“Semua krisis bermula dari krisis spiritual” (Prof. E.F. Schumacher, seorang ahli ekonomi).
Dibawah ini beberapa poin penting sebab-sebab terjadinya krisis spiritual:
Melupakan Allah di dalam kehidupan
Pada tahun 1983, Alexander I. Solzhenitsyn, pemenang hadiah Nobel tahun 1970 untuk bidang literatur, memberikan pidato di London di mana ia berusaha menjelaskan mengapa banyak sekali malapetaka buruk yang telah menimpa rakyatnya:
Lebih dari setengah abad yang lalu, ketika saya masih kecil, saya teringat saat mendengarkan sejumlah orang tua memberikan penjelasan berikut ini atas bencana dahsyat yang menimpa Rusia: “Manusia telah melupakan Tuhan; itulah mengapa semua ini terjadi.”
Sejak saat itu saya menghabiskan hampir 50 tahun untuk menulis tentang sejarah revolusi kami; dalam proses tersebut saya telah membaca ratusan buku, mengumpukan ratusan kesaksian dari orang-orang, dan telah menyumbangkan delapan jilid karya saya dalam upaya membersihkan puing-puing reruntuhan yang tertinggal akibat petaka tersebut. Tapi, jika sekarang saya diminta untuk mengatakan seringkas mungkin penyebab utama revolusi yang menghancurkan tersebut, yang menelan sekitar 60 juta rakyat kami, saya tidak mampu mengungkapkannya dengan lebih tepat kecuali mengulang perkataan: “Manusia telah melupakan Tuhan; itulah mengapa semua ini terjadi.” (Edward E. Ericson, Jr., “Solzhenitsyn - Voice from the Gulag”, Eternity, October 1985, hal. 23-24 dikutip oleh www.harunyahya.com)
Kemunduran Kaum Muslimin
Salah satu jawaban yang penting disini adalah, ketika kaum muslimin tidak mampu berperan secara maksimal di pentas sejarah umat manusia. Periode keemasan Islam tidak mengenal adanya dikotomi antara ilmu dan agama. Keduanya mampu berjalan beriringan dan saling mengisi. Ilmu di dalam Islam di landasi oleh wawasan Tauhid, yaitu mengeesakan Allah baik dalam sifat, zat dan perbuatan-Nya. Kesadaran relijius inilah yang mendorong kaum muslimin pada saat itu untuk menggali khasanah ilmu pengetahuan dimanapun dan sejauh apapun perjalanannya.
Islam yang ditakdirkan Allah meliputi segalanya menolak apa yang disebut “sekularisme”. Dimana sekularisme menempatkan religiusitas hanya pada individu-individu semata, tidak boleh menerapkannya pada komunitas masyarakat apalagi sebuah Negara. Tak ayal lagi, sekularisme telah menggeser paradigma berpikir kebanyakan orang pada zaman modern ini. Tentu saja tidak hanya di Barat yang Kristen, awal mula terjadinya sekularisme tetapi juga merasuk ke dunia Timur yang Muslim, melalui penjajahan (baik fisik maupun pikiran).
Penyebab sekularisme bermula dari ketidakmampuan agama Kristen berhadapan secara langsung dengan perubahan zaman, yang senantiasa menuntut perubahan-perubahan signifikan. Pada akhirnya masyarakat terpecah dan terkotak-kotak: kelompok kaya, kelompok agamawan, dan kelompok miskin. Kelompok kaya menghasilkan sebuah pemikiran yang disebut “kapitalisme” dan kelompok miskin, yang dipelopori oleh Karl Marx dan Engel, menghasilkan sebuah pemikiran “marxisme-komunisme”. Sementara itu kelompok agamawan sudah dipinggirkan oleh masyarakat karena dianggap tidak memberikan konstribusi yang berarti. Akibatnya, gereja-gereja kosong kecuali hanya diisi oleh pendeta-pendeta tua.
Dengan sangat jelas disini, kelompok kapitalis dan marxis bertarung dengan cara yang tidak sehat (machavelisme). Hal ini terjadi karena mereka sudah tidak mempedulikan lagi nilai-nilai keagamaan, yang menurut mereka telah usang. Sebagian dari mereka agnostik dan sebagian lagi atheis.
Tidak adanya keseimbangan dalam hidup
Keseimbangan dalam pengertian umum adalah keadaan dinamika sistem yang tidak mengalami gejolak. Apabila suatu sistem yang berada dalam keadaan seimbang salah satu subsistem atau komponen sistemnya mengalami gangguan maka seluruh sistem akan berubah. Besarnya perubahan mungkin dalam kuantitas yang sangat kecil tetapi setelah beberapa waktu gangguan ini dapat memberikan akibat yang mungkin tidak terduga sebelumnya.
Prof. Dr. Rain, seorang Ahli Jiwa Amerika Serikat mengatakan tentang hal ini: “Selama ini kita percaya bahwa manusia terdiri dari dua unsur, material (jasmani) dan immaterial (jiwa). Tetapi kenyataannya, kita tidak berbicara atau menyinggung mengenai jiwa kecuali pada hari-hari minggu atau kalau kita menjumpai suatu jenazah.
Sedangkan pada hari-hari lain kita menggunakan kalimat akal (rasio) sebagai pengganti kalimat jiwa tanpa mempedulikan adanya perbedaan-perbedaan prinsipil antara keduanya. Sehingga timbul pendapat umum yang mengatakan bahwa akal tersebut, disamping pusat aktifitas manusia, juga menguasai dirinya. Dan dengan demikian, pemikiran, kebudayaan dan peradaban manusia, atau dengan kata lain segala aspek kehidupannya, dipengaruhi oleh pandangan yang mengatakan bahwa manusia terdiri dari dua unsur, material dan immaterial, sedangkan yang dimaksud dengan immaterial itu adalah akal semata-mata dan terabaikanlah di dalamnya unsur kejiwaan tersebut.” (Dikutip dari Dr. Quraish Shihab, Membumikan Al Quran, hlm. 230, penerbit Mizan cet. XIII (1996))
Islam sangat menekankan keseimbangan itu, karena keseimbangan adalah salah satu asas penciptaan alam raya, sebagaimana Allah Swt. berfirman:
الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا مَّاتَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِن تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِن فُطُورٍ {3} ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنقَلِبْ إِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا وَهُوَ حَسِيرٌ
"(Allah) yang telah menciptakan 7 langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah.” (QS. Al Mulk: 3-4)
Imam Ali berkata, “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu seolah-olah engkau mati esok hari.”
Syaikh Al Khawwas menggambarkan dengan indah konsep keseimbangan dalam Islam: “Alangkah indahnya kehidupan ini apabila seorang penggergaji menjadikan gergajinya sebagai tasbihnya, seorang petani menjadikan cangkulnya sebagai tasbihnya, dan tukang besi menjadikan palunya sebagai tasbihnya.”
Demikianlah tiga unsur penting penyebab terjadinya krisis spiritual. Hendaknya ketiga hal tersebut kita renungkan, lalu kita tambah apabila kurang dan kita perbaiki apabila salah, lalu kita jalankan apa yang telah kita ketahui tersebut. Mudah-mudahan kita terhindar dari jiwa yang kering kerontang yang mengakibatkan tidak adanya rasa kasih sayang yang tulus di antara kita dan tidak adanya keikhlasan dalam beramal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar