Keadaan yang mendesak biasanya membuat kita menjadi produktif dalam menulis. Tapi, apakah kita akan terus merasakan keterdesakan itu? Tentu kita harus menciptakannya sendiri. Stres yang tidak berlebihan kita perlukan sebagai cambuk bagi kita untuk mengadakan perubahan. Penulis yang kekurangan uang tampaknya menjadi hal yang biasa. Sehingga sebagian mereka, memanfaatkan bakat menulis hanya sebagai pekerjaan sampingan (paruh waktu). Mereka merasa malu jika ditanya orang, “apa pekerjaanmu?” Akhirnya, karena setengah hati menjadikan menulis sebagai pekerjaan utama, mereka mundur selangkah demi selangkah. Mereka mencari pekerjaan lain yang dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Apakah menurut Anda pekerjaan sebagai penulis adalah pekerjaan orang-orang miskin? Itulah kesalahan fatal prasangka kebanyakan orang.
Seharusnya keterdesakan ekonomi menjadi cambuk untuk rajin menulis. Kalau tulisan kita tidak dimuat-muat, kita mesti introspeksi diri, apanya yang kurang? Kita mesti meningkatkan lagi produktivitas dalam menulis. Kirim saja sebanyak-banyaknya, niscaya media itu akan malu sendiri jika tulisan kita tidak dimuat-muat. Atau kita dapat bertanya atau berguru pada ahlinya, yang tulisannya sering dimuat. Jangan hiraukan egoisme menghalangi diri Anda untuk berbuat yang terbaik bagi kemajuan hidup Anda. Meskipun usia “guru” Anda itu lebih muda dari Anda, jangan pernah malu untuk bertanya. Jadilah Anda sebatang pohon pisang ketika dihadapannya. Anda terdiam mendengarkan kata-katanya. Anda menggunakan dua telinga dan mata Anda agar Anda secara maksimal menangkap pesan-pesan yang disampaikannya.
Jika Anda sudah bertekad mencari nafkah dari dunia tulis-menulis, jangan mudah berputus asa dan menyerah. Pada hakikatnya, pekerjaan ini seperti halnya pekerjaan halal lainnya. Jika Anda ingin kaya, Anda harus bekerja keras untuk mewujudkannya. Dunia tulis-menulis bukanlah dunia orang-orang pemalas. Kita harus rajin menulis, menulis, dan menulis. Tanpa bekal kesabaran, kita tak akan mendapatkan hasil yang memuaskan. Banyak penulis menjadi sukses setelah beberapa kali tulisannya ditolak oleh media maupun penerbit. Bahkan ada yang sampai ratusan kali. Apakah mereka menyerah begitu saja? Mereka selalu berharap, dari seratus tulisan yang ditolak, mudah-mudahan tulisan yang ke seratus satu diterima. Justru ketika kita mengalami penolakan demi penolakan kita akan lebih kreatif untuk berusaha mencari jalan keluar.
Keterdesakan ekonomi bukan satu-satunya keterdesakan yang ada. Banyak sekali keterdesakan-keterdesakan yang dapat kita ciptakan sendiri. Misalnya, keterdesakan karena masalah agama. Karena agamanya sering dijadikan hinaan, di fitnah, dan diselewengkan ajarannya. Jiwanya yang peka merasa terpanggil untuk meluruskannya. Ulama seperti Ibnu Hazm telah menulis 400 jilid dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ia telah menjadikan buku-bukunya itu sebagai tameng dan senjata ketika menghadapi pihak musuh. Dia adalah seorang ulama terbesar yang pernah dilahirkan di tanah Andalus Spanyol. Seorang Yahudi bernama Ibnu an-Naghrilah di zaman Ibnu Hazm pernah menghina dan “menginjak-injak” al-Quran, namun tidak ada yang menegurnya apalagi menghukumnya. Bahkan pemimpin di negerinya, Badis bin Habus, justru membela si Yahudi itu. Dengan kemarahan yang menyala-nyala, Ibnu Hazm kemudian menulis buku berjudul ar-Rad’ ala Ibni an-Naghrilah al-Yahudi (Bantahan terhadap Ibnu an-Naghrilah si Yahudi).
Begitupun dengan Imam Ibnu Taimiyah, beliau telah menulis kitab ash-Sharim al-Maslul ‘ala Syatim ar-Rasul sebagai respon terhadap seorang nashrani di zamannya yang telah menghina dan mencaci maki Rasulullah Saw.. Beliau juga menulis buku ar-Rad al-Aqwam Ala Ma Fi Kitabi Fushushil Hukmi yang merupakan respon terhadap pemikiran wahdatul wujud-nya Ibnu Arabi.
Imam Hasan al-Banna pernah menulis komentar atas buku tokoh sekuler Mesir, Dr. Thaha Husein, yang berjudul Mustaqbal Tsaqofah fi Mishr (Masa Depan Kebudayaan di Mesir), yaitu ketika sedang dalam perjalanan naik kereta. Imam Muhammad Abduh pernah menulis buku berjudul Ilmu Pengetahuan Menurut Peradaban Islam dan Kristen hanya dalam sehari karena geram dan marah terhadap seorang orientalis Perancis pada saat yang telah menghina Islam. Syaikh Muhammad al-Ghazali menulis buku Min Huna Na’lam (Dari Sini Kita Ketahui) sebagai counter atas buku sekuler Min Huna Nabda (Dari Sini Kita Mulai) karya Khalid Muhammad Khalid. Dan terbukti kemudian Syaikh Khalid mengakui kekeliruannya dan bertaubat dengan menarik bukunya tersebut dari peredaran dan menulis buku yang membela Islam.
Tahukah Anda, semua buku-buku yang saya sebutkan di atas, best seller! Keterdesakan itu menjadikan mereka begitu produktif menulis, sehingga mampu menulis sebuah buku tebal dalam waktu satu hari. Jika mereka bisa, Anda juga pasti bisa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar