Saat ini, saya tidak melihat sains berdiri sendiri dan agama berdiri sendiri. Masing-masing wilayah tidak netral dari pengaruh satu dengan yang lainnya. Sains dapat saja membongkar pasang agama dan agama juga dapat membongkar pasang sains. Sebagai contoh dalam kasus pemikiran Jaringan Islam Liberal. Bagaimana mereka dengan seenaknya menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku di luar kaidah agama itu sendiri. Menurut mereka agama harus diteliti secara “objektif”. Oleh karena itu, mereka keluar dari wilayah “subjektivitas” dengan cara mengadopsi bulat-bulat pemikiran yang datangnya dari Barat, yang menurut mereka lebih objektif dan lebih ilmiah dibandingkan dengan “subjektivitas” yang selama ini di buat oleh para ulama.
Mereka tidak kritis terhadap apa yang datang di luar diri mereka. Sementara para orientalis sudah sejak lama (ketahuan belangnya) mengacaubalaukan pola pikir islami kaum muslimin. Mereka menafsirkan Al Quran dengan metode hermeneutika. Padahal hermeneutika tidak ada padanannya dalam ulumul quran. Hermeneutika hanya ada dalam tradisi Barat dalam mengkritik Bible. Apakah lantas bisa disamakan begitu saja? Bukankah perbedaan Bible dan Al Quran sangat jelas dalam banyak segi? Lalu mengapa hermeneutika menjadi milik kita? Bukankah kita memiliki ulumul quran? Tidakkah ulumul quran dapat digunakan untuk memahami Al Quran atau mengkritik Bible?
Semestinya, umat Islam tidak menunjukkan sikap ekstrim dalam menyikapi setiap gagasan baru, baik bersikap latah untuk menerima atau menolaknya. Yang diperlukan adalah sikap kritis. Sikap inilah yang telah ditunjukkan oleh para ulama Islam terdahulu, sehingga mereka mampu menjawab setiap tantangan zaman, tanpa kehilangan jatidiri pemikiran Islam itu sendiri.
Apalagi, di kalangan umat Islam, mulai muncul gejala umum yang mengkhawatirkan, yakni mudahnya mengambil dan meniru metodologi pemahaman al-Quran dan al-Sunnah yang berasal dari pemikiran dan peradaban asing. Gerakan ‘impor pemikiran’ semakin gencar dilakukan, terutama oleh kalangan yang menggeluti Islamic Studies. Sayangnya, tidak banyak yang memiliki sikap ‘teliti sebelum membeli’ gagasan-gagasan impor yang sebenarnya bertolak-belakang dengan dan berpotensi menggerogoti sendi-sendi akidah seorang Muslim.
Terlanjur gandrung pada segala yang baru dan Barat (everything new and Western), sejumlah cendekiawan yang nota bene Muslim itu menganggap hermeneutika bebas-nilai alias netral. Bagi mereka, hermeneutika dapat memperkaya dan dijadikan alternatif pengganti metode tafsir tradisional yang dituduh ‘ahistoris’ (mengabaikan konteks sejarah) dan ‘uncritical’ (tidak kritis). Kalangan ini tidak menyadari bahwa hermeneutika sesungguhnya sarat dengan asumsi-asumsi dan implikasi teologis, filosofis, epistemologis dan metodologis yang timbul dalam konteks keberagamaan dan pengalaman sejarah Yahudi dan Kristen.
Hal yang sama terjadi pada pemikiran “pluralisme”. Sekarang banyak orang terpengaruh dengan paham ini. Tetapi dari banyak orang itu, banyak pula yang tidak paham dengan istilah ini. Bahkan orang sekelas bapak Tarmizi Taher tampaknya tidak paham dengan apa itu “pluralisme”. Dengan seenaknya beliau mengatakan bahwa KH. Ahmad Dahlan telah mengajarkan pluralisme. Darimana dia dapatkan pemikiran seperti itu? Saya menyukai sejarah dan saya mengetahui sedikit banyaknya biografi Kyai Dahlan. Dan hingga kini saya belum menemukan sepatah dua patah katanya yang menyebutkan bahwa seluruh agama itu benar.
Menurut mereka pluralisme nyata-nyata benar karena sudah diteliti oleh para ilmuwan Barat, yang menyebutkan bahwa paham ini juga ditemukan dalam tradisi pemikiran Islam Ibnu Arabi dan Jalaluddin Rumi. Benarkah demikian? Benarkah Ibnu Arabi dan Jalaluddin Rumi berpikiran seperti itu? Itu kata siapa? Kata orientalis! Mengapa tidak mengeceknya langsung dari buku-buku Ibnu Arabi dan Jalaluddin Rumi? Jangan hanya pandai membaca buku Chitcik dan Nicholson. Coba dong baca langsung buku-buku Rumi yang aslinya berbahasa Persia, Turki dan Arab.
Saya lebih senang dengan para Ilmuwan dan peneliti di ISTAC-IIUM. Mereka bersusah payah mempelajari litaratur-literatur asing dengan terlebih dahulu menguasai bahasa sumbernya. Dr. Syamsuddin Arif misalnya, beliau menguasai banyak bahasa, diantaranya Inggris, Arab, Jerman, Latin, Yunani, dan Persia. Dan menurut hasil riset peneliti ISTAC, tidak ditemukan pemikiran Ibnu Arabi dan Rumi yang menyebutkan tentang Pluralisme. Bahkan dalam buku-buku kedua ulama itu disebutkan bahwa satu-satunya agama yang benar dan diridhai Allah itu hanya Islam.
Orang-orang Islam liberal khususnya telah mengalami, apa yang disebut Harun Yahya, Kemalasan Mental. Mereka hanya menjiplak pemikiran orang lain. Dr. Yudi Latief, seorang pakar sosiologi politik dari LIPI, pernah mengatakan jika pemikiran Nasr Abu Zayd hanya menjiplak pemikiran Focault. Pada hakikatnya pemikiran Zayd, Sharur, Jabiri, dan Hasan Hanafi tidak ada yang baru. Mereka hanya mengulang-ngulang dan mengadopsi begitu saja pola pikir kaum orientalis tanpa mau kritis dan menyaringnya terlebih dahulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar