Saya
membaca buku “Agar Tak Terjerumus Dosa”
karya Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz Al-Lidaan. Setelah membaca daftar isi, ada
satu bab yang menarik perhatian saya. Lalu saya memulai membaca bab itu. Judul babnya:
“Apakah Dampak Buruk Dosa Mesti Nampak
Seketika?” Judul bab ini menarik perhatian saya. Saya sering bertanya,
apakah dosa yang kita lakukan selama di dunia pasti akan Allah balas di dunia
juga atau hanya dibalas diakhirat nanti?
Menurut
buku itu, dampak buruk dosa pasti akan nampak meskipun tidak seketika pada saat
setelah melakukan dosa itu. Syaikh Abdullah mengutip beberapa pernyataan orang-orang
saleh jaman dulu. Ibnu Sirin Rahimahullah berkata, “Masih hangat dalam
ingatanku dosa yang disebabkan hutang, persis saat kejadiannya. Kala itu
tepatnya empat puluh tahun lalu aku berkata kepada seseorang; Hai si pailit....
Sekarang aku yang bangkrut.”
Amar
bin Murrah berkata, “Aku pernah melihat seorang gadis yang menarik perhatianku
dan sekarang aku buta. Semoga musibah ini menjadi penghapus dosaku itu.”
Saya
tambahkan: Dahulu, tangan-tangan saudara-saudara
Nabi Yusuf As. menyiksa Nabi Yusuf. Kemudian Yusuf dibeli oleh orang Mesir.
Akan tetapi, pada masa berikutnya, tangan-tangan merekalah yang justru meminta
makanan, sebagaimana dikisahkan dalam firman Allah Swt.,“Bersedekahlah kepada kami.” (QS.
Yusuf [12]: 88).
Hasan al-Bashri berkata, “Melakukan suatu kebaikan betapapun
kecilnya, ia akan menawarkan cahaya dalam hatinya dan memberikan kekuatan pada
amalnya. Barangsiapa melakukan suatu kejahatan betapapun kecilnya, lalu ia
meremehkannya, maka hal itu akan mewariskan kegelapan pada hatinya dan
kelemahan pada amalnya.”
Al-Fudhail
bin Iyadh berkata, “Jika aku melakukan suatu maksiat, maka aku melihat
akibatnya dalam perilaku pembantu dan hewan tungganganku.”
Utsman an-Naisaburi menceritakan, suatu saat tali sandalnya putus
tatkala dia dalam perjalanan untuk melakukan shalat jumat. Dia berhenti untuk
memperbaikinya. Beberapa saat kemudian dia berkata, “Ini semua karena saya
tidak mandi untuk shalat jumat.”
Al-Hajjaj
seorang pejabat di masa kekhalifahan Umayah, dikenal karena kesadisannya,
kekejamannya, pembunuh para ulama shalih, termasuk di dalamnya Said bin Jubair.
Sekalipun kekayaannya banyak, kedudukan dan pangkatnya tinggi, namun ia hina di
sisi Allah dan kaum muslimin yang mencintai kebaikan. Akhirnya ia mati dalam
keadaan mengenaskan, tubuhnya dipenuhi bisul yang apabila muncul rasa sakit
darinya, terdengar suara yang keras dari mulutnya seperti banteng yang meregang
nyawa.
Ahmad bin Du’ad, seorang tokoh Mu’tazilah, ikut andil menyiksa
Imam Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad pun mendoakan kebinasaannya, maka Allah
menimpakan padanya suatu penyakit yang membuatnya sering mengatakan, “Adapun
separoh tubuhku ini apabila dihinggapi oleh seekor lalat, kurasakan sakit yang
bukan kepalang hingga seakan-akan dunia ini kiamat. Sedang separoh tubuhku yang
lain andaikata digerogoti dengan catut sekalipun, niscaya aku tidak
merasakannya.”
Dalam
Kitab al-Jawabul Kafi Liman
Saala Anid Dawaaisy Syafi karya Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah disebutkan
sebagai berikut:
Allah
Swt. berfirman,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat
dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan
kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali
(ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Ruum:
41).
Menurut Ibnu Zaid, yang dimaksud kerusakan di darat dan dilautan
adalah dosa. Dalam bahasa Arab, agar adalah “li” atau huruf lam untuk menunjukkan makna akibat. Jadi,
makna kerusakan pada bagian pertama adalah kekurangan, keburukan, dan
penderitaan yang diturunkan oleh Allah di bumi karena perbuatan maksiat
hamba-Nya.
Sementara Mujahid Ra. dalam mengomentari ayat di atas berkata,
“Demi Allah, yang dimaksud adalah setiap desa berada diatas air dan yang
mengalir adalah lautan.”
Maha Besar Allah! Apa yang disampaikan sahabat Nabi Saw. itu
mengingatkanku pada kejadian tsunami beberapa tahun yang lalu.
Abu Hurairah Ra. berkata, “Sesungguhnya seekor burung akan mati
disarangnya karena perbuatan zalim seseorang.” Mujahid Ra. berkata,
“Sesungguhnya binatang ternak melaknat ahli maksiat dari keturunan Adam. Jika
paceklik menimpa dan hujan tidak turun mereka berkata, ‘Ini akibat maksiat yang
dilakukan oleh keturunan Adam’.”
Ikrimah Ra. berkata, “Binatang melata dan serangga di bumi hingga
kumbang kelapa dan kalajengking berkata, ‘Kami tidak merasakan walau hanya
setetes hujan karena dosa-dosa keturunan Adam’.”
Orang-orang
saleh begitu sangat sensitif terhadap dosa, sehingga mereka masih ingat dengan
dosa yang pernah dilakukannya berpuluh tahun yang lalu. Mereka merasakan bahwa
hal-hal buruk yang terjadi pada diri mereka tidak lain disebabkan oleh
kesalahan mereka sendiri. Mereka lalu memohon ampunan dan mengharap kasih
sayang Allah atas diri mereka. Sedangkan orang yang fasik tidak merasakan
sensitivitas itu karena mereka menunda-nunda taubat.Sehingga hati mereka
terkunci rapat dari mendengarkan kebenaran. Setiap kali mendapat suatu musibah,
mereka tidak berpikir hal itu terjadi karena dosa yang mereka perbuat. Setelah musibah
itu melemah dan mereda, masih saja mereka berbuat maksiat. Begitu seterusnya. Sampai
Allah menentukan hukuman bagi mereka dari arah yang tidak disangka-sangka sebelumnya.
Allah mengangkat mereka lalu membanting mereka dengan sangat keras sehingga
mereka tidak kuasa bangkit untuk berdiri. Dan, jadilah mereka orang yang
berputus asa. Saat terlambat, mereka baru sadar, bahwa segalanya telah
berakhir. Rasulullah Saw. bersabda, “Janganlah
sekali-kali kalian meremehkan dosa. Karena, sesungguhnya ia bisa semakin
bertambah dan menumpuk pada seseorang hingga menghancurkannya.” (HR. Ahmad dan
Thabrani).
Dalam kitab Shaidul
Khatir, Imam Ibnu Al-Jauzy mengutip sebuah hadits: “Seperti apa
perbuatanmu, seperti itulah balasannya. Kebaikan itu tak akan lapuk, sementara
dosa-dosa tak mungkin terlupakan . Dan para pengutang tak akan
pernah nyenyak tidurnya . Seperti apa perbuatanmu, seperti itulah
balasannya .”
Ketika
Allah menegur kita karena perbuatan maksiat yang kita lakukan, dan kita
menyadari bahwa musibah itu terjadi karena maksiat yang kita lakukan, maka itu
adalah salah satu bentuk curahan kasih sayang Allah. Sedangkan bagi mereka yang
dilepas oleh Allah untuk terus berbuat maksiat, maka celakalah bagi mereka
karena sesungguhnya Allah murka kepada mereka. Namun sedikit sekali manusia
menyadari hal ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar