“Orang yang mampu bertahan dalam suatu krisis adalah mereka yang secara aktif mencari suatu pemecahan. Mereka haus akan informasi-informasi yang membantu. Mereka tidak mau menyalahkan diri mereka sendiri dan orang lain, sambil menyadari bahwa hal itu merupakan suatu penghindaran dari masalah yang sebenarnya. Mereka tidak malu untuk mengungkapkan perasaan takut dan gelisah. Mereka belajar bagaimana beristirahat ketika kemampuan mereka menurun karena kelelahan, dan bagaimana mendisiplinkan diri sendiri untuk kembali pada usaha yang harus dilakukan dengan susah payah setelah mereka pulih kembali. Mereka dapat menerima, bahkan meminta bantuan, mengingat hal ini bukanlah suatu tanda kelemahan namun kedewasaan.”
Nasehat yang menarik ini saya dapatkan dari tulisan Gerald Caplan, M.D. yang berjudul “Bagaimana Mengatasi Suatu Krisis”. Saya ingin mengurainya lebih dalam lagi agar terasa mengena di hati.
Pertama, “mereka yang secara aktif mencari suatu pemecahan”. Kita harus terus berupaya menemukan solusi yang tepat dari krisis yang kita hadapi. Jika kita sudah berusaha, tentu Allah akan memberi kita jalan keluar. Ini artinya, apa yang kita lakukan itu bukanlah suatu hal yang sia-sia, melainkan pengorbanan yang kelak akan membuahkan hasil yang manis. Krisis itu akan segera pudar seiring dengan ditemukannya solusi yang tepat. Hal ini juga berarti, dalam hidup ini, kita tidak boleh tinggal diam. Kita harus bergerak untuk menghasilkan karya terbaik dalam kehidupan kita. Karena, apa yang kita lakukan akan kembali pada diri kita. Jika bekerja, kita akan mendapatkan uang. Jika berprestasi, kita akan mendapatkan pujian dan penghargaan. Jika melakukan kebajikan, kita akan mendapat pahala. Mencari solusi terhadap suatu krisis justru akan meningkatkan energi dan menghilangkan kelelahan mental kita. Segeralah mencarinya sampai Anda mendapatkannya.
Kedua, “mereka tidak mau menyalahkan diri mereka sendiri dan orang lain”. Menyalahkan diri kita atau orang lain bukan solusi yang baik. Karena hal itu tidak akan ada habis-habisnya. Kita akan sering mengeluh bahkan mencaci maki diri kita sendiri. Apakah dengan cara seperti itu masalah akan segera dapat diatasi? Oleh karena itu, kita harus lebih menatap ke depan ketimbang ke belakang. Kita harus meyakini bahwa masa lalu telah berlalu dan tidak akan kembali lagi. Di depan kita terbentang kesempatan untuk meraih kebahagiaan dan kesuksesan yang kita inginkan. Cukuplah apa yang terjadi di masa lalu sebagai pelajaran bagi diri kita, agar kejadian yang sama tidak terulang lagi di masa depan.
Ketiga, “mereka tidak malu untuk mengungkapkan perasaan takut dan gelisah”. Manusia tidak ada yang sempurna. Manusia tidak ada yang lepas dari kesalahan. Manusia harus memperlihatkan dirinya apa adanya. Rasulullah adalah orang yang paling mulia, tapi beliau pernah menangis, takut, dan gelisah. Bagaimana kita bisa mengetahuinya? Semua itu dapat kita baca dari perjalanan hidup beliau yang terungkap dalam sunnahnya. Beliau pernah berdoa sesaat sebelum perang Badar dengan doa seorang hamba yang mengharapkan pertolongan-Nya. Beliau takut jika pasukan muslim mengalami kekalahan maka sirnalah Islam. Doa itu didengar sendiri oleh sahabat-sahabatnya. Seorang Abu Bakar ash-Shiddiq – sahabat yang dijamin masuk surga – juga pernah merasa bersedih saat berada di gua Tsur. Lalu Rasulullah mengatakan, “Jangan bersedih, sesungguhnya Allah beserta kita.”
Tetapi, kita tidak harus mengungkapkan perasaan takut dan gelisah kita kepada semua orang. Cukup dengan orang-orang yang kita sayangi dan terdekat dengan kita. Mudah-mudahan mereka dapat memberikan solusi agar kita dapat keluar dari krisis itu. Dan yang paling baik adalah apabila kita mengungkapkan perasaan itu kepada Allah, Tuhan yang menguasai alam semesta. Bermunajatlah kepada-Nya, menangislah kepada-Nya, sampaikan perasaan takutmu kepada-Nya, sampaikan keluh kesahmu kepada-Nya. Allah adalah sebaik-baik tempat kita mencurahkan segala isi hati. Allah adalah sebaik-baik tempat kita bergantung. Jika kadang manusia – meskipun dia orang yang mencintai dan menyayangi kita – merasa bosan dengan segala curahan hati kita, maka Allah tidak pernah bosan mendengarnya. Yakinilah bahwa Allah Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, dan Maha Mengabulkan doa.
Keempat, “mereka belajar bagaimana beristirahat ketika kemampuan mereka menurun karena kelelahan, dan bagaimana mendisiplinkan diri sendiri untuk kembali pada usaha yang harus dilakukan dengan susah payah setelah mereka pulih kembali”. Beristirahatlah untuk memulihkan kekuatan kita. Fisik yang terlalu di porsir justru akan menimbulkan efek yang tidak baik bagi kesehatan tubuh. Kadang kita perlu berhenti sejenak dari melakukan rutinitas kita. Melihat pemandangan, berjalan-jalan, hingga membantu pekerjaan rumah tangga, sepertinya sepele, tapi dari sanalah jiwa-jiwa kreatif itu dapat kembali muncul – yang kelak akan membantu kita mengatasi krisis yang sedang kita hadapi. Seperti halnya sebuah batu baterai yang perlu di charge, jiwa kita pun demikian. Ia akan kembali menyala jika kita memberikan kesempatan pada jiwa kita untuk beristirahat.
Kelima, “mereka dapat menerima, bahkan meminta bantuan, mengingat hal ini bukanlah suatu tanda kelemahan namun kedewasaan”. Mereka menerima krisis itu sebagai suatu dinamika kehidupan yang harus mereka terima. Mereka tidak menghindar darinya, tapi berusaha menghadapinya. Mereka tidak malu meminta bantuan kepada orang lain, karena jika tidak, mereka adalah orang yang sombong. Ini bukan kelemahan, melainkan kedewasaan kita. Kita telah menunjukkan kepada orang lain bahwa kita bukanlah sosok super yang bisa mengatasi segala sesuatunya seorang diri. Kita adalah manusia yang berhubungan dengan manusia lainnya. Kita membutuhkan orang lain, sebagaimana orang lain membutuhkan kita.
Kelima poin di atas – walaupun mungkin saja perlu penambahan – adalah sangat penting untuk kita perhatikan. Ia menawarkan kiat efektif agar kita dapat keluar dari krisis dengan tanpa kegaduhan dan gejolak yang dapat membunuh kita. Tidak ada salahnya kita amalkan karena, insya Allah, itu baik bagi kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar