hanya untuk mengkaji satu ayat saja, Ibnu Taimiyah mesti mengkaji seratus kitab tafsir, bagaimana beliau tidak menjadi seorang ahli tafsir terkemuka bila caranya begini? Namun lihatlah kita, para penulis kacangan, telah meremehkan studi yang mendalam akan sesuatu hal. Kita merasa cukup hanya dengan membaca satu-dua buku, dan kemudian kita mengatakan kepada banyak orang bahwa kita adalah ahli dibidang tersebut.
Saat Syaikh Ibnu Taimiyah dijebloskan ke dalam penjara oleh tiran, beliau tetap saja sibuk mengajar dan menulis walaupun dengan arang. Tak ada bedanya jika dirinya berada diluar sana. Karena baginya penjara adalah khalwah, pengasingan adalah tamasya, dan kematian adalah syahadah.
Para penulis sejati adalah orang-orang yang konsisten pada pekerjaannya. Ia tidak bekerja sekedarnya dan setengah-setengah. Ia akan mengumpulkan seluruh energinya untuk menghasilkan sebuah karya yang brilyan. Ia akan membaca dengan penuh semangat dan menulis dengan penuh semangat pula, hingga ia memahami apa yang ia tulis kelak.
Ia sangat produktif dalam menulis. Karya-karyanya penuh dengan kebajikan dan semangat yang menyala-nyala. Karyanya juga memberikan solusi dan bukannya memperkeruh keadaan. Sehingga ketika orang sudah membaca tulisannya, ia mendapatkan pencerahan, hidayah dan dorongan untuk beramal.
Seorang penulis sejati, tidak harus tidak terus berkarya, sekalipun ia, misalnya, di dalam penjara. Menulis sudah menjadi bagian dari hidupnya. Menulis juga bagian dari ibadahnya sehari-hari yang berujung pada semakin dekatnya ia kepada Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar